Ketika Buku Tak Sekadar Kata-Kata yang Dijilid

http://pinterest.com/

Ada sebuah buku yang mungkin sulit terlupakan bagi seorang sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer. Buku itu berjudul Ibunda karya Maxim Gorki. Ceritanya, pada hari-hari masa bulan madu setelah menikahi Maemunah Thamrin, seorang kawannya bernama A.S. Darta bertamu ke rumahnya. Darta memberi sebuah hadiah buku Ibunda yang masih berbahasa Belanda. Pram diminta menerjemahkan novel itu ke dalam bahasa Indonesia. Dari proyek penerjemahannya itu, Pram menerima uang Rp7.000. Uang itu sungguh berharga, karena saat menikah, Pram tak memiliki uang sepeser pun, termasuk untuk membayar buku pedoman pernikahan kepada penghulu.

Buku terjemahan Pram tersebut di kemudian hari sangat terkenal dan diburu oleh pencintanya hingga sekarang. Selain harga buku yang melambung tinggi, Ibunda juga diyakini banyak memberi pengaruh pada gerakan-gerakan politik di tanah air. Di antaranya menginspirasi gerakan kaum muda tahun 1950-an, dan juga gerakan-gerakan PRRI dan Permesta. (Lihat Melani Budianta dalam pengantar buku Ibunda terbitan Kalyanamitra tahun 2000.)

Jauh sebelum Pramoedya, seorang penulis besar juga menghadiahi kawan karibnya sebuah buku. Buku tersebut diberi gambar sketsa kupu-kupu yang indah dan dibubuhi tanda tangan oleh sang penulisnya. Penulis itu bernama Vladimir Nabokov. Ia menulis novel Lolita yang mulai diterbitkan di Paris tahun 1955. Namun sejak saat itu, Lolita masuk daftar buku terlarang. Dan tahun 1959, Nabokov memberi satu eksemplar ke kawan sesama penulis, Graham Greene, tepatnya pada 28 November 1959.

Di kemudian hari, buku Lolita juga begitu terkenal. Pada lelang Christie tahun 2002, buku Lolita yang cetak edisi persembahan khusus untuk Greene terjual seharga 264.000 dollar. Lolita juga sudah dua kali difilmkan. Novel yang mengisahkan cinta seorang profesor tua kepada gadis muda itu juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Di Indonesia, Lolita diterjemahkan oleh Anton Kurnia dan diterbitkan oleh Penerbit Serambi tahun 2008. Hanya dalam waktu setahun, Lolita edisi bahasa Indonesia sudah memasuki cetakan kedelapan.

Dua fakta tentang buku sebagai kado istimewa itu, seakan hendak berujar bahwa buku punya nilai historis yang tak terpisahkan dengan pencintanya. Buku memiliki sejarahnya sendiri, memiliki eksistensinya sendiri, terlebih di mata para pencintanya. Buku diyakini memiliki “kekuatan” yang bisa menular pada pemiliknya. Tak mengherankan jika banyak tokoh yang merindukan kehadiran buku ketika berada dalam situasi senang maupun situasi susah. Tokoh-tokoh yang berada di penjara, banyak yang meminta bisa dekat dengan buku.

Keinginan untuk tak jauh dari buku dirasakan juga oleh tokoh-tokoh seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mochtar Lubis, dan sederet tokoh nasional lain. Sukarno misalnya, ketika berada di penjara Sukamiskin dilarang membaca buku-buku politik meski ia sangat menginginkannya. Inggit, istrinya, sebagaimana dikisahkan dalam buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adams (Gunung Agung, 1966), hanya diperbolehkan mengirimi buku-buku agama saja dan kitab suci al-Qur’an. Dari kitab al-Qur’an yang bisa masuk penjara tanpa sensor itu Inggit mengirimkan informasi-informasi politik negara ke Bung Karno. Caranya adalah dengan tusukan jarum (mirip huruf braille) di halaman-halaman tertentu kitab al-Quran yang dibawa. (hal. 145) Dan pada saat di Sukamiskin itu pula, Bung Karno pun mendalami Islam lewat buku-buku agama. (hal. 150)

Lain Bung Karno, lain pula dengan Bung Hatta. Bung Hatta yang memiliki nama kecil Mohammad Attar ini seakan tak bisa dipisahkan dengan buku. Dalam buku Memoir (Tintamas, 1979), Bung Hatta membeberkan perkenalannya pada buku. Perkenalannya dengan buku terjadi pada Agustus 1919, yakni ketika diajak ke toko buku oleh Ma’ Eteb Ayub. Di toko ini ia membeli buku Staathuishoudkunde (2 jilid) karya N.G. Pierson, De Socialisten (6 jilid) karya H.P. Quack, dan Het Jaar 2000 karya Bellamy. Tiga judul buku itulah yang menjadi awal koleksi buku-bukunya. (hal. 69-76) Bahkan, saat menikahi Rahmi, Bung Hatta memberikan maskawin berupa buku yang ditulisnya berjudul Alam Pikiran Yunani.

