Keruh Makna Rindu Dendam

gr-assets.com

Tafsir serampangan atas kata-kata berisiko memperkeruh makna. Film Gita Cinta dari SMA yang pernah dirilis tahun 1979 diadaptasi di era milenial sebagai film Galih dan Ratna (2017). Film itu cukup sukses dan memuaskan. Kita tidak perlu membahas gairah asmara Galih dan Ratna, entah yang kawakan (Rano Karno dan Yessy Gusman) atau yang milenial (Refal Hady dan Sheryl Sheinafia). Kita cukup mengingat salah satu lagu latar di film Galih dan Ratna versi milenial. Lagu termaksud berjudul Gita Cinta, dinyanyikan oleh Sheryl Sheinafia. Liriknya terasa pedih: mekar bersemi untaian kasih/ jumpa cinta pertama/ telah tertanam rindu dendam/ semakin dalam/ semakin kelam. Di lirik itu, kita bertemu frasa tak asing.

Frasa itu “rindu dendam”. Frasa itu sudah hadir jauh di masa lalu, tepatnya tahun ‘30-an. Ingatan mengarah ke Rindu Dendam (1934), buku kumpulan puisi Jan Engelbert Tatengkeng. Rindu Dendam tak seperti kecenderungan buku kumpulan puisi mutakhir, yang meminjam judul salah satu puisi sebagai judul buku. Rindu dendam adalah frasa hasil perasan seluruh puisi dalam buku. Rindu dendam adalah seluruh puisi di buku itu. Kita pantas mengingat komentar Ajip Rosidi, “kumpulan sajak ini merupakan curahan perasaan rindu dendam penyair kepada Yang Satu, yang menguasai alam semesta dan hidupnya sendiri dalam bentuk pujian-pujaan terhadap keindahan-keindahan alam.”

Buku Rindu Dendam diawali dengan puisi “Mula Kata”. Kita membaca bait: Kalau kulihat bunga bakung,/ Yang kembang di taman sari,/ Aku tercengang dan berkata:/ O, kembang, siapakah menjadikan/ Engkau seindah itu?/ Betapa Putih engkau, betapa suci…. Ajip tak berdusta. Puisi Tatengkeng penuh puja-puji keindahan alam. Keindahan itu merasuk kalbu: Tak lain dalam hatiku,/ Tinggal hanya: Rindu-Dendam.// Terimalah Buah tanganku,/ Lukisan Rindu Dendam…. Bait-bait terakhir puisi pertama sah sebagai pengantar menuju semesta puitis Tatengkeng. Rindu dendam selalu hadir di puisi-puisi berikutnya, termasuk “Sepantun Laut”. Keindahan alam tetap dominan: Demikian sukma menerima alam,/ Bercinta, meratap, merindu dendam.

Tatengkeng menutup buku Rindu Dendam dengan “Akhir Kata” yang amat religius: O, Tuhanku,/ Biarlah aku menjadi embunmu,/ Memancarkan terangmu,/ Sampai aku hilang lenyap olehnya…/ Soli Deo Gloria! Religiositas bukan baru hadir di akhir buku, namun sejak awal. Sejak belum sampai ke puisi, kita dipertemukan kutipan Agustinus, “jiwaku takkan dapat damai sebelum peroleh damai dalam Allah.” Makna frasa rindu dendam di lagu Sheryl Sheinafia, dengan demikian, sudah bergeser dari makna di buku puisi Tatengkeng. Frasa yang semula religius dan mengarah ke Tuhan, menjelma frasa yang melankolis: menyoal patah hati muda-mudi. Pergeseran makna dari semula agung menjadi lugu dan naif. Tapi, makna masih manis.

Pergeseran makna rindu dendam paling fatal terjadi di tahun 2012. Makna bukan hanya bergeser, bahkan dikeruhkan. Pengeruhan makna dilakukan Pinkgirlgowild, Age Airlangga, dan Racky Rahman di buku Rindu Dendam: Novel Grafis & Puisi. Sejak di judul, para penulis sudah meminjam frasa Tatengkeng. Penulis mengakui, “buku ketiga ini yaitu Rindu Dendam terinspirasi dari karya yang ditulis oleh J.E. Tatengkeng, yang menurut saya gabungan dua buah kata yang memberikan sebuah gejolak besar, dan sangat menarik untuk dieksplorasi.” Kita terkejut mendapati pengakuan ihwal “apa yang dieksplorasi”. Penulis bilang, “Saya mencoba untuk mengeksplorasi sebuah kemarahan hebat, di mana kadang sebuah kemarahan yang membatin dan tidak dapat diceritakan sehingga menjadi sebuah pola pikir dan tujuan hidup.”

