Kemarin, aku terpaksa turun gunung (itu istilah yang biasa aku pakai ketika aku harus keluar dari ruangan) meninggalkan pekerjaan karena harus memenuhi panggilan Subengis. Laki-laki satu ini adalah orang paling ditakuti di kantor. Bila tak menuruti kemauannya, pasti dianggap tak patuh. Itu artinya, aku akan dilempar ke Pulau Meungan, mendekam lama di sana, terpisah dari anak dan istri. Maka mampuslah aku kalau sudah begitu.
Saat kami sudah bertemu, dia langsung menyerangku dengan amarahnya, “Mas, semua pegawai di kantor ini tak becus. Mereka semua pengkhianat, cuma jadi beban negara saja.” Sepasang matanya mendelik seperti Leak saat menatap mataku. Spontan amarahku hidup. Sebenarnya, aku bisa melawannya saat itu juga. Bahkan, aku bisa membuat mulutnya mengucur darah. Tapi, Pulau Meungan segera membayang di mataku. Jadi, aku hanya bisa berkata, “Sabar. Sabar, Bapak. Semuanya bisa dibicarakan dengan cara-cara normal.” Bukannya mereda, dia malah muntab, “Bangsat kau. Kau dan mereka sama saja. Sama tak becusnya!” Aku selanjutnya diam dan mendengarkan semua kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya.
Sesungguhnya, bukan baru kali itu aku menghadapi kemarahannya. Artinya, aku sudah terbiasa. Ya. Seharusnya aku bisa mengendalikan diri. Bersikap santai dan tenang. Tapi, ya, karena aku manusia biasa, tetap saja emosi itu ada.
Aku dan Subengis sebenarnya memiliki hubungan baik. Bahkan bisa dibilang akrab. Aku adalah satu-satunya tempat dia curhat. Dia biasa curhat soal anaknya yang tak sembuh-sembuh dari sakitnya. Aku menduga, dia marah, mungkin, karena keracunan informasi tak benar. Biasa. Itu pasti ulah para penjilat, yang biasa mengambil untung dalam situasi onar.
Entah kenapa, kemarahan Subengis itu terbawa sampai ke rumah. Terus berkecamuk dalam ingatan akan kata, “Kau dan mereka sama saja. Sama tak becusnya.” Dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya, Subengis tak pernah bilang seperti itu dalam semua adegan kemarahannya. Dia tuduh aku tak becus! Padahal akulah satu-satunya orang yang mau melayaninya saat semua pegawai enggan dan menjauh. Akulah satu-satunya yang bisa memberinya upeti meski nilai tak begitu besar. Ha-nya a-ku yang bersedia mendengar semua keluh-kesahnya saat semuanya tak peduli. Lalu, kenapa dia tega bilang seperti itu padaku yang sudah setia? Aku tak terima, dan ini tak bisa dibiarkan. Aku harus membalasnya. Malam ini juga harus tuntas.
Maka, kukatakan pada Cahaya, istriku, agar tidur lebih dulu. Setelah itu, aku keluarkan senjata (aku biasa menyebut laptop adalah senjata) dari dalam tas kerja. Aku bawa senjata itu ke beranda dan kuletakkan di meja. Aku nyalakan. Sambil mengambil posisi duduk yang nyaman, aku nyalakan rokok. Lalu, dengan konsentrasi penuh, aku pun mulai menulis cerita.
Begini.
Tiba-tiba aku berada di beranda rumah Subengis. Aku lihat Subengis duduk di lantai. Mengenakan sarung, dan tak memakai baju. Dia duduk dengan posisi kedua kaki mengangkang. Di depannya ada tumpukan uang. Dia tak banyak gerak. Mungkin karena kekenyangan. Mulutnya tak henti-henti mengunyah uang. Anehnya, tumpukan uang itu tak habis-habis. Meski terus-menerus dia makan. Ini aneh, aku membatin.
Lalu, karena merasa kasihan dan khawatir, aku mendekat, dan berkata, “Bapak, hentikan. Bapak bisa mati. Perut Bapak bisa meledak.”
Dia tak peduli, dan terus mengunyah.
Aku coba lagi, “Bapak, hentikan mengunyah uang. Kenapa tidak makan nasi saja. Yang Bapak makan itu uang!”
