Keadaban di Mata Seekor Kera Kafka

id.pinterest.com

Seperti Anda sekalian, saya pun kerap sekali berlaku tidak adil dengan menilai sesuatu berdasar pandangan mata sendiri, menganggapnya benar, lalu mati-matian menyiarkan dan mempertahankannya. Sampai pada suatu hari, kepala saya terasa dipukul dengan sangat keras oleh sebuah cerpen Franz Kafka yang berjudul “Pidato di Hadapan Sebuah Akademi”.

Cerpen ini sangat menggelitik batin saya, mengendap di kepala, bukan semata karena keunikan imajinasinya berkisah tentang testimoni seorang manusia yang dulu pernah menjadi seekor kera di sebuah forum ilmiah, tetapi utamanya perihal “mata saya yang sungguh hanyalah mata saya, bukan mata selain mata saya, apalagi mata dunia dan seluruh isinya”. Apa hak mata saya untuk menganggap semua hal, apalagi kebenaran-kebenaran hakikatnya, sepenuhnya seperti apa yang terekam dalam pandangan mata saya?

Betapa tidak adilnya mata saya, pikiran saya, yang saya tahu penuh keterbatasan, tetapi selalu saya pergunakan untuk menilai semua hal, dunia seisinya!

****

Demi melipat waktu yang terbengkalai di jalan-jalan Jakarta yang melelahkan, saya kerap melintasi gang-gang kecil, sesak, riuh, dan pula melelahkan agar tidak telat untuk sebuah pertemuan. Di Jakarta, saya melihat dengan mata sendiri dan merasakan dengan batin sendiri, betapa hidup di antara jejalan-jejalan yang mahajubel sungguh terlihat sederhana.

Saya tersedak di sini, itu tentu hanya pandangan mata saya—cerpen Kafka itu selalu menghantui saya dengan teguran-teguran di dalam batin agar saya menyadari betapa terbatasnya mata saya di hadapan kebenaran realitas apa pun.

Memang, secara kasatmata, saat melintasi gang-gang setamsil, semua tampak sederhana belaka. Seolah hidup di dalamnya cukuplah ala kadarnya. Cukup berkaus singlet, celana pendek, sandal jepit, daster, atau sarung. Cukup rambut tergerai apa adanya atau dijepit sekenanya. Aktivitas-akivitasnya pun terlihat bersahaja belaka. Duduk-duduk saling berbincang, jalan kaki santai, diam memandangi lalu-lalang, menambal ban, memberi pakan burung, main badminton, menyapu beranda rumah yang sekaligus jalanan, makan di dekat jendela, tidur di pos ronda, atau menenteng ember berisi cucian.

Sesederhana itu, sebiasa itu. Khas keseharian, berlangsung di sebuah ruang publik yang menjadi milik bersama. Tanpa kecuali. Orang tua, dewasa, remaja, anak-anak, dan bayi-bayi. Tumplek blek.

Bagaimana bila saya menjadi bagian dari mereka, berpuluh tahun sejak kecil sampai tua, menghuni kesesakan itu bersama-sama, sebutlah bersama empat keluarga di dalam sebuah rumah kecil, yang harus bergantian bila mandi, bahkan tidur?

Saya salah!

Sungguh, saya telah amat salah menilai kehidupan yang demikian dengan menggunakan mata saya yang tidak pernah berjibaku dalam langgam hidup demikian. Maka, dalam angan-angan kemudian, saya mencabut kesan awal yang diberikan sudut mata saya tadi, bahwa itu adalah bentuk hidup yang sederhana. Itu niscaya tidak sederhana sama sekali!

Di sebuah kelokan gang yang sesak itu, saya melihat sejumlah kerumunan yang menyiapkan keranda. Seseorang yang bersemayam tanpa nyawa dikeluarkan dari rumahnya yang sempit, lalu diusung jauh dan jauh, ke kuburan—yang tak lagi menuntutnya bersabar untuk antre mandi dan tidur. Di kuburan, ia mendapatkan kebebasannya.

Saya membatin, apakah kematiannya menjadi kabar pagi yang menyedihkan atau menyenangkan bagi anggota keluarganya yang berjubel dan para tetangganya yang berjejal?

Saya tak tahu, tetapi saya bisa meraba, dengan sudut mata saya.

Bila saya seekor kera, bukankah biasa belaka bagi saya untuk tidak mengenakan celana? Tetapi, tersebab saya manusia, saya tak boleh melakukannya; agar saya tetap disebut memiliki akal sehat, tetap disebut memiliki rasa malu. Itulah keadaban saya, itulah keluhuran saya, dan tepat di situ pulalah saya (juga Anda) kerap dikecewakan. Ternyata, keadaban dan keluhuran adalah sekaligus simpul-simpul kekecewaan kita, ya.

Orang yang telah meninggal itu boleh jadi amat ditangisi oleh seseorang di dalam rumahnya karena ia sangat berharga bagi hidupnya. Mungkin suaminya atau ayahnya. Tetapi, bagi sebagian lainnya lagi, itu adalah warta kegembiraan. Seminimnya, berkuranglah antrean mandi dan tidur.

