Kebudayaan Klik!

Pada dewasa ini (tahun 2022) Indonesia menurut saya tengah memasuki suatu fenomena unik bernama kebudayaan klik! Semua hal (ekonomi, politik, budaya, agama, sosial, seni, dan sebagainya) bisa berlangsung dan dapat terselenggara hanya dalam kotak kecil (handphone) ajaib yang menyala. Dan Klik! Semua bisa menjangkau fenomena nasional, bahkan dunia.

Jauh sebelum memasuki kebudayaan klik, mari kita mengenang dan menyimak kembali keseruan polemik kebudayaan pada kurun waktu (1935) yang amat sangat seru, menegangkan, namun membangun. Aduhai!

Sutan Takdir Alisjahbana menulis, (dalam catatan polemik kebudayaan yang dikumpulkan Achdiat K. Mihardja, 1948) Kebudayaan Indonesia harus bebas dari warisan kebudayaan zaman pra-Indonesia. Suku Jawa akan mengelak jika yang disebut kebudayaan Indonesia ialah kebudayaan Melayu yang diubah sedikit. Dan begitulah sebaliknya, suku yang lain pun tidak akan senang jika kebudayaan Indonesia merupakan kebudayaan Jawa yang diubah sedikit. Sebab jika meninjau kepada zaman pra-Indonesia, bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara ini tak pernah mempunyai kemauan, cita-cita, dan pikiran bersatu dan berhubungan sehingga tak pernah melahirkan kebudayaan dengan semangat demikian.

Dibalas lugas pandangan Sanusi Pane, menyangkut bidang ekonomi misalnya kita tidak jauh-jauh pergi kepada Karl Marx untuk mengetahui bahwa susunan ekonomi yang senantiasa merupakan kelanjutan atau terusan yang sebelumnya. Kelanjutan itu tampak dalam banyak hal, bahkan dalam lawan-kawan yang menggantikannya. Namun kita juga tidak usah menganut Hegel, supaya tahu bahwa antara antitesis dengan tesis ada hubungan sejarah sehingga boleh dipakai kata kelanjutan.

Dan Barat, sebagaimana kita tinjau bersama, mengutamakan jasmani, akibatnya sedikit lupa pada jiwa. Akalnya dipakai untuk menaklukkan kekuatan alam. Itu serupa atau jelmaan Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwa asalkan menguasai jasmani. Dan Timur sebagian besar lebih mementingkan ruhani sehingga lupa pada jasmani. Akal digunakan sebatas untuk mencari jalan menyatukan diri dengan alam. Ia serupa dan menjelma Arjuna yang bertapa di Indrakila. Haluan yang sempurna ialah menyatukan jelmaan Faust dengan jelmaan Arjuna. Memadukan unsur-nilai materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme. Seharusnya tertuju ke arah-jalan itulah kita di Indonesia ini harus menuju, jadi memperkaya (bukan mengubah) dasar kebudayaan kita.

Dan sedikit diaduk-aduk oleh Purbatjaraka dalam pandangan, yang berguna buat tanah air dan bangsa kita ini ialah mengetahui jalannya sejarah dari dahulu sampai sekarang. Bersamaan dengan pengetahuan ini kita sekuat tenaga berusaha mengatur hari yang akan datang. Oleh sebab itu, hanya dengan pengetahuan inilah orang dapat memilih mana yang baik, mana yang tidak baik buat tanah air dan bangsa kita kelak. begitulah, bangsa kita mestinya jangan terkekang kebudayaan kuno, tetapi jangan hanya terhasut kebaratan. Lihatlah antara dua-duanya, lalu tinjau kembali mana yang baik dari keduanya itu, supaya kita bisa memakainya dengan aman dan tak ada penyesalan di hari yang akan datang kemudian. Sampai di situ, tugas berat mesti dilalui untuk para penganjur kita yang mau memperhatikan nasib bangsa ini, bangsa Indonesia.

Polemik kebudayaan kita cukupkan sampai di situ saja, agar kita kembali menyusuri peristiwa lengkap itu bersama-sama, juga kembali menyusuri pemaknaan yang lebih meluas ke jaring-jaring sel-akal-pikiran dan memasuki lembah hati-perasaan masing-masing.

Dengan begitu, kita akan memasuki keseruan selanjutnya, ialah menyimak prahara budaya pada kurun waktu (1959–1965) pertentangan antara kelompok intelektual komunisme-marxisme (kiri) dan pengusung humanisme universal (katakanlah kanan) mencapai puncaknya ketika Manifes Kebudayaan dideklarasikan menjadi ujung tombak perselisihan.