Dia tetap tak peduli. Malah semakin cepat mengunyahnya. Seolah ketakutan. Entah pada apa dan siapa.
Aku coba lagi, “Bapak, itu uang. Eman. Bukankah Bapak sangat menyukai dan menyayangi uang? Eman, Pak. Lebih baik uang itu digunakan untuk kepentingan keluarga Bapak. Atau, kalau uang Bapak sudah banyak berlebih, dised…”
Aku hendak bilang disedekahkan saja. Tetapi dia hentikan kata-kataku dengan gerakan pelan tolehan kepalanya. Sepasang matanya seperti ujung pisau. Menusuk-nusuk mataku. Aku mundur ke belakang sedikit. Dia kembali melanjutkan mengunyah uang.
Apa mungkin dia sudah gila?
Apa mungkin dia kerasukan jin rakus yang suka makan uang?
Apa mungkin dia memakan uangnya sendiri karena takut ada orang yang hendak mencuri uangnya?
Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam kepalaku. Aku kenal baik siapa Subengis. Bahkan, seluruh pegawai di kota ini tahu siapa Subengis. Dia dikenal sebagai pejabat yang sangat suka uang! Dia suka menimbun uang. Dia sedih bila uangnya berkurang, dan segera mencari ganti dengan cara memalak bawahannya sendiri. Lalu, kenapa sekarang dia memakan uangnya sendiri? Aneh.
Tapi, sebenarnya, dalam hati, aku senang dia memakan uangnya sendiri. Bahkan, aku akan pesta tujuh hari tujuh malam kalau akhirnya dia bisa mampus karena memakan uangnya sendiri. Kalau kali ini aku merasa kasihan dan khawatir, itu hanya pura-pura. Hanya saja, aku masih bingung, kenapa dia sampai berulah seperti itu.
Aku bergerak ke depan, kembali ke posisi semula. Aku coba lagi menghentikannya, “Berhenti, Bapak. Bapak bisa mati. Kalau Bapak mati, keluarga Bapak pasti sedih.”
Dan, berhasil, dia berhenti, lalu bersendawa. Bau busuk menyeruak dari mulutnya. Baunya sangat menyengat. Seperti bau bangkai tikus yang sudah lama membusuk. Perutku tiba-tiba mual. Aku tutup hidung. Biar rasa mual tidak berlanjut. Dan, dia menoleh padaku. Sorot matanya tidak tajam lagi.
“Kenapa kau ada di sini?” tanyanya.
“Saya tidak tahu juga, Bapak” jawabku.
“Kau sama seperti yang lain,” bentaknya.
Aku diam.
“Ini lezat sekali,” katanya.
“Itu uang, Bapak. Bukan makanan. Jangan dimakan. Gunakan untuk pengobatan anak Bapak saja. Anak Bapak, kan, sakit?” kataku.
“Dia tidak akan sembuh. Sakitnya bukan sakit biasa. Ada tiga ribu jin di tubuhnya. Selama semua jin itu masih ada di tubuhnya, dia akan tetap begitu,” katanya, dan setelah itu menghela napas.
“Bapak, kan, banyak uangnya. Jadi Bapak bisa membayar semua dukun sakti di kota ini,” kataku.
“Dukun? Aku sudah mencoba mendatangkan sepuluh dukun sekaligus. Tapi satu pun tak ada yang berhasil. Mereka bilang, tiga ribu jin itu adalah kiriman dukun paling sakti di negeri ini. Jadi percuma. Aku sudah banyak keluar uang, tapi tak ada hasil,”
“Tapi, kelihatannya, penyakit anak Bapak tidak ada hubungannya dengan klenik. Kenapa tidak Bapak periksakan ke dokter saja,” kataku.
“Aku tahu, kau mau menyebut anakku gila, kan? Kutebas batang lehermu nanti. Anakku tidak gila! Itu ulah tiga ribu jin!” katanya, sambil berteriak.
“Tapi, kenapa Bapak memakan uang Bapak sendiri?” tanyaku.
“Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba aku lapar dan ingin makan uang. Sudah-sudah, jangan ganggu aku lagi. Aku masih lapar,” katanya.
Dia kunyah uang itu lagi. Terus, terus. Seperti yang aku duga, perutnya meledak. Ledakannya keras. Tubuhku terpental. Hingga pingsan.
