Kau dan Cerita-Cerita dalam Pikiranmu

The Poetic and Haunting Illustrations of Aykut Aydogdu

 

Ketika kau duduk di salah satu bangku di dalam kafe itu, pelayan belum mendatangimu, kau tebar tatapan ke luar dari dinding kaca dan pandanganmu berhenti pada sebuah halte di depan sebuah bangunan tua di seberang jalan. Kau lihat seorang perempuan duduk di halte itu sambil memegang telepon genggam, dan seorang laki-laki paruh baya sedang berjalan menuju halte itu.

Kau membayangkan, beberapa menit sebelumnya, perempuan itu menelepon laki-laki paruh baya itu, dan mengatakan bahwa dia sedang berada di halte. Saat telepon itu masuk, laki-laki paruh baya itu sedang berada di dalam ruangan kerjanya di salah satu gedung bertingkat yang ada di sekitar daerah itu, dan kertas menumpuk di atas mejanya. Begitu dia tahu perempuan itu menghubunginya, dia mengaku sangat sibuk dan tidak bisa keluar sebelum pekerjaannya selesai. Perempuan itu sudah tahu kalau laki-laki paruh baya itu akan membuat alasan apa saja supaya mereka tidak bertemu, dan dia sudah menyusun kalimat-kalimat yang akan efektif untuk memaksa laki-laki paruh baya itu meninggalkan pekerjaannya.

“Aku hamil,” kata perempuan itu, lalu dia diam untuk mengetahui bagaimana reaksi laki-laki paruh baya itu. “Kau dengar?! Aku hamil.” Perempuan itu menegaskan kembali karena tidak ada reaksi yang diharapkannya.

“Sekarang kau buat alasan kalau kau hamil.” Datar sekali suara laki-laki paruh baya itu, “Kau lupa kalau aku tidak subur. Kau lupa kenapa aku belum punya anak sampai sekarang?”

Perempuan itu terdiam dan baru menyadari alasan yang dibuatnya mengada-ada. Sejak pertama kali mengenal laki-laki paruh baya itu, dia tahu laki-laki paruh baya itu belum punya anak meskipun sudah dua kali menikah. Tak seorang pun dari dua perempuan yang dinikahinya itu pernah hamil, dan perempuan lain yang berhubungan badan dengan dia pun tidak pernah hamil. Dan, justru, lantaran itulah dia mau menjalin hubungan dengan laki-laki paruh baya itu. Waktu itu dia membayangkan, jika kelak dia tidak bisa mengontrol nafsunya, lalu dia dan laki-laki paruh baya itu bersetubuh seperti sering dilakukan laki-laki dan perempuan yang menjalin hubungan, maka dia tidak perlu khawatir benih laki-laki paruh baya itu akan tertanam di rahimnya. Dia akan bisa menikmati persetubuhan itu tanpa ketakutan.

Tapi, perempuan itu tak mau kalah dan berkata: “Kau yang keliru selama ini. Kau menikahi perempuan mandul, berbeda dengan aku. Aku subur dan benihmu tertanam di rahimku.” Dia diam, menunggu reaksi laki-laki paruh baya itu, dan dia mendengar suara napas dihela. “Aku baru dari klinik dan aku bawa hasil laboratorium.”

Perempuan itu tersenyum karena membayangkan laki-laki paruh baya itu menjadi ragu. Dia sudah menduga akan seperti apa tanggapan laki-laki paruh baya itu begitu dia ceritakan tentang hasil pemeriksaan laboratorium. Itulah skenario yang dibuatnya. Dia menghubungi dr. Yulining, kawan satu SMA yang membuka klinik bersalin di pusat kota, dan meminta kawan itu membuat laporan uji laboratorium yang menjelaskan bahwa dia sedang hamil. “Berapa tarifnya aku bayar, Jeng,” katanya, “kalau rencanaku berhasil, aku tambahi lagi.”

Dokter Yulining menyebutkan tarif, dan membayangkan nilai rupiah yang akan diterimanya jika rencana pasiennya itu berhasil. “Apa pekerjaan laki-laki itu?” tanya dr. Yulianing.

“Tenang, Jeng, dia pengusaha yang sukses.”

