Judul : Kesetiaan Mr. X (Yougisha X no Kenshin)
Penulis : Keigo Higashino
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah : Faira Ammadea
Cetakan Pertama : Juli 2016
Tebal : 320 halaman
ISBN : 9786020330525
Dengan dibantu anak perempuannya, Misato, Yasuoka Hanaoka membunuh Togashi, mantan suaminya, yang dalam kemunculannya yang tiba-tiba itu membuat ibu-anak tersebut seketika tertekan. Ini pembunuhan yang disengaja, meski bukan terencana. Hanaoka dan Misato baru menyadari konsekuensi yang harus mereka hadapi setelah pembunuhan itu dilakukan, bahwa salah satu dari mereka atau bahkan keduanya akan mendekam bertahun-tahun di penjara; sesuatu yang tentunya tak pernah mereka harapkan. Saat itulah, ketika ibu-anak ini masih teramat bingung dan gelisah, tetangga mereka, Ishigami, muncul. Hanaoka berusaha menyembunyikan fakta ia telah membunuh mantan suaminya itu tetapi bagi Ishigami yang seorang genius dalam matematika upaya Hanaoka tersebut sungguhlah sia-sia.
Di luar dugaan Hanaoka, Ishigami menawarkan bantuan; ia, dengan cara-cara yang dipikirkannya sendiri, akan membantu ibu-anak tersebut terbebas dari jerat hukum; membuat penyelidikan yang dilakukan para detektif dan pihak kepolisian terarah dan bermuara ke seseorang lain, bahkan ke tempat lain jauh dari TKP sesungguhnya. Tentu saja, untuk bisa mewujudkannya, Ishigami harus menciptakan sejumlah alibi; alibi-alibi yang akan digunakan ibu-anak tersebut sebagai tameng ketika berhadap-hadapan dengan para detektif. Dan ia benar melakukannya; ia bahkan “mengubah” waktu pembunuhan dari semula 9 Maret menjadi 10 Maret, menjadikan para detektif itu kebingungan sebab di satu sisi Hanaoka masih sangat mungkin terlibat dalam pembunuhan itu namun di sisi lain bukti-bukti yang mereka temukan di lapangan terang-terangan membantahnya. Seandainya tidak ada “campur tangan” si fisikawan genius Yukawa, teman diskusi Ishigami semasa di universitas, para detektif itu tentu tak akan menyadari apa saja yang sesungguhnya telah dilakukan Ishigami dalam mempermainkan mereka.
Dari dua gambaran tersebut sudah jelas terlihat bahwa novel Kesetiaan Mr. X karya Keigo Higashino ini adalah sebuah novel detektif, sebuah novel misteri, sebuah novel kriminal, yang alur ceritanya dijaga—dalam arti terus “menyala”—oleh kerahasiaan trik-trik tertentu, dalam hal ini apa-apa yang dilakukan Ishigami untuk mengecoh para detektif tadi. Seandainya trik-trik tersebut dibocorkan di awal, semuanya, maka bisa dipastikan novel ini selesai di situ; cerita yang mengalur setelahnya akan jadi santapan dingin yang tak lagi mengundang selera. Jenis narasi yang digunakan Keigo Higashino di novel ini juga mendukung hal tersebut. Tidak seperti narasi di novel-novel kriminal-misterinya Natsuo Kirino yang begitu sabar mengolah alam pikiran dan indra perasa si tokoh, misalnya, narasi di novel Kesetiaan Mr. X memfokuskan dirinya pada bergulirnya peristiwa, bergantinya adegan satu ke adegan lain, dan karenanya terasa kering.
Maka bisa juga dikatakan bahwa daya pikat yang coba ditawarkan Keigo Higashino dalam novelnya ini adalah kemampuan ia menyembunyikan trik-trik krusial itu, menahannya dan terus menahannya, dan di saat yang sama menghindarkan pembaca dari merasa di-php-kan dan dipermainkan, sehingga mereka masih mau terus membaca sampai akhir meskipun narasinya ya seperti tadi, kering dan tak membekas. Jika itu salah tujuan utama ditulisnya novel ini, Keigo Higashino berhasil. Masalahnya adalah sudah cukupkah sebuah novel misteri-kriminal yang kita baca sekarang ini hanya menawarkan daya pikat tersebut dan tidak yang lainnya.
Lantas apakah ada daya pikat lainnya, sebab dari segi narasi sudah jelas-jelas lemah? Barangkali ada. Ishigami, seperti tadi telah disinggung, adalah seseorang yang genius dalam matematika, dan tentulah ia mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan dan pemahaman-pemahamannya tentang matematika dalam menciptakan alibi-alibi krusial yang dirahasiakan itu. Ini menjadi daya tarik tersendiri terutama bagi pembaca yang dekat atau sekadar menaruh minat pada matematika atau ilmu eksakta pada umumnya; sebuah suasana saintifik yang mungkin tidak mereka temukan di novel-novel misteri-kriminal lain. Ditambah lagi kehadiran seorang Yukawa yang genius dalam fisika, nuansa saintifik yang dimiliki novel ini mencapai tahap yang lebih tak mungkin bisa diabaikan. Sesekali Ishigami dan Yukawa juga beradu argumen tentang persoalan matematika atau ilmu eksakta pada umumnya dan dengan mengikutinya pembaca bisa memahami bagaimana seorang matematikawan atau fisikawan berpikir.