Lalu, aku bangkit lagi. Bangun dari ketidaksadaranku. Dan, aku kembali bingung sedang berada di mana. Yang jelas, ini kamar. Kamar ini luas. Tetapi hanya ada kasur. Dan, lagi-lagi aku bersama Subengis. Kali ini dia diam. Duduk nyaman di atas kasur. Kakinya bersimpuh. Wajahnya tampak pucat. Tatapan matanya kosong. Kepalanya miring ke kiri.
Aku dekati dia. Duduk di sisi kasur. Lalu, sambil sedikit menundukkan kepala, kutanya dia, “Bapak baik-baik saja?”
Dia merespons pertanyaanku dengan gerak tolehan kepala begitu pelan. Hingga kedua matanya beradu dengan mataku.
Lalu, dia menjawab, “Tolong aku. Aku lelah. Lelah dengan semuanya.”
“Apa yang bisa saya bantu?” tanyaku.
“Aku lelah. Anakku tak sembuh-sembuh. Tolong carikan dukun sakti yang bisa mengeluarkan tiga ribu jin dari tubuh anakku. Kalau anakku tak sembuh-sembuh, uangku bisa habis. Aku juga tak akan bisa ke mana-mana. Tidak bisa keluar kota. Tidak bisa bersenang-senang dengan perempuan di luar sana. Hah! Terus terang, aku malu. Semua temanku menertawakanku. Mereka menyebut anakku gila. Tolong aku. Cari dukun penyembuh untuk anakku. Aku punya banyak uang. Berapa pun biayanya, aku bayar.”
Dan entah kenapa, aku sama sekali tidak kasihan dengan semua kata-katanya. Bahkan mulutku yang biasanya ramah dan berhati-hati dalam memilih kata, tiba-tiba tak terkendali.
“Anak Bapak itu gila. Bukan ulah tiga ribu jin. Itu adalah hukuman buat Bapak. Ingat, Pak, selama Bapak masih suka membuat susah orang, suka memalak uang bawahan, suka merayu dan menikmati istri orang, dan suka membuat hati orang sakit, maka anak Bapak akan tetap seperti itu. Dan…,”
“Diam!” bentaknya.
“Saya tidak akan diam. Kali ini saya sama sekali tidak takut sama Bapak. Selama ini saya diam bukan karena takut. Tapi, saya menghormati Bapak. Tapi semakin saya hormat, Bapak semakin nyaman menginjak-injak harga diri saya. Saya sudah melayani Bapak dengan baik. Tapi Bapak memang bejat. Bapak bukan manusia. Ketahuilah, anak Bapak akan sembuh jika semua harta Bapak habis.”
“Mulutmu lancang. Apa kau mau pindah ke Pulau Meungan?”
“Hah! Bangsat! Bapak pikir saya takut? Silakan pindah saya kalau Bapak mampu. Bapak bukan Tuhan, dan saya sama sekali tak takut sama Bapak.”
Dia emosi. Aku emosi. Kami berkelahi. Dia menyerangku dengan tinjunya. Aku menghindar. Lalu segera membalasnya dengan tendangan beruntun. Satu tendangan mengenai perutnya, dan satu lagi ke wajahnya. Dia limbung. Tapi aku tak puas. Saat tubuhnya roboh, segera kuhantam mukanya dengan pukulan keras bertubi-tubi. Terus, terus, dan terus. Hingga akhirnya aku terjatuh dari kasur. Ketika mata sudah terbuka, dan benar-benar sadar, segera aku istighfar. “Ah, itu hanya mimpi,” batinku, sambil senyum-senyum sendiri.
Selesai.
Ya, selesai. Sampai di situ saja cerita yang aku tulis. Aku rasa, itu adalah pembalasan yang setimpal. Meski itu hanya terjadi dalam dunia cerita—dalam sebuah mimpi pula!—, tetapi, itu sudah cukup mewakili rasa kesalku. Namun, andai suatu hari nanti Subengis semakin keterlaluan marahnya, dan lagi-lagi bilang aku tak becus, maka akan kubuat nyata perkelahian dalam cerita itu.
Asoka 2022
- Kesumat - 30 December 2022
- Narasi Kebencian - 1 February 2019
WR
keren
AP
Mantaaap