Hari Rabu sore tanggal 4 Oktober 2017, saya sengaja main ke sebuah acara bertajuk “Kampung Buku Jogja #3”. Tempat berlangsungnya acara adalah di FoodPark Lembah UGM. Saya datang bersama salah seorang kawan yang juga suka dengan buku atau hal-hal yang ada hubungannya sama buku dan sastra. Acara ini berlangsung selama 5 hari, yaitu tanggal 4–8 Oktober 2017.
Saya datang sebenarnya ingin melihat secara langsung serta mendengar petuah-petuah salah satu penulis terkenal yang pernah saya baca beberapa bukunya dan menyukainya, Seno Gumira Adjidarma. Namun sesampainya di lokasi, harapan pun hilang seketika. Rangkaian acara yang menghadirkan sang penulis masyhur itu sudah bubar. Untuk mengobati rasa kecewa dan rasa nanggung karena sudah telanjur di situ, saya duduk dan berharap acara selanjutnya juga menarik.
Saya memutuskan untuk berkeliling dahulu ke lapak-lapak buku yang ada. Ya, walaupun tidak berniat membeli, karena kondisi dompet sedang tak memungkinkan.
Stan-stan buku yang berada di dalam dikelilingi dengan kata-kata yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar tokoh si empunya kata-kata. Salah satu yang membuat saya mengeluarkan smartphone dari saku adalah gambar dari sang idola, Seno Gumira Ajidarma.
Setelah puas berkeliling dan merasa sudah cukup melihat buku-buku dan membaca sinopsis, kami menuju tempat acara bincang buku. Hujan turun lumayan deras dan menjadikan orang-orang yang datang harus mundur cukup jauh dari panggung mencari tempat berteduh. Ada yang berteduh di lapak buku, di tangga samping panggung, atau memilih menuju stan makanan atau minuman. Saya berteduh di sebuah lapak kaus yang cukup luas.
Bincang Buku “Nice Boys Don’t Write Rock N’ Roll” dan Talk Show “Menulis Musik”, begitulah judul acara ini. Pembicaranya adalah Nuran Wibisono dan Soni Triantoro, dimoderatori oleh Tomi Wibisono.
Nuran Wibisono merupakan penulis di berbagai media online, mulai dari Tirto.id, Mojok.co, dan berbagai media lainnya. Beliau juga seorang freelance contributor di Jakartabeat.net dan Rollingstone Indonesia. Sementara Soni Triantoro adalah editor Warning Magz, editor hipwee, serta kontributor Rollingstone Indonesia dan Whiteboard Journal. Dan, sang moderator adalah Chief sekaligus pendiri majalah musik WARN!NG Magazine. Itu semua saya tahu setelah googling sepulang dari acara.
Mas Nuran dan Mas Soni, begitulah mereka dipanggil oleh sang moderator, membicarakan banyak hal terkait menulis musik. Sang moderator menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan dunia menulis musik. Mulai dari hambatan menulis musik, bagaimana menjadi jurnalis musik, menulis kritik musik, dan lain sebagainya.
Mas Nuran bercerita tentang bagaimana perjalanannya menjadi jurnalis musik atau penulis musik. Mulai dari pernah dibilang cuma pengin nonton gratisan, terus narasumber yang susah ditemui, belum lagi sebelum mewawancarai juga harus belajar. Entah membaca atau mencari referensi lainnya. Memang, menulis atau meliput musik atau menulis apa pun, kita minimal harus tahu dulu apa yang akan kita tulis atau liput.
Mas Soni bercerita, menulis musik baginya adalah lahan buat orang-orang seperti dirinya, yang sulit berbicara di depan banyak orang, yang di era digital orang lebih tertarik dengan review-review di YouTube.
Setelah bahan pertanyaan dari sang moderator selesai, dibukalah sesi tanya jawab. Tak lama, salah satu orang berdiri, menanyakan tentang bagaimana seorang penulis menentukan musik ini bagus atau tidak dan kebutuhan apa saja untuk seseorang berani menilai musik bagus atau tidaknya. Mas Soni menjawab bahwa dalam jurnalistik, tidak bisa seseorang cuma mendengarkan hanya 10 detik sebuah lagu bisa menilai sebuah musik, minimal 7–10 kali.
Kemudian pertanyaan-pertanyaan lain pun yang masih sejalan dengan yang pertama, dijawab juga oleh Mas Soni bahwa seorang pengulas musik harus punya wawasan lain selain wawasan musik itu sendiri. Hal itu seolah menegaskan bahwa menulis ulasan musik bukan hanya paham soal dunia musik, tapi harus dibarengi dengan pengetahuan lain untuk mengeksplorasi konten sebuah musik.
Setelah semua pertanyaan dijawab, ada sebuah closing statement sederhana tapi menarik dari Mas Nuran, “Menulis atau me-review musik tanpa mendengarkan adalah ‘haram’”.