Kita pantas bercuriga, penulis hanya meminjam frasa rindu dendam semata-mata sebagai dua kata, bukan penubuhan gagasan puitis. Maka, penulis enteng-enteng saja membagi rindu dendam sebagai dua bagian terpisah: Rindu dan Dendam. Rindu dendam jelas berbeda dengan rindu dan dendam. Di bagian Rindu, penulis menampilkan novel grafis tentang perempuan malang bernama Rindu. Perempuan itu lahir dari perempuan tanpa suami. Rindu lahir tanpa bapak. Kisah bergulir hingga Rindu dewasa dan bertemu lelaki Jepang: Satu dua hari hingga dua bulan lamanya/ Kami memintal kenangan dan romansa/ Siang hari ia bekerja dan/ di malam hari aku ‘bekerja’/ Bukan mencari uang/ melainkan bekerja ‘di atas’ dirinya. Kisah berakhir kematian lelaki Jepang yang kadung menanam benih di rahim Rindu. Kita sedih, frasa rindu dendam yang suci dikeruhkan seks berujung tragis.

Sebelum membaca bagian Dendam, kita bertemu selipan puisi-puisi. Kita bertemu puisi Semalam di Ranjangmu: Tumpah ruah semuanya/ Semalam di ranjangmu/ Yang bukan ranjangku/ Karena ranjangku untuk bantal daging lainnya. Seks bukannya tidak pernah bicara religiositas. Namun, dalam novel grafis maupun puisi-puisi selipan dalam Rindu Dendam, seks yang tampil betul-betul antagonistis. Kita susah membayangkan ada “curahan perasaan kepada Yang Satu” apalagi “pujian-pujaan terhadap keindahan alam”. Tidak ada Yang Satu maupun keindahan alam. Semuanya melulu daging ketemu daging.

Kita semakin kecewa saat sampai ke bagian Dendam. Penulis mengawali konflik cerita: Anakku Rindu Sukma tak berbusana/ Berdiri di atas meja di antara sofa merah/ Yang membuat tubuh telanjangnya semakin kontras menyala/ Tampak tangan besar dan kasar memegang dada rata mulusnya/ Dan sang kepala redaksi berdiri di belakangnya. Sejak itu, bapak Rindu Sukma menjadi peneror ulung. Ia rutin mengirim kotak bertulis “dendam” pada kepala redaksi. Kotak itu kadang berisi mayat kucing, potongan tangan, pisau berdarah, dan sebagainya. Akhirnya aku ketagihan/ Untuk menjadi gembala dari domba ketakutan/ Karena takut adalah Tuhan…..Dan Tuhan adalah menakutkan/ Dan dapat berkuasa atas sebuah perjalanan. Rindu dendam bukan lagi pujian pada Tuhan, melainkan lagak menjadi Tuhan.

Di rutinitas meneror, bapak Rindu Sukma berjumpa perempuan yang memikat. Ia dan perempuan itu kemudian menjalin asmara. Mudah ditebak, lagi-lagi mengarah ke daging ketemu daging: Sampai suatu saat/ di atas ranjang yang menjadi basah/ Sang wanita berpeluh/ hasil gairah dan berkisah,/ Bahwa ayahnya dikejar pria gila/ dijuluki ayahnya Dendam/ Selalu mengirim bingkisan gila/ yang ditulis dengan darah// Bahagia aku dibuatnya/ Sungguh aku dinobatkan menjadi Tuhan dibuatnya/ Kiriman dendam akan kuringankan// Kemaluan ayahnya tidak jadi kuhilangkan/ Karena sudah terhidang kemaluan putrinya. Maka, sungguh, Rindu Dendam: Novel Grafis & Puisi adalah tafsir paling serampangan atas karya monumental Tatengkeng. Frasa rindu dendam jadi terasa keruh, tak lagi suci. []

Udji Kayang Aditya Supriyanto
Follow Me
Latest posts by Udji Kayang Aditya Supriyanto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!