Laki-laki paruh baya itu masih diam, berpikir keras apakah dia sedang dipermainkan oleh perempuan itu seperti biasanya, atau ucapan perempuan itu adalah sebenarnya. Dia khawatir jika ucapan perempuan itu benar dan dia tidak meladeninya, maka harapannya untuk bisa memiliki keturunan tidak akan pernah terwujud. Dia harus punya keturunan, dan anak itu—perempuan ataupun laki-laki, tapi kalau bisa laki-laki—akan menjadi tiket untuk mendapatkan jatah warisan dari almarhum ayahnya.
“Baiklah!” kata laki-laki paroh baya itu. “Tunggu aku di halte!”

Kau melihat laki-laki paruh baya itu telah sampai di halte. Perempuan yang sudah ada di halte itu tidak sekali pun menoleh ke arahnya. Dia masih memegang telepon genggamnya. Laki-laki paruh baya itu melirik perempuan itu, lalu mengalihkan pandangan ke ujung jalan, berharap ada bus yang tiba.

“Pesan apa, Pak?” Seseorang, yang ternyata pelayan kafe, berdiri di hadapanmu. Dia seorang perempuan muda, bertubuh tinggi, berkulit putih, dan rambut ikal bergelombang hingga punggungnya. Dia tersenyum kepadamu. “Bapak pesan apa?”

“Kamu!?” Tiba-tiba kau ucapkan kata itu, tapi kemudian meralatnya. “Eh, maaf, maaf…. Aku melamun.”
Pelayan berambut ikal itu tersenyum. “Gak apa-apa, Pak. Pesan aku juga boleh, tapi tidak sekarang. Nanti, sepulang aku kerja.”

Kau merasa ditantang. Darah laki-laki dalam tubuhmu mendadak berombak, meninggalkan debur di jantungmu. Kau tatap pelayan itu. Matanya membuat tubuhmu berdesir.

“Jam berapa pulang kerja?” tanyamu.

Perempuan itu menuliskan sesuatu di kertas yang dibawanya. “Bapak pesan apa?” tanyanya.

“Kopi.” Kau sangat bergairah. “Tanpa gula.”

Pelayan itu menuliskan sesuatu di kertas. “Ada yang lain?” tanyanya.

Kau menggeleng, matamu tetap menatapnya.

Perempuan itu menyodorkan secarik kertas padamu, lalu pergi. Kau menatap pinggulnya yang berisi, melenggok menjauhimu. Kau baca kertas yang diberikannya. “Pukul 18.00 Wib, aku tunggu di halte depan.”

 

2

KAU putuskan keluar dari hotel. Tiga hari kau berada di dalam gedung bertingkat itu, hanya berkisar antara kamar tidur dan ruang pertemuan. Padahal kau datang bukan untuk itu, tapi untuk menikmati kota yang gemerlap.

Pagi kau bangun, lalu sarapan. Pukul 08.00 Wib kau sudah ada di ruang pertemuan bersama peserta seminar lainnya yang datang dari berbagai kota. Siang istirahat, kau ke kamarmu. Farida Hanum, kawan satu kamar, tetap di ruang pertemuan. Ada saja yang dilakukannya. Kalau tidak mengobrol dengan sesama peserta seminar lainnya, dia akan mengejar salah seorang pembicara dan bertanya ini dan itu.

Kau tak mungkin mengikuti Farida Hanum, dia masih hijau dalam perkara seminar yang sebetulnya tidak terlalu penting karena cuma untuk menghabiskan anggaran yang ada. Kau sudah bosan ikut seminar, dan hasilnya tetap saja sulit untuk diaplikasikan. “Ini hanya formalitas,” katamu kepada Farida Hanum, “tak usah terlalu bersemangat.”

Farida Hanum hanya tersenyum. Dia tahu kalau kau tidak terlalu suka mengikuti seminar karena kau sudah bosan ikut seminar di mana-mana. Sebagai pegawai negeri bergolongan rendah yang butuh pengalaman dan ilmu pengetahuan, Farida Hanum memilih tak mau mengikuti caramu. Dan, ketika kau ajak dia keluar dari hotel untuk menikmati suasana kota, Farida Hanum mengingatkanmu agar jangan pernah keluar. “Lepas Isya masih ada pertemuan lagi. Kali ini Prof. Dr. Bambang Suyadi yang bicara,” katanya.

“Yang aku butuhkan saat ini hanya makanan enak,” katamu.

“Tinggal sehari lagi. Kalau kau sabar, besok kita sudah selesai. Kita bisa menikmatinya dengan menu apa saja.”

“Aku hidup dan bekerja untuk makan.”

Farida Hanum menggeleng tanda tak setuju, tapi dia tidak bisa melarangmu.