Sitor Situmorang mencatat (dalam bunga rampai prahara budaya, pengumpul D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail), manipol menentukan pegangan kegiatan kebudayaan terpimpin. Terpimpin dalam hal ini jelas artinya, yaitu terpimpin oleh prinsip-prinsip manipol. Terpimpin yang menyimpang dari manipol adalah fasisme dalam kegiatan kebudayaan. Kita menuju kebudayaan rakyat, sebagai dasar meningkatkan potensi nasional di bidang sastra, di bidang perkembangan intelektual dan politik yang revolusioner.

Goenawan Mohamad membalas dengan pandangannya, dengan mengatakan (Sitor Situmorang) parah, sebab sebenarnya yang diabdi oleh kesusastraan bukanlah revolusinya, melainkan cita-citanya hoogste gezagdrager itu. Juga dia parah, sebab dengan demikian mencampuradukkan antara cara dan cita-cita. Hal ini berbahaya, sebab revolusi akan bisa kehilangan cita-citanya, dan dipalsukan seolah-olah dirinyalah cita-cita itu, seperti bayang-bayang revolusi Prancis, di mana dia bukannya revolusi untuk rakyat, melainkan rakyat untuk revolusi. Dan manipolisasi sastra, menemukan dan menghayati kebenaran manipol, bukan manipulasi sastra. Di situlah kita bertemu dengan manipol bukan lewat tabir, di mana bayang-bayangnya saja yang tampak, tetapi lewat dan dengan hatinya, napasnya, darahnya, pendeknya semangat dan cita-citanya yang luhur, cita-cita revolusi.

Pramoedya Ananta Toer ikut serta meninjau perdebatannya. Dari periode sastra asimilatif, gatra, formalis, nasionalis, pujangga baru, jarak dan kapas, borjuis patiotik, borjuis dekadem, beberapa kesimpulan dalam perlawanan terhadap kemerosotan revolusi, para sastrawan lekra, sebagai sumber realisme-sosialis di Indonesia melalui tingkatan demikian: sastra manifes dengan tema melawan, menolak, menantang kapitalisme dan feodalisme. Perkembangan ke arah yang normal dan berjalan bersama kekuatan progresif dalam masyarakat. Dan kritik sastra realisme-sosialis, kriteria utamanya ialah politik pengarang, dan kedua objektivitasnya.

Dan cukup, agaknya ini cukup untuk kita kembali meninjau dan menyusuri kelanjutan siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat dalam prahara budaya dan prosesi pemaknaannya bisa menjadi timbangan masing-masing kembali dalam kaca-matanya masing-masing.

Agar catatan ini bertambah seru, mari kita tengok kembali kelanjutan dari prahara budaya tersebut, yang berlanjut ke persoalan kekerasan budaya pada kurun waktu (Orde Baru) berkuasa (selengkapnya mungkin kita bisa meninjau Kekerasan Budaya Pasca 1965 hasil kumpulan Wijaya Herlambang atau buku-buku sejenis lainnya).

Kekerasan budaya amat sangat sederhana persoalannya, baiknya kita kerucutkan dalam sejenis kesimpulan saja. Kekerasan budaya sewaktu masa Orde Baru berkuasa hanya mengacu pada persoalan terkekangnya dunia seni-budaya, bahkan sosial-politik, oleh satu kekuatan pemerintahan pada masa itu. Terlebih, batas-batas kekerasan budaya hanya menyebabkan keinginan kesatuan dan cita-cita bersama agar tercipta kebebasan mutlak dalam kebudayaan. Berbeda jauh dengan apa yang diperjuangkan ketika polemik budaya dan praha budaya berlangsung, yang mengedepankan suatu diskusi panjang dalam membangun sebuah kebudayaan Indonesia yang berkelanjutan dari pra-Kemerdekaan sampai pasca-Kemerdekaan.

***

Sekarang kita akan memasuki suatu fenomena mengenai kebudayaan klik! Apa dan bagaimana yang dimaksud kebudayaan klik?

Hemat saya, kebudayaan yang tak terang arah-tujuannya, sebab tengah melampaui situasi-keadaan yang diharapkan ketika polemik kebudayaan dan praha-budaya, serta kekerasan budaya cita-citakan. Cita-cita Sutan Takdir tercapai pada dewasa ini. cita-cita Sanusi Pane juga tercapai pada dewasa ini. Begitu pula dengan tokoh-tokoh yang terlibat dalam prahara budaya. Semua prosesi Barat sudah diadopsi, dan semua prosesi Timur juga sudah dimaknai oleh kebudayaan kita hari ini. agaknya kita tengah melampaui nasionalis, komunis-marxis, universal humanis, sosialis, dan isme-isme studi pemikiran lainnya, dari barat atau timur yang gegap-gempita itu.

