Kau Begitu Nyata, Secangkir Kopi Inilah yang Fiksi

Di Kafe Basabasi—tentunya nama ini bisa digantikan oleh nama-nama lainnya—secangkir kopi tetaplah sebuah kopi: untuk diseruput. Kopi jenis apa pun yang Anda pilih, semuanya adalah kopi: untuk diseruput.

Jika menghentikan kopi sekadar sebuah minuman demikian, ia bukanlah apa-apa sama sekali. Tetapi, dalam banyak hikayat pengalaman—sebutlah pengalaman saya sendiri—kopi sama sekali bukanlah minuman belaka. Sudah pasti, kopi menguniversal berkat sokongan item-item lainnya: tempat ngopi dan teman ngopinya.

Di Kafe Basabasi yang belum berumur dua bulan ini, tersebutlah seorang pengunjung yang amat sangat saya hafal sosok dan perawakannya. Wajahnya mencolok, berbeda dibanding para pengunjung lainnya lantaran ia berdarah Arab. Jelas potretnya: ganteng, mancung, bersih, brewok tipis, tinggi, gagah, dan nada bicaranya benderang.

Semenjak dibuka untuk pertama kalinya pada tanggal 18 November 2017, ia sudah menjadi sosok yang memikat mata saya. Apalagi, sebagian besar temannya adalah teman saya pula. Pendek kisah, dalam bentang seminggu dua mingguan terakhir ini, ia sah menjadi teman saya. Kami sering bersapa dan bertukar perbincangan. Saya pun makin takjub tatkala tahu ia alumni pascasarjana di sebuah kampus di Mesir dan putra seorang kiai besar di daerah Gorontalo.

Lalu jalan hidup mencetakkan jalannya. Dia harus pergi ke Jakarta untuk mengurusi bisnis keluarganya dan tentu saja saya—bersama teman-teman dekat di sekitarnya—tetap kudu di Jogja, di kafe Basabasi, siang malam.

Ada lubang hitam di jantung kami, batin kami, jiwa kami, pada setiap persuaan kami setelahnya, di meja kami, pada kopi kami, yang tak lagi sama semenjak kepergiannya.

“Kamu dapat menyembunyikan kenangan, akan tetapi kamu tidak akan bisa menghapus jejak langkah bagaimana kenangan itu dibuat,” kata Haruki Murakami.

“Jejak langkah bagaimana kenangan itu dibuat”, dalam ingatan kami yang amat kerap semeja dengannya, adalah kopi. Iya, kopi hitam seharga lima ribu rupiah. Pada setiap regukan kopi kami, bahkan tetes-tetes akhir di sisa ampasnya yang terpaksa harus terus disesap, di situlah jejak-jejak perbincangan dan tawa itu berlesatan. Menancap sebagai ingatan, kenangan, dan perjalanan hidup.

Jika demikian nyatanya, kopi adalah (salah satu) bentang perjalanan kehidupan itu sendiri. Saya ingat, ingat sekali. Obrolan kami tidak hanya tentang Olive yang kini terlejitkan jadi ikon kafe ini—setidaknya di mata teman-teman abegeh yang rajin mencuri perhatiannya—atau pula perihal sastra dan kebangsatan politik dagang sapi di negeri ini, tetapi jauh memasuki alam batin-spiritual, seperti tasawuf.

Kami pernah menggunjingkan tentang Maulana Rumi, umpama. Bagaimana caranya untuk menancapkan di kedalaman hati tentang sama belakanya duka dan suka dalam perjalanan hidup manusia yang fana ini? Bukankah nyata sekali bahwa kita adalah manusia yang fana, dhaif, tanpa kuasa sedikit pun pada apa yang kita impikan dan esok atau tahun depan menjadi kenyataan? Bahkan untuk menepis kepergiannya saja tak ada sesuatu pun yang bisa kami lakukan untuk menahannya atau ia pun lakukan sendiri untuk membendungnya?

Bagaimana semua itu lalu hadir dan terjadi secara langsam belaka dalam jiwa kami, hati kami, tanpa meletupkan gelombang-gelombang batin dan pikiran yang kami mafhum hanya akan menggalurkan kesedihan dan kepiluan?

Kami pun pernah berbincang tentang bagaimana cara memahami pilihan hidup orang-orang lain yang menyandarkan laju hidupnya bukan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa?

Di surat al-Ankabut, kata saya waktu itu, ada ayat yang menyatakan bahwa “Siapa yang menyandarkan diri dan kehidupannya kepada selain Allah sesungguhnya ia seperti laba-laba yang membangun sebuah rumah dan serapuh-rapuhnya rumah adalah rumah laba-laba jika mereka mengetahuinya.”

Fakta kehidupan menunjukkan kebenaran pernyataan ayat tersebut. Ada begitu banyak perjalanan yang menjenterakannya. Sebuah buku, misal—ini tentu saja bisa diganti produk sambal, mendoan, kopi, dan sebagainya, dan selainnya—yang telah dikreasikan dengan sangat ciamiknya, ditulis oleh pakarnya, dicetak dengan sangat istimewa, didistribusikan dengan kapital marketing yang mumpuni, tetapi tak terjual dengan bagus ternyata. Hal-hal sebaliknya juga kerap terjadi begitu saja.

Otak saya mampat menjelaskan dan memahami situasi x sejenis itu. Kekuatan logis apa gerangan yang bisa saya genggam untuk memenangkan diri di tengah suatu kegagalan dan lonjakan pongah di tengah suatu kegagalan?

Kopi, lagi-lagi, ini disatukan oleh kopi, yang membuat kami bisa melek sampai dini hari dan berikutnya ada passion rohani yang mendekatkan kami.

Lalu, bagaimana cara menegakkan diri di hadapan jejak langkah kenangan dan ingatan itu pernah dibuat?

Kopi tentu saja lalu habis, kami tentu pun lalu bubar dan pulang ke peraduan masing-masing. Kopi memang lantas punah begitu saja—sebab ia asalinya adalah minuman belaka—sebagaimana statusnya sebagai fiksi. Namun, di atas kefanaan kopi yang sangat artifisial ini, ingatan dan kenangan itu abadi, nyata, dan sungguh-sungguh nyata.

Pada sekitar saya ketika menuliskan catatan ini, ada begitu banyak orang yang sedang mencetakkan jejak-jejak kenangan dan ingatan itu di sanubari masing-masing, dalam pelbagai cara, tema, gaya, dan ungkapannya. Lagi-lagi, kopi yang fiksi belaka menyatukan semuanya di meja yang sama, lalu kamu, ya, kamu, begitu sangat nyata.

*) Judul esai ini dinukil dari tulisan Gunawan Maryanto di Kafe Basabasi (5/1/2018).

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. pris Reply

    suka dengan tulisan ini dan pesan di dalamnya

  2. Junaidi Khab Reply

    @Man….
    Itu tuhhh… Ehem…

  3. rodhiyatum mardhiyah Reply

    mantap

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!