Keluar dari hotel, kau mencegat taksi dan meminta sopir mengantarkanmu ke restoran yang menyajikan masakan paling enak. Sopir taksi itu menurunkanmu di depan sebuah restoran dan berkata: “Pantas Ibu gendut. Ibu suka makan rupanya.”

“Bukan urusanmu.” Kau ketus, lalu meninggalkan taksi itu, menaiki tangga menuju restoran. Di depan restoran, seorang penerima tamu menyambutmu. Dia membawamu ke sebuah meja, tapi kau meminta agar memilihkan meja di dekat jendela. “Aku akan lebih nyaman makan sambil menikmati pemandangan di luar,” katamu.

“Baik,” kata pelayan. “Ibu pesan apa?”

“Menu favorit.”

Pelayan pergi. Kau menatap ke luar lewat jendela kaca dan pandanganmu berhenti pada sebuah halte di depan sebuah bangunan tua di seberang jalan. Kau lihat seorang perempuan duduk di halte itu sambil memegang telepon genggam, dan seorang laki-laki paruh baya sedang berjalan menuju halte itu.

Langit senja hari dan lampu-lampu di pinggir jalan mulai menyala. Kau membayangkan, laki-laki paruh baya itu sebetulnya masih muda, tetapi dia sengaja mengubah penampilannya untuk suatu tujuan tertentu. Mungkin, dia hanya ingin membangun kesan bahwa dirinya tua dan lemah, sehingga orang-orang akan merasa iba kepadanya.

Dari caranya berpakaian, tampak kusut dan tak terurus, kau menduga laki-laki tua itu sebetulnya orang yang ingin berniat jahat. Mungkin saja dia sengaja berdiri di salah satu tempat di sekitar halte untuk mengawasi siapa yang datang ke halte itu, lalu dia melihat seorang perempuan duduk seorang diri di halte itu. Dia perhatikan perempuan itu lebih lekat, dan dia menduga kalau perempuan itu sedang menghadapi masalah. Dia pikir, perempuan yang sedang punya masalah adalah orang yang tepat untuk menjadi korbannya, lalu dia mendekat dengan berpura-pura menjadi laki-laki paruh baya.

Perempuan itu sendiri sepintas tampak sedang dirundung masalah, karena perhatiannya tidak pernah lepas dari telepon genggam yang dipegangnya. Barangkali perempuan itu sedang menunggu seseorang yang akan menjemputnya, atau perempuan itu ditinggalkan oleh seseorang di suatu tempat dan dia tidak tahu harus pergi ke mana. Dia melihat halte dan mengira di tempat ini akan ada kendaraan umum yang bisa membawanya ke rumahnya.

“Sendirian, Neng?” sapa laki-laki paruh baya itu.

Perempuan itu hanya menoleh, sekilas, lalu kembali menatap telepon genggamnya. Laki-laki paruh baya itu duduk d samping perempuan itu, melirik tas kecil yang ditaruh di samping perempuan itu. Tas itu dari kulit dan terlihat berkelas. Laki-laki paruh baya itu menebak isi tas kecil itu pasti banyak. Dia pun berpikir keras cara mengalihkan perhatian perempuan itu, lalu mulai merapal beberapa mantra yang efektif membuat korbannya terlena. Dia sudah sering mempraktikkannya, dan hasilnya sangat lumayan.
Tiba-tiba telepon genggam perempuan itu mendering. Perempuan itu menatap layar, lalu tersenyum. Dia bangkit dan menjawab telepon itu. Tas kecil yang disandangnya bergoyang-goyang dan nyaris mengenai wajah laki-laki paruh baya itu. Laki-laki paruh baya itu melihat ada peluang bagus untuk merengut tas tersebut, lalu menariknya.

“Selamat menikmati, Bu!” Pelayan bicara, dan kau tersentak. Kau menatap pelayan itu sambil mengernyitkan kening. “Silakan, Bu!”

Kau baru sadar, ternyata, pelayan sudah menghidangkan makanan yang kau pesan. Menu favorit di restoran: sop iga sapi yang bakar. Air liurmu mengalir dan nyaris menetes menatap sop yang mengepulkan uang itu.

“Ibu mau tambahan menu lain?” tanya pelayan.

“Apa maksudmu bertanya begitu!?” Kau meradang. “Kau pikir aku ini rakus karena tubuhku gendut. Kau pikir aku….”

“Maaf, Bu, maaf….”