Dan kekerasan budaya sudah kita taklukkan. Malahan dewasa ini kita menciptakan kekerasan baru, kebudayaan baru, polemik baru, prahara baru, ditambah kebingungan yang juga baru. Baru dalam artian, sebab semua telah kita lalui dan sudah kita capai bersama, makna masa-lalu, masa kebaruan yang lebih baru, yang belum pernah dilalui para pendahulu.

Dalam sekotak ponsel-handphone, atau seperangkat alat canggih lainnya, kita tengah membangun budaya baru yang hanya klik, semua berita bisa dijangkau, semua arsip bisa ditelusuri, semua pusat perbelanjaan bisa dipesan, semua elemen hidup bahkan dewasa ini ada dalam segenggam dunia (kotak kecil bernama ponsel-handphone) menjadi suatu yang amat sangat penting dalam menjalani hidup. Hanya dengan meng-klik sesuatu, hanya dengan meng-klik itu, hanya dengan meng-klik ini, semua bisa dijangkau. Dan peperangan bisa tercipta dengan hanya meng-klik saja.

Suatu tinjauan mengenai hal tersebut, mestinya dihadirkan dalam pidato kebudayaan (para cendikiawan, seniman, budayawan, dan intelektual lainnya) untuk meninjau lebih-jauh perkembangan kita hari ini akan ke mana, sampai di mana, dan akan seperti apa. Namun sampai saat ini saya belum menemukan suatu tinjauan yang mendalam mengenai hal tersebut. Kita bisa memulai dengan pertanyaan, bagaimana kebudayaan Indonesia hari ini? Sampai di mana kebudayaan Indonesia hari ini? Akan ke mana dan puncak seperti apa keinginan kebudayaan Indonesia dewasa ini?

Fenomena tersebut akhirnya tertuang dalam riungan 3 generasi teater yogya yang mementaskan Mlungsungi karya Emha Ainun Nadjib. Dokumentasi tersebut sudah tayang di kanal youtube caknun.com, amat sangat menggembirakan kita, terkhusus saya yang berdomisili di Bogor dan tak sempat nonton langsung. Mlungsungi yang dimaknai Emha dalam naskahnya, yang dipentaskan 3 generasi teater yogya, mengais bagaimana (nusantara atau Indonesia) yang sudah waktunya mengupas semua kulitnya bagai laku ular, agar terlahir kembali. Atau seperti burung yang mengalami mabung bulu-bulu berontokan, agar tumbuh bulu-bulu baru. Begitukah kebudayaan kita mestinya?

Mlungsungi, tengah membawa refleksi simbolisasi manusia Indonesia, mengantarkan makna konflik sosial-masyarakatnya, meninjau sejarah dan propagandanya, sesekali menumbuhkan kembali pencarian mengapa terjadi perang budaya, politik, identitas, lalu mengalirkan titik-balik moral-spiritual-religiositas kesadaran hidup, menjadi keseimbangan kehidupan manusia, iblis-setan, dewa-dewa, dan Tuhan. Apakah kebudayaan kita yang hari ini entah bagaimana kita mesti menyebutnya itu, harus segara Mlungsungi sebagaimana pementasan reriungan 3 generasi teater yogya itu? Sebab kebudayaan kita mulai tak terang arah siklus kehidupannya. Tak jelas konflik-persoalannya. Dan tak jelas keinginan dan cita-citanya.

Tanpa berlama-lama, kita mesti cepat Mlungsungi. Sebagaimana kutipan salah-satu dialog yang diutarakan oleh 3 Dewa dalam pementasannyaberbunyi, “Meskipun hanya revolusi internal, tapi ongkosnya sangat besar. Sedangkan demokrasi yang biasa-biasa saja, rakyat Indonesia atau nusantara belum tentu memenuhi 3 persyaratannya. Satu, rakyatnya berpikir matang. Dua, budayanya tangguh dan matang. Tiga, pemerintahnya rasional dan tidak tinggi hati.”

“Tapi faktanya kebanyakan rakyat Indonesia atau nusantara itu berpikir serampangan dan tanpa perhitungan. Sementara kaum cendikia dan para penguasa rata-rata tinggi hati.”

Jika memang kebudayaan kita hari ini benar-benar memasuki kebudayaan klik yang tak terang arah perjalanannya. Kita mesti mendalami samudra makna pementasan Mlungsungi. Kebudayaan kita mesti ditinjau kembali, terlahir kembali, dan tumbuh berbunga kembali, dengan cara mengupas kulit, memabungkan bulu, berganti wajah, dan menggugurkan daun, dan sebagainya, walaupun merangkul rasa sakit terlebih-dahulu.

Perubahan memang menyakitkan. Dibanding menunggu hancur-lebur dalam penyesalan. Lebih baik meninjau kedalaman Mlungsungi yang penuh rintangan penderitaan, namun berbuah ujung jalan kebahagiaan, bersama.

Bogor, Juni 2022

Teguh Tri Fauzi

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!