Kemungkinan Muasal Pertengkaran Penulis Kita

Banyak pendapat. Namun, saya sedang sepakat pada Muhammad ibn Ishaq. Perihal seseorang di suatu musim, di abad 9M.

Saya membayangkan; seseorang itu, sedang bersila, di hadapannya ada dua peristiwa perjamuan. Dua lapis. Ia menjamu seorang pendongeng ke empat puluh. Ia menjamu pula raja-raja, budak-budak, malaikat, jin, orang baik, penipu, pejabat, perempuan, laki-laki, hewan-hewan ajaib, dan kafilah-kafilah peradaban dari seantero Arab, Romawi, Persia, Hindustan, dan penjuru dunia. Kafilah peradaban dalam lapis kedua itu dibawa oleh si pendongeng yang diundangnya. Dibungkus rapi dalam wadah bahasa. Yang kadang guncang oleh tawa. Kadang rengang oleh luka.

Malangnya, pada kafilah kisah ke empat ratus delapan puluh, seseorang itu mengembuskan napas hidupnya. Namun, ia memberikan napas hasratnya mengumpulkan kisah-kisah pada dada yang lain. Agar terkumpul yang mungkin cerai. Agar tercatat yang mungkin lompat. Agar terpindai apa yang diduga berasal dari Hazar Afsanah, (Seribu Legenda) dari bahasa Persia.

Seseorang itu bernama Abu Abdullah Muhammad ibn Abdus al-Jihsyiari, yang juga dikenal sebagai penulis kitab al-Wuzarâ’.

Demikian Muhammad ibn Ishaq menduga perihal mula pengumpulan Alf layla wa-layla (Hikayat 1001 Malam).

Memang, banyak muncul pendapat. Terlebih kajian yang muncul kemudian. Namun, ada persamaan mendasar. Pertama, kisah itu telah dikumpulkan. Kedua, penulisnya tidak disebutkan. Ketiga, ditulis oleh banyak orang dan dalam rentang panjang tambal-sulam. Istilah ditulis di sini bisa ditukar-ganti dengan diceritakan. Keempat, diduga tidak ada kesepakatan judul sejak semula. Judul yang ada, diduga muncul belakangan, termasuk bingkai kisahnya, yang diperikaran baru muncul pada abad 14M.

Bagaimana mereka menempatkan diri dalam pengisahan?

Dalam kajian sastra lama, sejumlah pakar menyepakati—dengan batas kesepakatan yang putus-putus—beberapa ciri utama “karya sastra lama”. Di antaranya, anonim.

Dari anonim saja terdapat sekian banyak argumen, terkait alasan dan motif apa yang menjadikannya juru kisah memilih menyembunyikan dirinya.

Ada pendapat yang berkata bahwa ini terjadi karena sifatnya yang “istana sentris”, atau pula pesanan penguasa pada masanya. Ada yang menduga terkait keberaksasraan pada masanya yang terbatas sebarannya. Ada yang kokoh mengaitkannya dengan “sastra lisan”; di mana nama pemilik kisah menjadi tidak perlu. Ada yang bicara perihal kesadaran hak cipta dan tanggungjawab cipta. Juga eksistensialisme. Macam-macam. Tiap argumen memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing.

Dan dari satu soal saja, “nama”, penempatan diri, semesta kisah telah bertranformasi melahirkan sejumlah polemik aktual di rumah para juru kisah modern dan posmodern. Juga, di hari ini.

Pertengkaran pembuka kepemilikan atas karya memunculkan istilah “plagiasi”. Konflik ringkas, tapi akan terus ada. Tentu, selagi penulis mencantumkan namanya dalam karya miliknya, mendapat honor atau royalti atas namanya dan kita menghargai hak kekayaan intelektual orang lain.

Seandainya milik publik, anonim, tentu tidak akan ada istilah plagiasi. Tidak akan ada pula pertengkaran di wilayah ini. Sebab, siapa pun boleh memanfaatkan, atau menulis, atau menceritakan ulang, sebagaimana hikayat, sebagaimana Abu Abdullah Muhammad ibn Abdus al-Jihsyiari.

Namun, itu belum seberapa. Belum dibanding dengan pertengkaran ideologi, yang makin jarang.

Persoalan “nama”, kepemilikian, ini melahirkan sebuah “dunia khusus” dalam kesusastraan secara luas. Bukan soal nama asli dan samaran, tetapi nama dan gelar “sastrawan”. Dalam hemat saya, polemiknya bermula dari sini.

