Kelipatan Waktu

Redrum adalah nama sebuah toko. Dilihat dari namanya saya mengira toko itu menjual minuman keras. Namun, saya keliru. Toko Redrum menjual buku. Saya menemukan toko itu waktu saya berjalan-jalan pada sore hari, sekitar dua jam setelah saya tiba di kota Ampenan. Sebetulnya, begitu sampai di penginapan, saya berniat tidur. Akan tetapi saat saya hendak menutup gorden kamar, saya melihat langit yang bersih. Saya tak jadi melepas topi dan jaket. Memang, sejak saya kecil, yakni ketika saya masih tinggal di panti asuhan, saya sering merasa kedinginan, seolah-olah saya tidak sedang berada di negeri tropis, melainkan di negeri lain yang memiliki musim salju. Melihat langit yang bersih membantu saya untuk sedikit merasa hangat. Oleh sebab rasa hangat itu, sejak saya kecil pula, setiap kali sempat melihat langit yang bersih, selalu timbul hasrat saya untuk berjalan-jalan.

Tempat saya menginap terletak di Jalan Pabean. Namanya Hotel Pabean. Kalau saya ke arah kanan, saya akan sampai ke pantai. Kalau saya ke arah kiri, saya akan mendapati pusat kota. Saya memilih ke kiri. Selama berjalan saya berpikir untuk membeli sesuatu. Sebetulnya saya tak sedang membutuhkan apa-apa. Saya tidak lapar, tidak haus, tidak sedang menginginkan benda-benda praktis. Akan tetapi rasa-rasanya saya perlu alasan kenapa harus ke pusat kota. Setelah berpikir-pikir, satu-satunya jawaban yang tertangkap oleh saya adalah buku. Saya butuh buku untuk mengisi waktu. Maka saya mencari toko buku.

Baru saja saya masuk, pelayan toko Redrum bertanya: “Cari buku apa, Om?” Saya bilang, saya perlu melihat-lihat dulu. Pelayan itu menjawab: “Silakan”, tapi matanya tetap mengawasi saya. Ada dua lemari di dinding kiri dan kanan, serta tumpukan buku di bagian tengah. Saya berjalan di lorong yang terbentuk antara bagian tengah dan lemari dinding. Setelah melihat-lihat saya tahu kalau toko ini lebih banyak menjual buku sains. Beberapa buku cukup populer; misalnya buku-buku Stephen Hawking, Carl Sagan, Yuval Noah Harari, atau Neil de Grayse-Tyson. Namun, ada juga buku-buku yang nama penulisnya tak populer, bahkan tak pernah saya dengar sebelumnya, misalnya Bay Pratt, Ariante Azipur, Hilda Carwajo, Julie F.G Arango, Lirma Agrianov, atau Chuck S. Parlay.

Pelayan tadi terus mengikuti saya dengan pandangannya. Saya tahu karena sesekali saya menoleh ke arahnya, dan setiap kali saya menoleh ke arahnya ia seperti hendak bergerak. Rupanya ia menanti saya mengucapkan sesuatu. Tanpa sengaja saya melihat pelayan lain duduk di lantai sambil membaca buku. Kelihatannya pelayan yang satu ini tak begitu hirau dengan kehadiran saya. Ia lebih muda dari pelayan yang pertama. Kenyataan itu agak aneh buat saya, sebab biasanya pelayan yang lebih tua akan merasa lebih pantas bersikap tak hirau. Akan tetapi mungkin saja pelayan yang lebih muda itu lebih dahulu bekerja di toko ini, sehingga pelayan yang lebih tua adalah juniornya.

Saya tidak bisa memastikan hendak mencari buku apa. Buku-buku sains tidak begitu menarik minat saya. Akan tetapi saya merasa tak enak hati meninggalkan toko ini tanpa membeli. Maka saya perhatikan buku yang dibaca pelayan yang duduk di lantai. Judul buku itu Kelipatan Waktu. Menarik juga. Saya mencari-cari buku yang sama, tapi tak ketemu.

Saat saya sampai di bagian belakang toko, saya melihat seorang laki-laki tua tertidur di kursi. Kakinya diselonjorkan, bertumpu pada kardus besar yang belum dibuka segelnya. Laki-laki ini pasti pemilik toko. Ia sangat kurus sehingga tampak seperti tengkorak. Kulitnya lembek, terutama terlihat di bagian leher. Akan tetapi rambutnya sangat lebat dan berwarna merah. Begitu juga janggutnya.

“Cari buku apa, Om?” Pelayan tadi sudah ada di belakang saya dan kembali bertanya. Saya agak kaget, tapi saya enggan mengulang jawaban. Maka saya sebut saja judul buku yang tadi saya lihat dibaca pelayan yang duduk di lantai. “Siapa penulisnya?” tanyanya lagi. Saya tak sempat melihat siapa penulis buku itu. “Saya lupa,” jawab saya. “Itu, seperti yang dibaca rekan Anda.”

