Seperti selamanya, aku berjalan di hamparan kosong yang disirami pendar cahaya meyilaukan mata. Seperti selamanya juga, aku tersadar terpisah dari banyak orang yang saling berimpitan tak ubahnya antre sembako di balai kota saat ada pejabat datang meminta restu penduduk. Lagi-lagi seperti selamanya, aku tersadar dari reka ulang yang sempat disetel di kepalaku dengan durasi seumur hidup. Lalu tak seperti sebelumnya, aku melihat toko yang megah bentuk bangunannya di hadapan mataku, di tengah hamparan hijau, di antara suara-suara merdu dan teduh ronce-ronce pendar matahari setelah aku berjalan jauh pada waktu yang hampir selamanya itu.
Saat pertama kali menemukan toko tersebut, aku melihat banyak anak yang berlarian dengan riang keluar toko sambil menenteng ibunya masing-masing. Mengapa tak ada yang membawa bapak? Dan ibu yang mereka bawa terlihat penuh dengan kasih, yaitu kasih yang selama ini kucari-cari, baik ketika aku kabur dari desa maupun setelah menemukan toko yang ada di depan mata.
Setelah aku melangkah maju menuju rerumput hijau lembut di halaman toko itu, aku baru tahu ternyata ada toko yang menjual ibu. Sebuah keinginan besar bagiku untuk bisa membelinya barang satu. Tentu, satu ibu harusnya cukup bagiku. Tanah asing ini seakan menyediakan apa yang aku inginkan: ibu.
Melihat toko itu, tak kuhiraukan haus, lapar, dan perih di ubun-ubun. Tak kuhiraukan pula tubuhku yang terasa seolah-olah dikuliti hidup-hidup sepanjang waktu tadi. Namun, aku tak akan melupakan mengapa aku bisa sampai di toko itu. Telah kulalui jalan yang teramat jauh hingga bisa mencapainya. Aku harus hanyut dulu di sungai yang teraliri banjir bandang ketika tertidur pulas di kolong jembatan. Dan untuk soal bertahan hidup lainnya, aku tak peduli karena aku akan segera membeli ibu seperti bocah-bocah lain yang sudah keluar dari toko itu.
Seumur hidup atau lebih tepatnya selama enam belas tahun, aku tak pernah mengerti siapa ibuku, dan hal itu akan mempermudahkan aku untuk akrab dengan ibu baru yang akan kubeli.
Dulu, sebelum kabur ke kota, aku hanya tinggal dengan nenek. Ibu kandungku pulang dan tinggal selama tiga bulan di kampung, hanya demi melahirkanku lalu pergi lagi ke Malaysia. Dia menunggu selama tiga bulan bukan karena diriku, tapi masa keberangkatannya menuju Malaysia memakan proses agak lama. Kalau bisa, mungkin setelah melahirkanku, dia akan langsung terbang tanpa berpikir panjang. Jika diibaratkan kampung adalah toilet, mungkin baginya aku hanya seonggok tahi mencret. Anak dari siapa? Entahlah. Bisa saja dia punya pacar yang mau enaknya saja atau majikan binal di luar negeri yang bingung ingin menumpahkan spermanya ke siapa lagi kalau bukan ke pembantunya.
Padahal orang-orang dari kampung kami terkenal religius dan dermawan, walaupun seringnya hanya menyumbang kotak amal masjid. Pikirku, mengapa ibu kandungku tak terpengaruh oleh watak orang kampung kebanyakan? Mengapa dia malah bertindak seenaknya? Di kampung kami banyak ladang dan padang rumput. Nenek hanya bekerja sebagai buruh di ladang dan uangnya pas-pasan untuk makan. Aku pun, tanpa disuruh, sudah ikut bekerja mencari rumput gajah untuk makan sapi para peternak. Soal sekolah, jelas aku tak mampu dan tak mau.
Ada kalanya udara terasa amat kering, rumput menjadi layu, dan sungai menjadi dangkal. Musim kemarau membuat segalanya menjadi sulit. Suasana menjadi lebih sulit saat nenek hanya memikirkan dirinya sendiri. Sungguh culas betul wanita tua itu. Tapi aku juga akan menjadi lebih culas.
