Ketika malam itu Ayman lagi-lagi memergoki Abu Bayah menyetubuhi seorang pekerjanya, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang dapat membuat lelaki bangkot itu berhenti dari tindakan kejinya. Lelaki berumur sembilan belas tahun itu terusik mendengar bunyi benda jatuh dari sebuah ruang di pabrik pembuatan kain milik Abu Bayah. Ia sebetulnya sudah sampai rumah sewanya malam itu. Ayman kembali hanya untuk mengambil sepotong bajunya yang tertinggal di ruang pekerja. Ia mesti mengambil baju itu karena Abu Bayah pasti marah kalau menemukan benda asing ada di ruang pabrik. Pabrik kecil itu punya dua kunci—satu kunci asli dan satu duplikat—yang masing-masing dipegang oleh Abu Bayah dan Ayman selaku pegawai yang paling sering menghabiskan banyak waktu di dalam pabrik. Ia kerap lembur untuk mengumpulkan uang demi biaya pernikahannya kelak. Ia telah jatuh cinta kepada seseorang dan ia memutuskan untuk menikahi perempuan itu suatu hari nanti.
Mulanya ia menganggap bunyi benda jatuh itu sebagai suara yang tak perlu diacuhkan. Namun, manakala suara itu berulang, lalu disusul desahan seorang lelaki serta suara tertahan seorang perempuan, kecurigaan membiak di dada Ayman. Ia mendekati ruang yang berada di sudut pabrik yang berfungsi sebagai gudang dan mengintip dari celah pintu. Sebuah bohlam kuning menyala di ujung ruangan sehingga Ayman dapat melihat apa yang sedang terjadi. Seorang lelaki tua—Abu Bayah—mengangkangi dan menindih berkali-kali seorang perempuan muda yang amat ia kenali—Laila. Abu Bayah tampak beringas dan penuh nafsu, ia menarik-narik pakaian Laila sampai koyak. Ia menindih tubuh Laila seperti seekor anjing yang tak bisa menahan berahi. Pemandangan itu jelas membuat Ayman murka. Ia murka karena Abu Bayah lagi-lagi memerkosa pekerjanya sendiri—Ayman pernah dua kali memergoki Abu Bayah memerkosa seorang pekerja pabrik yang sudah tak lagi bekerja di sana karena mati gantung diri beberapa bulan lalu. Dan yang membikin Ayman tambah murka, korban Abu Bayah kali ini adalah Laila, rekan kerjanya sejak ia pertama kali bekerja di pabrik kain milik Abu Bayah. Laila adalah perempuan yang cantik, rajin, baik hati, dan itulah beberapa alasan Ayman mencintainya. Ia mencintai Laila dan ia muntab betul terhadap Abu Bayah yang telah merusak kehormatan perempuan yang dicintainya.
Sesungguhnya Ayman berhasrat untuk mengambil dua batang tongkat yang berjajar di tembok—dua tongkat yang biasa digunakan Abu Bayah untuk menghukum pekerja yang dianggapnya lalai. Ia ingin mendamprat dan mengepruk kepala Abu Bayah saat itu juga. Namun, ia menahannya, cara itu terlalu blak-blakan dan ia tahu belum tentu ia dapat mewujudkannya. Apalagi mengingat Abu Bayah adalah seorang yang bertenaga dan mudah marah. Walau usianya sudah uzur, Abu Bayah bukanlah sejenis orang tua yang lemah dan bisa dianggap remeh.
Sesudah mengambil pakaian dan memasukkannya dalam tas, Ayman kembali ke luar pabrik. Ia menunggu di halaman pabrik seraya memandangi bulan penuh. Bulan itu begitu indah dan membuatnya teringat pada paras Laila. Ia pernah membaca berita sains di internet bahwa wujud asli bulan sebetulnya jelek, bulan gompal-gompal seperti permukaan batu. Tapi, dalam hal ini, ia lebih percaya ungkapan penyair daripada ahli sains. Bulan adalah makhluk yang indah, sangat indah, seperti itulah sosok Laila di dalam kepala Ayman. Namun kini bayangan Laila di kepala Ayman tercampur dengan penampakan si tua bangka busuk Abu Bayah. Dadanya bagai dijilat api mengingat apa yang dilihatnya barusan. Ia ingin menangis sekaligus mengeluarkan semua amarahnya. Kebencian dan dendam menguasai perasaannya.
Di halaman parkir, sepeda motor besar milik Abu Bayah teronggok sendirian. Motor itu masih mengilat. Setahu Ayman, motor itu baru dibeli Abu Bayah beberapa pekan lalu dari seorang pengusaha kurma di Alhabla. Abu Bayah sering memamerkan dan membangga-banggakan motor itu di hadapan para pekerjanya.
“Lihat motorku, betapa eloknya! Motor terbaik yang pernah ada di bumi Allah ini. Kalian cari saja yang lebih hebat daripada motor ini, niscaya kalian tak akan menemukannya.”