 Pelayan itu menoleh ke rekannya. “Albert, buku apa yang kamu baca itu?” Pelayan yang duduk di lantai menoleh, melihat sampul buku yang dibacanya, lantas menunjukkannya ke arah kami. “Ada stoknya?” tanya pelayan tadi.

“Saya tidak tahu. Ini buku saya. Bukan buku dari toko ini,” jawab Albert.

“Kalau begitu buku itu tidak ada di sini, Om,” ucap pelayan beralih kepada saya.

“Boleh saya tanya sesuatu?” kata saya.

“Silakan. Mungkin ada buku lain yang Anda butuhkan?”

“Tidak. Saya cuma penasaran kenapa nama toko ini Redrum. Apakah ada arti tertentu, misalnya bahwa itu adalah nama pemilik toko?”

Pelayan itu kelihatan hendak menjawab, tapi belum sempat terdengar suaranya, suara yang lain sudah lebih dulu menyambar: “Nama itu saya peroleh dari mimpi.”

Yang bersuara adalah laki-laki tua yang sedang tidur. Saya menoleh kepadanya. Saya lihat ia masih tidur. Setidaknya ia masih memejamkan mata.

“Anda mau membeli buku ini?” Albert sekonyong-konyong berseru sambil bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kami. Saya perhatikan buku di tangannya.

“Rencananya begitu,” jawab saya.

“Pada suatu hari saya mendapat mimpi. Saya ingat hari itu tanggal 23 Mei 1980. Dalam mimpi itu saya adalah seorang anak kecil yang sedang berada di sebuah hotel besar di luar negeri. Musim dingin sedang ganas-ganasnya. Salju turun tak henti-henti. Saya menemukan diri saya terus-menerus mengacung-acungkan sebilah pisau besar, seperti seseorang yang hendak membunuh. Akan tetapi di hadapan saya tak ada siapa-siapa. Di hadapan saya cuma ada sebuah pintu, dan di pintu itu tertulis kata Redrum. Kata itu terus mendekam di kepala saya sampai saya dewasa. Ketika toko ini hendak dibuka dan berusaha dicarikan nama, saya memakai kata itu sebagai nama,” ucap laki-laki tua. Selama berkata-kata, tak sekalipun ia membuka matanya.

“Kalau Anda mau membeli buku ini. Silakan. Saya akan melepasnya,” kata Albert.

“Waktu saya masih bekerja di kapal pesiar, saya pernah bercerita tentang mimpi saya itu kepada seorang Amerika bernama Stanley. Ia terheran-heran. Katanya hotel yang saya maksud memang betul-betul ada. Letaknya di daerah terpencil. Setiap kali musim dingin tiba hotel itu akan ditutup, dan setiap kali musim dingin tiba pemilik hotel akan membuka lowongan pekerjaan bagi siapa saja yang mau menjaga hotel itu. Akan tetapi, karena musim dingin di daerah terpencil demikian ganasnya, semua orang yang pernah menjaga hotel itu pasti jadi gila, dan kalau ia membawa serta anak istrinya ia akan membunuh anak istrinya dengan kapak. Namun, Stanley bilang, dalam kasus terakhir anak si penjaga berhasil selamat, tapi akhirnya harus tinggal di panti asuhan ….”

Cerita laki-laki tua menarik minat saya. Rasa-rasanya saya pernah mendengar cerita itu, entah kapan dan di mana. Sementara itu Albert terus mendesak saya. “Begini saja. Silakan Anda beli satu buku, saya akan kasih buku ini sebagai bonus. Bagaimana?” Tawaran Albert akhirnya mengalihkan minat saya. Dua buku cukuplah untuk mengisi waktu sambil saya menunggu keputusan dari calon majikan yang akan mempekerjakan saya di kota ini. Saya pilih satu buku secara sembarangan tanpa melihat judulnya lalu saya serahkan ke pelayan yang semenjak tadi cuma berdiri saja. Ia segera mengambil buku dan menyerahkannya ke Albert yang langsung berjalan ke meja kasir di dekat pemilik toko. Albert memeriksa harga buku, menyebut angka yang harus saya bayarkan kemudian memasukkan buku itu ditambah buku yang tadi dibacanya ke dalam kantong plastik merah. Saya membayar dan mengucapkan terima kasih. Sementara itu laki-laki tua terus saja bercerita, hanya saja kata-katanya tak lagi bisa saya cerna dengan baik, sampai kemudian ia berkata: “Sayang, toko ini bukan kepunyaan saya.” Saya sedikit kaget dengan perkataannya. “Oh. Saya kira Anda pemilik toko ini.” Pelayan menukas: “Bukan. Albert lah pemilik toko ini. Tetapi jangan salah, Pak Kubri sudah bekerja di toko ini semenjak ia masih muda. Waktu itu cuma saya yang bekerja di sini, dan Albert menerima Pak Kubri hampir tanpa pertimbangan apa-apa.”