Hal tersebut seakan memberiku ide untuk menjadi lebih makmur. Rencanaku pada musim kemarau itu terbilang cukup nekat. Dengan berbekal korek, aku membakar padang rumput. Aku masih berani karena padang rumput tak ada yang punya. Jika ladang pertanian yang aku bakar, masalah akan menjadi lebih hebat.
Api berkobar kian tinggi. Warga datang bertubi-tubi. Saat itulah, aku pergi ke masjid untuk mencuri kotak amal. Dengan mudah, aku membawa pulang dan membongkarnya dalam gubuk tanpa sepengetahuan orang lain karena mereka sedang sibuk memadamkan api. Nenekku pun ikut menonton kebakaran karena selama hidupnya sudah tidak ada hiburan.
Kotak amal itu memberiku bekal yang cukup untuk pergi ke ibu kota. Aku cukup beruntung. Di ibu kota, walau tak kenal siapa-siapa, aku bisa bertahan hidup cuma-cuma. Keberuntungan itu aku dapat di pinggir kali. Pada suatu petang, aku menemukan seorang lelaki mengambang dengan luka tikam di perutnya. Dia setengah sadar. Karena bingung, aku memanggil seorang tukang permak keliling yang lewat untuk menolongnya. Pikirku, kalau orang itu bisa menjahit celana levis, mungkin dia juga bisa menjahit perut pria malang itu hingga pendarahannya berhenti.
Untungnya, tukang permak mau membantu menjahit luka itu, walau akhirnya dia kabur kalang kabut setelah melihat tato naga di lengan kiri si lelaki. Aku menunggui pria bertato sampai dia siuman. Hasilnya, aku mendapat perlindungan mutlak di wilayah kekuasaannya dan sepetak beton bawah jembatan yang dapat kusewa.
Saat di beranda toko, aku mengintip berbagai jenis dan spesifikasi ibu dari kaca etalase. Aku semakin tertarik untuk merakit ibu sempurna bagiku. Aku memasuki toko itu. Sungguh pemandangan luar biasa. Badanku membeku dalam cahaya benderang putih keemasan yang menyorotku dari berbagai sisi. Belum pernah aku mengalami hal seperti ini. Aroma wangi begitu menusuk hidung. Udara menjadi teramat sejuk sampai aku menggigil dibuatnya. Mataku memburu ke mana-mana.
Kulihat seseorang menghampiriku. Tampaknya penjaga toko. Wajahnya tak terlalu jelas karena benderang cahaya yang menyilaukan. Tapi penjaga toko itu sepertinya mampu membaca pikiranku. Dia berkata kepadaku untuk santai saja dan melihat-lihat dulu. Dan bodohnya, aku berkata kepadanya, “Berapa harga satu ibu agar aku bisa punya satu?” Penjaga toko malah menyunggingkan senyum ramah dan seketika mengajakku untuk berkeliling lebih jauh ke dalam toko itu. Dia memperlihatkan banyak model dan rupa.
Ada berbagai macam ibu yang dijual. Penjaga toko tersebut menjelaskan bahwa pelanggan bisa menentukan sendiri bagaimana ibu yang ideal bagi mereka. Ada ibu yang telah dikemas, lengkap dengan keterangan mengenai kondisi fisiologis, psikologis, demografis, dan lainnya yang tak kuketahui artinya. Ada ibu muda yang cantik, ibu gendut yang jelek, ibu paruh baya pekerja kantoran, bahkan ibu tua yang hanya terbaring di ranjang. Aku bertanya lagi kepada si penjaga toko, “Apakah ibu tua yang hanya terbaring di ranjang itu ada pembelinya?” Dan penjaga toko itu menjawab, “Tentu saja.”
Dia lanjut berkata bahwa pembeli ibu tua yang hanya terbaring di ranjang itu bukan anak-anak seperti pada umumnya. Aku hanya bingung membayangkan siapa orang yang sudi membeli sesosok ibu tua renta seperti itu.
