“Pendeknya besok hari raya tak ada yang akan lebih ganteng dari aku. Pak Lurah sendiri akan cemburu melihat aku. Karena, ia tak punya celana panjang sehebat celanaku.”
Demikianlah senandung kecil Kelowor setelah ia berhasil menjual kambingnya sebesar seribu rupiah. Masa penantian yang lama untuk mencurahkan satu keinginan. Sekarang saatnya telah tiba pula. Tadinya Kelowor berniat membelikan istri dan ibu mertuanya baju yang bagus. Sedangkan untuk bapak mertuanya, cukup sebuah destar saja.
Belakangan Kelowor “terpukau” membeli barang yang lain. Uangnya habis untuk membeli celana wol, sepatu rombengan, dan kue. Sampai di rumah, terjadi perang mulut antara Kelowor dengan istri yang didukung oleh kedua mertuanya. Mereka menagih janji Kelowor. Merasa dibohongi, semuanya sepakat memarahi Kelowor habis-habisan.
Kelowor yang malang lantas menjadi sedih. Apalagi celana wol yang barusan dibeli ternyata kepanjangan sampai lewat batas kaki. Malam harinya, Kelowor memotong celana dan menjahitnya sendiri. Ia berharap, istrinya besok akan bangga melihatnya memakai celana berbahan wol. Kemudian, ia pun tertidur pulas.
Tanpa diduga, istrinya yang tidur di kamar lain, diam-diam masuk untuk memotong celananya. Istrinya tahu bahwa celananya memang kepanjangan. Tak elok jika dipakai untuk berlebaran. Setelah memotongnya, ia lantas menjahitnya secara rapi.
Tak lama setelah istrinya keluar, giliran ibu mertuanya masuk dan mengerjakan hal yang serupa. Setelah selesai, ia pun lega karena merasa telah terbebas dari “dosa”. Di matanya, Kelowor adalah seorang menantu yang baik. Tak cukup demikian, sang bapak mertua ikut “campur tangan” memotong celana wolnya. Ia menyangka telah berbuat kebaikan terhadap Kelowor.
Pagi hari setelah mandi di sungai, Kelowor bersiap memakai celananya yang baru. Ia langsung syok dan kaget. Ternyata celana wol yang “spesial” telah berubah dalam tempo sekejap. Kini, jadi celana pendek bak “cawat” saja.
Mengalami kejadian sial begini, niat Kelowor yang hendak “memamerkan” celananya dalam sehari lebaran pupus sudah.
***
Begitulah pemikiran Arry Darma membuat komik. Ia langsung menampilkan keluguan dan kekurangan orang-orang lain. Kelowor ditampilkan sebagai sosok yang “nrimo”. Kelowor adalah mulut rakyat kebanyakan yang penuh humor. Kisah Kelowor bisa dijadikan cermin untuk mempelajari sifat manusia lainnya.
Maka dari itu, komik Kelowor dengan Gara-gara Tjelana Buntung (C.V. Asia Tenggara, 1961) adalah salah satu karya Arry Darma yang penting.
Arry Darma punya ciri khas dalam berkarya. Ia mengarsir dengan baik hingga deskripsi latar menjadi hidup. Ia setia menggunakan teknik pointilis (titik ke titik) untuk memvisualkan tokoh komiknya. Hasilnya adalah gambar ekspresi yang tajam karena dikerjakan secara detail dan terencana.
***
Arry Darma lahir di Muntilan pada 3 Maret 1939. Setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Teknik Tingkat Pertama (STP) Kanisius, ia menyusul kakeknya ke Medan. Medio 1956, mulai bekerja sebagai juru gambar peta pada salah satu perusahaan perkebunan milik warga negara Swiss di Kotari, Galang.
Arry disayang kakeknya. Sering pula diceritai tentang kejadian aneh dan lucu di dalam perkebunan. Mayoritas warga kebun adalah pendatang dari Jawa. Sarana hiburan boleh dibilang tak ada. Kecuali surat kabar yang sesekali dikirim dari Medan.
Pada tahun berikutnya, ia melihat iklan di harian Patriot yang isinya mencari seorang pelukis klise untuk bekerja di perusahaan Ah-Tong, di Jalan Percut. Arry sempat bimbang memilih. Maklumlah, statusnya masih sebagai pegawai perkebunan dengan gaji yang besar dan bisa makan enak.
Namun keputusan harus diambil. Arry memilih menjadi pelukis klise dengan segala konsekuensinya. Untungnya, Ah-Tong adalah perusahaan klise besar yang menjadi langganan surat kabar ternama di Medan. Serial komik karya Taguan Hardjo, Zam Nuldyn, Djas, dan Bahzar Sou’yb, kalau hendak dimuat di surat kabar, harus dibuatkan klisenya di Ah-Tong. Arry sangat terkesan melihat hasil kreativitas mereka. Ia merasa tergugah dan mencoba menjadi seorang komikus tulen.
Arry Darma mundur dari Ah-Tong dan ikut belajar membuat komik dengan Taguan Hardjo. Sesekali untuk menambah penghasilan, menjadi asisten Bahzar Sou’yb yang kewalahan memenuhi pesanan dari surat kabar.
Seperti halnya roman, komik berkembang pesat di Medan. Penerbit swasta berlomba-lomba menerbitkan komik untuk pembaca yang haus akan bacaan. Dengan demikian, memberikan kesempatan yang luas bagi para komikus muda untuk mengembangkan bakat. Menyingsingnya fajar penerbitan komik, menarik perhatian sejumlah pelukis. Ketika industri Komik Medan mengalami masa kejayaan sampai tahun 1965, membuat komik berarti memanfaatkan momentum untuk mendapat rezeki yang layak.
Pada saat itu, komik apa pun yang dibuat akan menghasilkan uang. Makanya lumrah ditemukan pelukis reklame, iklan, klise, kartunis, karikaturis juga membuat komik sesuai dengan gayanya masing-masing.
Ironisnya, setelah penerbitan meredup karena imbas dari krisis multidimensi yang dialami bangsa ini, berangsur-angsur profesi membuat komik ditinggalkan.
***
Arry Darma sangat produktif dalam membuat komik. Ia menciptakan serial Kelowor yang mengusung genre lelucon. Ia pun tak gamang membuat komik berlatar belakang sejarah. Beberapa dari komiknya yang kaya dengan nuansa sejarah adalah : Siti Pajung, Mawar Rimba, Mas Merah, Pahlawan Tujuh Lautan dan Sari Nande.
Zaman berlalu dengan derasnya. Namun, komik tidak akan bisa hilang. Komik tetap mempunyai penggemar dan dunia tersendiri.
- Kesahajaan Kelowor di Balik Layar Komik Medan - 25 January 2018
- Eksistensi Penjual Cendol dalam Komik Medan - 7 December 2017