 

3

KAU lihat jam di layar telepon genggammu. Tak lama lagi Magrib. Langit mulai gelap, dan lampu-lampu mulai dinyalakan. Hampir sejam kau menunggu di halte, tak ada tanda-tanda bus akan melintasi. Kau berharap bus itu segera datang. Tapi, yang datang justru seorang laki-laki paruh baya, berjalan ke arahmu.

Kau tak memedulikan orang itu. Kau tak mengenalinya seperti kebanyakan orang yang kau temui. Kau tidak mengenal siapa pun di kota ini. Sudah dua bulan kau tiba di kota ini, dan selama itu belum ada tanda bahwa kau akan mendapat pekerjaan. Beberapa perusahaan yang kau datangi mengaku tidak sedang mencari karyawan. Ada dua perusahaan yang menolak dengan tegas, terutama karena kau tak punya kecakapan apa pun selain ijazah sarjana yang kau miliki.

“Ijazah itu tidak penting,” kata laki-laki tua yang bekerja di bagian personalia perusahaan itu, “yang penting itu keterampilan yang khas dan tak bisa dilakukan orang lain.”

Kau tak tersinggung atas ucapannya. Kalimat serupa pernah disampaikan Harun Al Rasyid kepadamu. Dia pamanmu, adik ibumu. Dia seorang pengusaha yang kreatif, memproduksi kakus duduk yang dijual ke toko-toko bangunan di kotamu. Dia mengaku akan mempekerjakanmu di tempat usahanya asalkan kau punya kemampuan khusus seperti mengecat, mengaduk bahan-bahan porselen, atau apa saja yang bisa membuat produksi kakus duduk menjadi lebih baik.

“Aku tak punya kemampuan seperti itu,” katamu.

“Kau bisa menjual?” tanya Harun Al Rasyid.

Kau menggeleng.

“Ya, salam,” kata Harus Al Rasyid. “Kau tidak akan dapat pekerjaan apa pun jika tak punya kecakapan khusus.”

“Aku akan merantau ke Jakarta.”

“Percuma.”

“Aku akan buktikan.”

“Sia-sia saja.” Harun Al Rasyid pun menawarkan agar kau mau belajar. “Kalau kau sudah bisa, aku akan mempekerjakanmu. Bagaimana?”

“Apakah aku digaji selama belajar?”

“Tidak.” Harun Al Rasyid tersenyum. “Apa kau digaji selama kuliah?”

Kau menggeleng.

“Kau harusnya bersyukur,” kata Harun Al Rasyid.

Sayang, kau tak bersyukur. Kau putuskan pergi merantau. Dan, ternyata, Harun Al Rasyid benar.

“Maaf, Mbak, bicara apa tadi?” tanya laki-laki paruh baya yang duduk di sampingmu. “Mbak tadi berkata, ‘Benar’.”

Kau menoleh ke laki-laki paruh baya itu. “Aku bicara begitu?” tanyamu.

“Ya.” Laki-laki paroh baya itu tersenyum. “Aku kira Mbak bicara dengan aku?”

“Oh, maaf, aku tadi melamun.”

Laki-laki itu mengangguk. “Hidup memang susah saat ini. Wajar kalau Mbak jadi melamun seperti itu.”

“Maksud Bapak?”

“Tadi aku membayangkan kalau Mbak sedang ada masalah, dan ternyata Mbak memang ada masalah.”

“Maksud Bapak?” Kau bangkit dan mendadak khawatir. “Bapak Mbak membaca pikiran saya?”

“Maaf, Mbak. Kau tadi bicara seorang diri. Aku jadi tahu apa yang Mbak pikirkan.”

“Benarkah!”

Laki-laki paruh baya itu mengangguk.

Budi Hatees
Latest posts by Budi Hatees (see all)

Comments

  1. apeemana Reply

    Mantul sekali

    • Septiannor Wiranata Reply

      Keren cerpen nya

  2. Anonymous Reply

    Kerren. Tapi gagal maksud di “Bapak Mbak membaca pikiran saya?”

  3. Yuni Bint Saniro Reply

    Satu kejadian diamati oleh beberapa orang yang berbeda akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Itu bukan masalah, asal tidak menyebarkan persepsi itu. Karena bisa jadi apa yang kita interpretasikan dari suatu kejadian, bukan hal yang sebenarnya.

    Mungkin seperti itu kira-kira apa yang saya baca dari cerpen ini.
    Hehehe

  4. Mas Penan Reply

    Datar

  5. Javit Reply

    Kerennnn!!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!