Semakin lama berkeliling, aku pun semakin bingung. Ibu seperti apa yang sesuai dengan keinginanku? Lebih bingung lagi kalau aku sudah mendapatkan ibu sesuai keinginanku, tapi belum punya uang untuk membayarnya. Aku menjadi kacau, lemas, dan terduduk secara tiba-tiba. Ketika itu, penjaga toko tak membiarkanku jatuh ke lantai. Dia menopangku lalu mengarahkanku ke tempat lain, yang tampaknya seperti ruang pemasangan onderdil fisik, pengisian psikologis, dan pencocokan busana. Aku kembali merasa terpukau dengan banyaknya ibu yang dirakit di toko ini. Entah apa isi pikiran penjaga toko itu. Saat kami tiba di penghujung ruangan yang bentuknya seperti gudang, dia mengeluarkan sebuah kotak peti besar menggunakan troli dari dalam ruangan tersebut. Aku disuruhnya membuka sendiri peti itu, tapi aku bilang bahwa aku tak punya uang untuk membayarnya. Tapi, si penjaga toko tetap memaksa dan berkata, “Kau layak mendapatkannya setelah menempuh perjalanan begitu jauh.”
Aku membuka peti itu dengan linggis yang dipersiapkan oleh penjaga toko. Kucongkel segelnya. Semerbak aroma bunga mengudara. Dalam peti itu terlihat sesosok ibu berdaster cokelat dan berambut hitam yang disanggul menggunakan jepit rambut sederhana. Tak begitu cantik, tapi memukau. Ibu itu terbaring di atas tumpukan anyelir. Pantas saja aromanya semerbak ke mana-mana.
Aku terdiam, penjaga toko pun diam, begitu pula ibu dalam peti itu. Seketika penjaga toko menghampiri sosok ibu. Dia membungkuk, entah membisikkan mantra pada telinga kirinya atau menekan ubun-ubun ibu untuk menyalakan tombol power. Sekejap kemudian, ibu bangkit dari dalam peti. Dia memperhatikan lekat-lekat mukaku, lalu melambaikan tangan seolah memberi isyarat agar aku maju.
Dengan senang hati aku menghampiri. Dia memeluk tubuhku erat, aku memeluknya lebih erat. Aku sedang menikmati dekapan ibu yang amat langka dalam hidupku. Ibu pun menatap lebih dalam ke mataku. Dia berdiri dan menggandeng erat tanganku, lalu berkata dengan khidmat, “Bagaimana keadaanmu selama ini?”
Aku jawab, “Akan kuceritakan nanti setelah kita keluar toko ini ya, Bu.” Lalu kami berdua keluar dari toko itu diantar penjaga toko berwajah silau. Dia membisikkan rekomendasi ke mana selanjutnya kami pergi untuk menikmati hidup baru ini.
Aku sempat berpikir, jika ada Toko Ibu apakah ada Toko Anak? Di mana orang tua membeli anak sesuai keinginan mereka? Mungkin Toko Istri, Toko Suami, Toko Ayah pun ada belaka, tapi aku tak membutuhkannya. Toh, buat apa membeli ayah? Walau mungkin dia bisa bekerja dan mencari nafkah untuk anaknya, aku sangsi dia bisa memberi kasih. Karena para ibu saja bisa pergi seenaknya, apalagi ayah. Mungkin ayah cuma akan jadi orang yang selalu menuntut, suka membentak, dan main tangan bila diperlukan karena kondisiku yang memprihatinkan.
Yang pasti, setelah ini, aku akan pergi berendam di sungai susu di seberang Toko Ibu bersama ibu baru sesuai yang disarankan penjaga toko dan menceritakan kepada ibu semua cerita yang telah kupendam dalam empedu.
2022-2024
- Ke Toko Membeli Ibu - 24 May 2024
liychan
Bagus <3 suka 🙂
Ema
suka sekali
Kinanti
Perumpamaan toko ibu dan toko bapak bagus sekali, belum lagi alasan kenapa lebih banyak toko ibu dan toko bapak juga bagus sekali
Anisa Faqot
Kok pengen nangis ya baca cerpen ini
Izzana
Lagi ribut sama ibu tapi kangen juga sama ibu baca cerpen ini makin kerasa
Rika
Toko ini menceritakan tentang seorang anak yang ingin memilih punya ibu seperti apa dan sesuai dengan kehendak hatinya
Suka dengan kata-katanya seakan kita memiliki hak yang sama dalam memilih orang tua bukan berarti kita tidak sayang dengan ibu kita yang sekarang yaaaa😉😉
Aris
Menarik. Menyenangkan bacanya