Masih adakah daya pikat lainnya? Barangkali masih. Selain menawarkan trik-trik krusial yang berkaitan erat dengan matematika dan hal-hal saintifik lainnya tadi, dari segi narasi hidup tokoh-tokohnya novel ini menawarkan perjalanan cinta yang cukup menggugah. Mengapa Ishigami, yang sehari-harinya berprofesi sebagai guru matematika di sebuah sekolah menengah, dengan mudahnya memutuskan untuk menolong si ibu-anak tadi yang berarti ia membahayakan dirinya sendiri, tentulah dikarenakan Ishigami, sejak lama, menaruh perhatian istimewa kepada ibu-anak tersebut—terutama si ibu. Ishigami mencintai si ibu, Yasuoka Hanaoka; katakanlah begitu. Betapa besar dan dalamnya rasa cinta Ishigami kepada Hanaoka baru benar-benar terungkap di akhir-akhir novel, yakni saat Yukawa si fisikawan genius tadi menghampiri Hanaoka dan berbicara empat mata saja dengannya. Ishigami, demi menyempurnakan alibi-alibi ibu-anak itu, rupanya sampai melakukan pembunuhan lain, pembunuhan terhadap seseorang yang lain, yang gara-gara inilah para detektif sampai terkecoh mengira waktu pembunuhan adalah 10 Maret. Ishigami, yang adalah seorang akademisi dan seorang ilmuwan, yang tak memiliki catatan kriminal sedikit pun, begitu saja memutuskan untuk melakukan pembunuhan; ia menjadi seorang pembunuh atas keinginannya sendiri. Kita bisa melihat ini sebagai totalitas seorang ilmuwan dan di saat yang sama kesetiaan seorang manusia.
Apakah Ishigami tidak menyesali perbuatannya itu? Tidak. Bahkan ketika akhirnya ia menyadari Yukawa memahami trik-trik krusialnya, bahkan ketika akhirnya ia terdesak untuk menciptakan alibi-alibi lain bagi ibu-anak itu yang justru mengarahkan dirinya sendiri ke penjara, Ishigami sama sekali tak menyesalinya. Alih-alih memikirkan nasibnya ia terkesan lebih memikirkan nasib si ibu-anak tersebut. Ia merasa berutang-budi, kepada kedua perempuan itu. Apa yang dilakukannya untuk menutup-nutupi keterlibatan mereka dari kematian Togashi dilihatnya sebuah cara ia membalas utang budi tersebut.
Kira-kira dua tahun sebelum pembunuhan Togashi terjadi, Ishigami berhadap-hadapan dengan dua perempuan itu pertama kalinya. Mereka baru saja pindah ke kamar apartemen di bawah kamar apartemennya, dan mereka, dengan maksud bersopan-santun dan beramah-tamah, berdiri di depan pintu kamar apartemen Ishigami dan memperkenalkan diri. Ishigami menilai sepasang mata dua perempuan itu begitu indah, sampai-sampai ia yang selama ini tak percaya di dunia ini ada yang lebih indah daripada hal-hal matematika harus mengkhianati keyakinannya itu. Sejak saat itu Ishigami merasakan kembali gairah hidupnya, dan ia senantiasa mengamati keseharian ibu-anak tersebut secara diam-diam. Di detik ibu-anak itu mengetuk pintu kamar apartemennya, Ishigami sedang di ambang mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri.
Cinta sejati, kesetiaan, dan balas budi. Ketiga hal kodrati ini kemudian dikemas oleh hal kodrati lainnya, logika, sehingga terciptalah alibi-alibi tingkat tinggi tadi, trik-trik krusial yang tak mungkin bisa dikuak orang-orang awam. Menariknya, yang terakhir ini membuat seorang manusia lain, seseorang yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan narasi hidup ibu-anak itu, terkorbankan; ia mati, tanpa ia pernah tahu kesalahannya apa. Dan kita tentu sewajarnya bertanya-tanya apakah ini sesuatu yang benar—atau setidaknya dapat dimafhumi.
Bisa jadi itu jugalah hal lainnya yang berusaha ditawarkan Keigo Higashino lewat novelnya ini; sebuah pemahaman bahwa logika ketika dihadapkan pada cinta sejati akan menjadi sesuatu yang tersubordinasi. Ishigami tahu betul apa yang dilakukannya ini bisa menghancurkan kariernya sebagai guru matematika dan sebagai ilmuwan, tapi ia tetap melakukannya. Bahkan harus digarisbawahi: Ishigami melakukannya tanpa si ibu-anak itu mengetahuinya; ia mengorbankan dirinya demi kelangsungan hidup dua perempuan itu tanpa mereka memahami pengorbanannya ini.
Kesetiaan Mr. X; sebuah cerita yang seyogianya mendorong kita merenungkan kembali apa itu cinta dan kesetiaan, juga keterhubungannya dengan logika.(*)
- Manusia Modern dan Realitas yang Bergerak Cepat - 28 December 2019
- Sebuah Lubang yang Lebar dan Dalam - 29 November 2019
- Pesan Moral - 29 September 2017