Bagaimana membayangkan dualisme nilai mendasar itu (sedih dan bahagia) bisa bersemayam di dada setiap kita yang selalu mendaku-daku keadaban dan keluhuran? Betapa absurdnya kita yang manusia ini.

Nyatanya, selalu demikianlah setiap kita. Apa yang kita sebut “kesadaran” (world view), yang teramat kita puja atas nama pencapaian hidup, yang kata Karl Marx membentuk “cara mengada” setiap kita, sejatinya adalah keping-keping A dan B sekaligus, kebaikan dan keburukan sekaligus, kesedihan dan kebahagiaan sekaligus, keadaban dan kebiadaban sekaligus. 100% yang menimpa 100% lainnya sekaligus.

Kematian sosok penghuni gang sesak itu niscaya adalah sebuah kehilangan yang menisbatkan sebuah kesedihan tetapi sekaligus adalah kelonggaran ruang yang menahbiskan kebahagiaan. Kedua langgam nilai yang dualistik itu berkelindan begitu saja di ruang-ruang kesadaran setiap orang di sekitarnya, bahkan sanak kadang-nya yang terdekat.

 Di jalan raya, misal, terburu atau tidak, setiap kali ruang kendaraan kita merasa diambil atau ditelikung oleh siapa pun—mungkin pelakunya adalah orang yang kita kenal atau orang yang kita tidak ingin sama sekali berurusan dengannya—kita serentak bereaksi; memekikkan klakson atau sekadar menggeleng-gelengkan kepala penuh mual. Kita semutlaknya sadar bahwa ini jalan raya, ini public sphere, dan peristiwa gesekan dengan siapa pun dan apa pun adalah wajar belaka. Kita paham benar risiko hidup bersama di sebuah ruang bersama itu. Tetapi, kenapa kita menjadi tumpul nalar seketika dalam suatu peristiwa gesekan itu?

Ketika dulu Jurgen Habermas mengidealisasikan ruang publik (public sphere) sebagai sumber lahirnya tata nilai madani (civil society) dengan menjadikan tradisi pertemuan-pertemuan dan obrolan-obrolan bebas di kedai-kedai kopi Inggris dan Prancis di abad 18 sebagai bukti-bukti ilmiahnya, niscaya penyimpulan Habermas akan telak berbeda umpama menjadikan gang-gang sesak itu sebagai objek studinya. Public sphere di gang-gang sesak berjubel itu adalah kemadanian itu sendiri—yang tentu berbeda mutlak dengan public sphere di mal atau gerai brand kopi internasional.

Apakah tata nilai madani ala Habermas—yang kini ikut kita rayakan dengan bangga sebagai puncak kecendekiaan dan peradaban manusia—yang bersumber pada ruang publik yang longgar benar-benar adalah kemadanian yang muskil dilahirkan dari ruang-ruang publik gang-gang yang sesak berjejalan? Apakah obrolan-obrolan di gerai kopi internasional yang lega adalah kemadanian yang berkelas tinggi dan gunjingan-gunjingan di pos ronda pada sebuah gang yang sesak adalah keterbelakangan yang memprihatinkan? Apakah bila ada seorang remaja yang diam-diam senang atas kematian kakeknya karena itu berarti ia tak perlu lagi antre lebih lama untuk mandi dan tidur, itu adalah tragedi keluarga dan kemanusiaan yang biadab—karenanya kita nista—dan bukan sebuah panggilan insting alamiah belaka untuk memiliki hidup yang lebih baik, lebih madani—karenanya bisa kita mafhumi?

Habermas, dengan seabrek pujian kaum cendekiawan, telah banyak pula dikritik cendekiawan lainnya, sebutlah Oscar Negt, Alexander Kluge, dan Mary Ryan. Saya pun bisa mengkritisinya, bahwa kemadanian sejatinya adalah tata nilai keadaban yang penuh keterbatasan—secara ruang dan waktu—yang tentu saja tidak otoritatif sama sekali untuk disekatkan pada semata kedai-kedai kopi di Inggris dan Prancis abad 18, atau gerai-gerai kopi internasional hari ini, yang di dalamnya diksi-diksi akademik terwedarkan sedemikian rupa. Tata nilai yang Anda tabalkan civilized niscaya tidak akan sepenuhnya setara dan relevan dengan tata nilai kemadanian di sebuah ruang dan waktu yang berserak di gang-gang sesak yang saya kabarkan.

Kita sungguh amat kerap terjebak galur-galur pandangan mata sendiri, yang tentunya terikat pada keterbatasan ruang dan waktu. Keterjebakan itu kemudian menghantar kita berlaku tidak adil pada galur-galur pandangan mata lainnya—yang bukan dunia kita, kesadaran kita, world view kita, cara mengada kita. Pada sikap demikian, kemadanian macam apa sebenarnya yang kita rayakan?

Dengan sedikit mencandai narasi Kafka, saya tergelitik untuk menukil ucapan kera dalam cerpen “Pidato di Hadapan Sebuah Akademi” itu: “Dengan kemadanian (kebebasan), manusia sering sekali mengecewakan dirinya sendiri. Dan karena kemadanian (kebebasan) dianggap sebagai perasaan yang paling luhur, maka luhur pula kekecewaan yang mengikutinya.”

Lucunya kita, ya.

Jogja, 29 November 2016

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!