Ayman muak bila Abu Bayah sudah berlagak sombong begitu. Terlebih saat ia membawa-bawa nama Allah, seolah-olah apa yang dikatakan dan dilakukannya adalah karena Allah, bukan karena egonya.
Di seberang jalan kota Almahera yang sepi, Ayman melihat beberapa bongkah batu besar tertanam di atas tanah kering. Ia memandangi motor besar Abu Bayah sekali lagi dan ia merencanakan sesuatu yang membuat bibirnya menyunggingkan senyum. Ayman menyeberang dan meraih sebongkah batu yang paling besar. Jenis batu kali yang tidak akan gampang rurut. Ia mengangkat batu itu dengan dua tangan. Lalu, dengan semangat mengamuk-amuk ia menghantamkan batu besar itu ke badan motor Abu Bayah. Ia memecahkan lampu, merusak setang, menghancurkan badan, dan membengkokkan rangka-rangka motor itu. Batu itu cukup kuat untuk membuat motor yang Abu Bayah elu-elukan itu menjadi seonggok benda yang menyedihkan. Motor itu tak ubahnya seekor rusa dicabik-cabik seekor singa lapar.
Usai mengadakan upacara perusakan itu, hati Ayman terasa sedikit lega. Kemarahan memang masih mendekam di dadanya, tapi ia merasa telah melakukan sesuatu—ia tak diam saja, ia sudah membalas kelakuan Abu Bayah walau secara tidak langsung. Dan perusakan motor itu hanya langkah awal dari rencana besarnya. Mata Ayman membesar. Ia menengadah ke langit, bulan tampak lebih bersinar.
Ayman kembali membuka pintu pabrik. Ia masuk pelan-pelan dan cepat menuju ke sudut ruangan. Di situ, ada tongkat kayu dan sebuah mesin jahit kecil yang rusak. Ia mengambil dua benda itu dan membawanya sampai ke depan pintu gudang. Ia mengintip gudang, Abu Bayah sudah tak lagi menindih Laila. Lelaki tua dengan muka penuh brewok itu sedang mengenakan kembali jubah cokelatnya. Di seberangnya, Laila menahan tangis. Berkali-kali Abu Bayah memperingatkan agar Laila tak menjerit dan mengancam bakal membunuhnya kalau Laila berteriak. Ucapan Abu Bayah semakin membesarkan api amarah yang telah menyala di benak Ayman. Ayman menggenggam tongkat kayu erat-erat. Abu Bayah tampak bergerak ke arah pintu. Ayman menggeser tubuh ke sisi pintu gudang. Ia mengeratkan pegangan tongkatnya. Tatkala tubuh Abu Bayah muncul dari pintu, Ayman menyambarnya dan menghantamkan tongkat ke kepala Abu Bayah. Pukulan pertama tepat mengenai kepala Abu Bayah sehingga membuat lelaki tua itu ambruk. Ayman pun lanjut memukul-mukul kepala dan sekujur badan Abu Bayah. Abu Bayah mengaduh-aduh. Darah segar mengalir dari kepala dan hidungnya. Ayman belum puas meskipun Abu Bayah terlihat sangat menderita. Ia melempar tongkat dan mengambil mesin jahit besi. Dipukulkannya mesin itu ke kepala Abu Bayah, berkali-kali dan begitu keras. Ia juga memukulkan mesin itu ke bagian selangkangan Abu Bayah. Lelaki tua itu tak lagi mengaduh dan bersuara apa-apa. Abu Bayah sudah mati. Jasad Abu Bayah mirip penampakan motor besarnya. Sama-sama hancur berantakan.
Setelah memastikan Abu Bayah sudah tak bernapas, Ayman masuk ke gudang dan menghampiri Laila. Ayman memeluk Laila dan berusaha menenangkannya. Ia membawa Laila keluar. Ia mengganti pakaian Laila yang koyak moyak dengan pakaiannya. Ayman dan Laila meninggalkan mayat Abu Bayah sendirian bagai bangkai seekor keledai di tengah padang pasir. Setiba di luar pabrik, Ayman memeluk Laila erat-erat. Ia bilang ia sangat mencintai Laila dan akan selalu berada di sampingnya. Laila balas memeluknya. Mata sepasang pemuda itu bertatapan. Mata Laila begitu basah. Mata Ayman begitu panas.
“Jangan takut, Laila, jangan takut. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu lagi!” Ayman menyeru-nyeru dengan menggebu. Di angkasa, bulan berwarna jeruk. Kota Almahera sunyi sekali. Usai mengantarkan Laila pulang ke rumah induk semangnya, Ayman berbalik ke rumah, mengambil korek dan minyak, pergi kembali ke pabrik kain Abu Bayah, dan malam itu, api dan asap memenuhi kota Almahera. (*)
- Pembalasan Seorang Pegawai Toko Sembako - 11 November 2022
- Kemarahan Ayman - 24 June 2022
- Perjalanan, Kenangan, dan Tugas Seorang Seniman - 16 May 2020
Nisa F
Aku ikut merasakan emosi dan puas membaca cerita ini. Kemarahan yang ikut aku rasakan terbayarkan.
Fahrur
Mirip kisah nyata