Saya tak memahami maksudnya. Tak mungkin Albert yang masih demikian muda telah mempekerjakan laki-laki tua itu semenjak laki-laki tua itu masih muda. Ketika laki-laki tua itu masih muda, pastilah Albert belum ada di dunia, atau setidak-tidaknya masih berupa cairan. Saya menatap Albert untuk mencari jawaban. Namun, seperti tadi, ia tampak tak hirau. Niat saya untuk menanyakan soal itu lebih lanjut tiba-tiba hilang. Maka saya pun pamit. Dua buku sudah lebih dari cukup.

Sesampai di penginapan, resepsionis berkata kepada saya bahwa tadi ada seseorang yang mencari saya. Saya menduga dia pasti orang suruhan calon majikan saya. Pembicaraan kami di telepon, sebelum saya berangkat ke kota ini, memang belum mencapai kesepakatan. Ia tidak menyetujui beberapa klausul kontrak dan menawarkan beberapa perubahan. Saya memang mengharapkan dia mengalah dan lebih dulu mencari saya ke penginapan. Namun, keterangan dari resepsionis membuat saya ragu. Kata resepsionis, orang yang mencari saya bertubuh sangat kurus sehingga tampak seperti tengkorak. Kulitnya lembek, terutama terlihat di bagian leher. Akan tetapi rambutnya sangat lebat dan berwarna merah. Begitu juga janggutnya. Resepsionis juga menambahkan dengan nada heran bahwa orang yang mencari saya itu tampaknya berbicara sambil tidur. “Dia bilang sudah membuat janji dengan Anda. Oh ya, sebelum pergi dia berpesan akan datang lagi malam ini.”

Saya masuk kamar. Tanpa menyalakan lampu saya melepas topi dan jaket dan memutuskan untuk tidur. Saya tidak lapar, saya tidak haus. Akan tetapi saya merasa kedinginan. Saya juga merasa malam ini akan jadi malam yang panjang. Waktu saya menutup gorden, saya tak menatap langit. Saya rebahkan badan di ranjang dan memejamkan mata. Sekonyong-konyong muncul godaan untuk membuka buku yang tadi saya beli. Sebetulnya saat itu buku yang dibaca Albert tak lagi menarik minat saya. Saya lebih penasaran pada buku yang saya ambil secara sembarangan tadi. Saya bangkit dan menyalakan lampu lalu mengambil buku dari kantong plastik. Tangan saya merasakan segel buku itu. Ketika saya melihat buku yang saya beli itu, saya tercengang. Saya segera mengambil buku yang satu lagi, yakni buku yang tadi dibaca Albert dan diberikan kepada saya sebagai bonus. Betul. Itu dua buku yang sama persis. Buku berjudul Kelipatan Waktu. Di sampul depan buku tak tertulis nama penulisnya, begitu juga di punggung buku, begitu juga di sampul belakang. Saya buka halaman-halamannya. Tak terdapat tulisan apa pun. Saya bolak-balik kembali. Buku itu betul-betul kosong.***

 Kekalik, 5 Agustus 2022

Catatan:

Kata “Redrum” saya ambil begitu saja dari film The Shining (1980) karya Stanley Kubrick. Cerita laki-laki tua dalam cerpen ini juga bersumber dari film tersebut.

Kiki Sulistyo
Latest posts by Kiki Sulistyo (see all)

Comments

  1. Nindy Reply

    Saya baca cerita ini tengah malam 😭

    • Ruang_4room Reply

      Please, gk paham 😭

  2. Dalbo Reply

    Ini pasti bersambung, yakan?yakan?

  3. zan Reply

    jadi, seperti kata bang Kiki dulu, kalau tidak salah, irama bercerita lebih penting dibandingkan logika alur cerita. sebab, kita semua tahu, realitas lebih sering aneh dari fiksi buatan kita.

  4. Azizah Reply

    Asli ini nggak mudeng maksudnya “kelipatan waktu” itu gimana ya?

  5. ilham karbela Reply

    Itulah kenapa saya suka dengan karya-karya Bang Kiki, selalu membuat saya bertanya-bertanya dalam kesendirian membaca cerpennya. Kadang pengenku lempar saja buku2 kumpulan cerpennya. Tetapi saya selalu penasaran dan berusaha mencari lagi, mana karya-karya bang Kiki lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!