Kanak-kanak Matahari

hannahsartclub.wordpress.com

Di sebuah desa, ada sebuah rumah sangat sederhana dengan lantai tanah yang berada di antara dua sungai. Rumah itu ditempati oleh keluarga petani yang hidup bersahaja dalam keseharian mereka.

Di desa dan rumah itu hiduplah seorang bocah lelaki, yang bila telah pulang dari sekolahnya di sebuah sekolah dasar yang berada di depan rumahnya, yang hanya dipisahkan oleh sebentang jalan yang menghubungkan satu desa dengan desa lainnya itu, ia akan menunggui padi-padi yang telah menguning dari serbuan burung-burung di siang hari hingga senja, sesuai dengan perintah ibunya.

Si bocah lelaki itu duduk di samping rimbun bambu yang tak jauh dari sawah dan padi-padi yang biji-bijinya telah menguning yang ditungguinya dalam kesepian dan kesendirian itu.

Sembari duduk dan mengawasi para burung yang sewaktu-waktu akan hinggap dan memakan biji-biji padi yang telah menguning itu, ia sesekali membuka lembar-lembar buku kesukaannya yang merupakan kisah dan biografi para penemu dan sejumlah ilmuwan.

Ia membaca buku itu karena ia sendiri berangan-angan bahwa kelak jika ia akan melanjutkan sekolah di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, ia pun berharap bisa masuk di perguruan tinggi dan akan memilih fakultas sains, karena ia memang bercita-cita menjadi ilmuwan, seperti tokoh-tokoh para penemu dan ilmuwan di lembar-lembar buku yang ia baca sembari menunggu padi-padi menguning dari serbuan para burung atas perintah ibunya itu.

Karena kebiasaannya duduk menunggu dalam kesepian dan kesendirian itu, ia jadi sedemikian akrab dengan kesunyian, bersama siang dan sore hari yang ditafakkurinya sendirian, dan tentu saja pada saat itu ia juga dirundung rasa bosan.

Demi mematuhi perintah ibunya untuk menunggui padi-padi menguning di sawah agar tidak dimakan para burung yang sewaktu-waktu datang dan hinggap menyerbu padi-padi yang ditungguinya itu bila ia lengah atau tiba-tiba mengantuk, ia malah menjadi begitu karib dengan suara-suara para burung dan suasana senja: dengan desir angin di sore hari, dan tentu saja, dengan kesepiannya, yang kelak akan disadarinya sebagai sekolah pertamanya untuk terbiasa berpikir dan merenung.

Cita-citanya sendiri untuk menjadi ilmuwan kemudian hanya sekadar angan-angan masa kanak dan masa remajanya—ia tak pernah menjadi ilmuwan seperti yang ia cita-citakan kala ia berteman akrab dengan keteduhan rimbun bambu, suara-suara para burung, dan kesunyian senja yang membuatnya jadi terbiasa tafakkur dan merenung itu.

Ia pahami kesepian dan kesunyiannya itu sebagai kesabaran sekaligus kebosanan—sejenis ketaatan karena ia tak ingin membuat ibunya kecewa.

Tapi ada kalanya ia meninggalkan tugasnya itu bila teman-temannya menjemputnya dan mengajaknya untuk bermain sepak bola di lapangan sebuah sekolah dasar di mana ia sehari-harinya bersekolah kecuali di hari Minggu, atau ketika mereka ingin berburu belalang dan mencari para jangkerik. Kadang ia memberi tahu ibunya ketika ia hendak meninggalkan tugasnya itu, bila ia ingin bermain dengan teman-temannya, kadang ia tak memberi tahu Ibunya.

Tetapi, bagaimanapun, karena tugas yang dijalaninya dengan kesabaran bercampur kebosanan itu, ia jadi intim dengan alam, yang telah mengajarinya arti dan makna kejujuran—tentang kesahajaan dan ketulusan yang kelak akan ia sadari tak terdapat di buku-buku yang ia baca. Sebab, memang, kearifan diberikan oleh kehidupan ketika ilmu memberi pengetahuan kepada kita.

Dalam keadaan menunggu dan kesendirian itu, sesekali ia pandangi angsa-angsa dan para itik yang bermain-main dan menancapkan paruh-paruh mereka di air—di sebuah situ atau kubangan air di bawah rimbun bambu tempatnya duduk dan berteduh demi mengawasi para burung yang menunggu ia lengah untuk mencuri biji-biji padi yang telah menguning itu.