Dunia sastra, dari satu lingkup ini saja, sebagaimana kata para pakar, memiliki kekhususan.

Tidak sama dengan dunia bisnis. Tidak pula dunia akademik. Seseorang, dengan modal besar, tidak serta-merta bisa membeli gelar “sastrawan”. Seseorang, dengan lulus dari jurusan sastra, tidak pula langsung menjadi “sastrawan”. Padahal, lulusan teknik, misalnya, bisa langsung jadi teknisi. Begitu juga orang dengan banyak uang segera bisa disebut jutawan. Namun, orang dengan pengumpulan dan kepemilikan karya sastra sebanyak-banyaknya, toh, tetap tidak bisa langsung disebut “sastrawan”.

Mengapa kira-kira? Ruang legitimasinya berbeda.

Alat ukurnya lain. Dan, karena lebih tak kentara “kelainannya ini”, akibatnya banyak yang salah terka. Salah langkah memasukinya. Ujungnya dapat ditebak: kelahi.

Mengukur sastrawan dengan uang, ibarat menimbang beban dengan meteran, atau mengukur kedalaman laut dengan termometer, atau menilai kesuksesan pebisnis dari kemampuannya melempar cakram atau senam lantai. Misal lainnya, kita tidak bisa menyodorkan ayam broiler pada penggemar perkutut dengan alasan bahwa daging perkutut itu sedikit, broiler lebih banyak, lalu bilang; ini lihat, tidak ada apa-apanya itu perkuktut kalau digoreng. Begitu juga sebaliknya, peternak broiler tidak bisa kenyang dengan nyanyian seribu “kutut manggung”.

Bahkan, mencari definisi yang disepakati soal “sastrawan” pun kita masih sempat ragu.

Ada yang bilang penulis sastra. Ada yang bilang pengarang sastra. Ada yang berpendapat jika penulis, berarti bisa sembarang yang mampu menulis. Berbeda dengan pengarang, menurut pendapat ini, bahwa pengarang bukan hanya melahirkan tulisan atau teks tetapi wacana. Itu baru dari konteks karya, belum masa berkarya.

Dengan demikian, jadilah masalah maka jadilah saat seseroang mengaku dirinya sendiri “sastrawan”. Apalagi, dengen embel-embel berikutnya, misalnya, “pembaharu”, “berpengaruh”, “presiden”, “raja”, “ratu”, “nomor satu”, dan lain sebagainya. Ada sistem yang tidak terbaca.

Sebagaimana dalam konteks gelar “kyai”, legitimasi datang dari umat. Sastrawan legitimasinya datang dari pembaca.

Dalam politik, bisa jadi, suara dibeli. Dalam sastra—sastra “non-populer” misalnya, yang punya aturannya sendiri, membeli suara pembaca adalah luka. Yang alamiah yang dicari. Sastra, yang sensitif sekaligus reaktif terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang tergadaikan, akan dengan segera menunjukkan watak penolakannya.

Akibat persoalan “nama” ini, penulis, juga pengarang, terlebih di era ikon seperti saat ini, sudah mengalami transformasi. Dimungkinkan mereka bukan lagi seperti dalam abad 9M, Alf layla wa-layla, yang fokus utamanya adalah gagasan kemanusiaan universal, kemudian kisah, dan tidak peduli pengarang.

Yang bisa terjadi kini sebaliknya; berfokus pada sosok, memanfaatkan karya untuk menghadirkan dan menghasilkan sosok, baru kemudian kemungkinan gagasan. Tentu tiap zaman memang memiliki karakternya masing-masing. Kita harus lebih hati-hati dalam menghakimi benar dan salahnya sesuatu.

Namun, kita juga harus mengerti “sistem unik” di dalam ruang lingkup kesusastraan, agar tidak salah tingkah, salah langkah, bahkan salah kaprah saat memasukinya.

Apalagi ketika masuk ruangan Abu Abdullah Muhammad ibn Abdus al-Jihsyiari, di suatu musim, di mana kita menyerahkan sepenuhnya kafilah kisah-kisah, sajak-sajak indah, tanpa peduli di tempat mana nama kita akan ditorehkan, bahkan dilupakan sama sekali, hanya sekadar disebut: anonim—sebuah kata untuk semua nama yang rendah hati dan seakan—tak ada.

(2018)

Eko Triono
Latest posts by Eko Triono (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!