Di saat-saat itu pula, kadang-kadang ia mengembarakan pandangan kedua matanya ke arah langit, sekadar memandangi gumpalan-gumpalan awan yang menurutnya mirip lukisan dan figur-figur tertentu, atau sekadar mengagumi hijrahnya para burung yang terbang rapi beriringan, seperti sepasukan bala tentara menuju medan pertempuran.

Barangkali, dapatlah dikatakan, rasa bosan, kesunyian, dan kesendiriannya itulah yang telah membentuknya sebagai seorang pembaca dan perenung, seperti yang telah disinggung.

Tapi kini ia telah menjadi lelaki dewasa, dan entah dorongan apa yang membuatnya tiba-tiba begitu khusyuk memandangi pematang setapak dan sawah-sawah di belakang rumahnya itu. Pematang sawah di mana bertahun-tahun yang silam seorang bocah lelaki, yah dirinya yang kini telah menjadi lelaki dewasa itu, bersedih ketika benang layang-layangnya putus, dan layang-layang itu kemudian terbang bebas sebebas burung-burung yang sedang hijrah melintasi bentangan cakrawala demi mencari musim yang lain.

Peristiwa itu terjadi di sebuah senja selepas kumandang adzan asar. Sejak kejadian itu, si bocah lelaki itu tak lagi bermain layang-layang karena ia tak ingin membuat ibunya kecewa. Mungkin juga alasan yang sebenarnya adalah karena ia tak memiliki keberanian untuk minta dibelikan layang-layang lagi kepada ibunya.

Bocah lelaki itu hanya bisa terdiam, berdiri terkesima, di saat teman-temannya tertawa memandangi layang-layangnya yang terbang bersama burung-burung yang hijrah ke musim yang lain selepas kumandang adzan asar itu.

Barangkali itulah kali pertama apa yang ia anggap sebagai miliknya ternyata tak sepenuhnya bisa ia miliki. Anehnya, tak satu kata pun dilontarkan ibunya sekadar untuk menanyakan perihal layang-layangnya yang pergi dengan bebas dan tak lagi terikat dengan benang yang biasa ia genggam dan ia pegang erat-erat dengan kedua tangannya itu.

Sikap diam ibunya itu barangkali ia pahami sebagai pertanda bahwa ibunya tahu apa yang ia alami dan berusaha berpura-pura untuk tidak peduli. Dan keesokan harinya ia mencoba untuk membuat sendiri layang-layang, meski tak pernah rampung dan tak pernah ia selesaikan. Sementara, sikap diam ibunya dengan kejadian itu tetap tak bisa ia pahami.

Namun kini, si bocah itu telah menjadi seorang lelaki dewasa, dan ibunya pun telah tiada, dan pematang setapak dan bentang dan hamparan sawah-sawah tempatnya dulu bermain layang-layang tak lagi serindang dan selebat dulu.

Ia masih ingat, selepas layang-layangnya putus dari benangnya dan telah pergi jauh bersama burung-burung yang hijrah ke musim yang lain itu, ia terus memikirkannya di saat ia belajar dan mengerjakan tugas sekolah di meja belajarnya bertemankan selampu minyak yang setia mengepulkan asap hitamnya hingga menghitamkan bilah-bilah bambu penyangga genting-genting rumah.

Sebenarnya sempat juga terbersit dalam khayalannya bahwa yang telah mencuri dan membawa pergi layang-layangnya itu tak lain adalah seorang peri yang hanya ingin bercanda dan bermain-main. Katakanlah seorang peri yang sekadar ingin usil ketika ia tengah jenuh dan bosan, lalu mendapatkan ide ketika ia melihat sejumlah layang-layang yang ia dan kawan-kawannya terbangkan sekaligus ia dan kawan-kawannya kendalikan dengan seutas benang yang ternyata memang rapuh dan bisa putus kapan saja ketika ia dan kawan-kawannya sadar bahwa salah satu layang-layang mereka akhirnya memilih untuk bebas lepas dari benang yang mengendalikannya, pergi sebebas burung-burung terbang yang ingin mereka tiru dengan jalan membuat layang-layang.

Hanya saja, kini, bagaimanapun, layang-layangnya itu telah menjelma sekadar ingatan, atau katakanlah ingatannya sendiri memang tak ubahnya seperti layang-layang miliknya yang akhirnya memilih untuk bebas dari kendalinya sebagai seorang kanak-kanak yang hanya ingin bermain dan bergembira bersama burung-burung yang hijrah dengan beriringan dan bersamaan itu.

Sulaiman Djaya
Latest posts by Sulaiman Djaya (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!