Kisah-kisah buku yang tak terpisahkan dari pencintanya adalah kisah yang tak pernah selesai. Setiap saat buku berjodoh dengan pencintanya. Lalu buku-buku itu merentangkan kisah yang mengiringi tiap detik sejarah perjalanan manusia, perjalanan sebuah bangsa.

Seperti hubungan Hatta dengan buku-bukunya, yang makin tampak ketika ia meninggalkan Rotterdam untuk pulang lagi ke Indonesia pada tanggal 20 Juli 1932. Pulang ke tanah air, Hatta membawa 16 peti besi berisi buku. Ketika sampai di Tanjung Priok, butuh 3,5 jam (pukul 09.30–12.00) bagi Inspektur Polisi Belanda untuk memeriksa buku-buku tersebut. Sebanyak sembilan buah bandel majalah Indonesia Merdeka yang sudah dijilid per tahun disita oleh Inspektur Polisi itu. Sesampai di rumah, butuh ruang khusus untuk menyimpan buku-buku itu. Dan Bung Hatta sendiri butuh waktu tiga hari untuk menyusun buku-buku ke atas rak agar rapi dan terlihat indah. (hal. 255-257)

Ada sebuah kisah tentang pencinta buku yang agak berbeda dari biasanya. Mungkin boleh kita menyebutnya ganjil. Kisah itu ada pada sosok John Gilkey, seorang kolektor buku di Amerika yang mendapatkan buku-bukunya dengan cara mencuri. Ya, mencuri. Dia keluar-masuk penjara gara-gara ulahnya mencuri buku-buku langka. Namun Gilkey bukan pencuri biasa, karena ia mencuri didasari rasa cintanya yang berlebihan pada buku.

Kisah nyata Gilkey bisa kita ikuti dalam buku The Man Who Loved Books Too Much, Kisah Nyata tentang Seorang Pencuri, Detektif, dan Obsesi pada Kesusastraan karya Allison Hoover Bartlett (Alvabet, 2010). Dalam buku yang cukup menarik itu, disebutkan Gilkey sangat percaya kata-kata Eugene Field bahwa “terlalu sedikit orang yang sepertinya menyadari bahwa buku memiliki perasaan”. Lalu, Gilkey menuturkan dengan kata-katanya sendiri bahwa “buku itu benda visual, yang tampak menarik ketika berjajar di rak. Entahlah, mungkin karena aku pria, tapi aku senang memandanginya. (hal: 70)

Cinta Gilkey pada buku adalah cinta yang ganjil. Namun, bagaimanapun juga banyak orang memiliki cara sendiri dalam soal mencintai buku, yang sering kali sulit untuk diungkapkan pada orang lain. Buku dan pencintanya memiliki hubungan yang erat tapi tak terkatakan, hubungan yang tak biasa. Mungkin kamu juga mengalaminya.

***

Libri di Luca, Novel Rahasia Pecinta Buku. Novel karya Mikkel Birkeegard yang cetak edisi Indonesia tahun 2009 sempat menjadi buku favorit saya dan seorang kawan. Usai membacanya, saya lebih bisa memahami apa yang dilakukan Gilkey yang “gila buku” tersebut. Buku digambarkan mempunyai “jiwa” yang bisa “bertemu” dengan pembacanya. Penyatuan buku dan pembacanya melahirkan kekuatan yang luar biasa besar.

Di dunia ini, menurut novel fiksi ini, ada dua golongan pencinta buku. Yakni golongan pemancar dan golongan penerima (receiver). Dua golongan ini seperti sudah ditakdirkan untuk berseteru, berebut posisi di perkumpulan rahasia pencinta buku dunia. Golongan pemancar adalah pembaca buku yang memiliki kekuatan mengarahkan konsentrasi orang yang mendengar apa yang dibaca. Siapa pun yang mendengar si “golongan pemancar” membacakan buku, maka dia tak akan mungkin bisa mengalihkan pikiran bahkan jiwanya ke lain hal. Dirinya akan tersedot hanya pada apa yang dibaca. Jika hal itu diteruskan, maka jantung si pendengar akan berhenti.

Pun demikian sebaliknya. Golongan penerima juga memiliki kekuatan soal membaca buku. Bedanya, orang-orang dengan kekuatan ini mampu memengaruhi pikiran pembaca buku hingga si pembaca buku tak kan bisa berhenti membaca. Makin terpengaruh, dia makin fokus dan tak akan bisa menyudahi membaca. Efek mengerikannya sama, yakni jantungnya bisa berhenti berdetak dan mati.

Ya, tentu saja novel ini hasil imajinasi. Bukan seperti kisah John Gilkey yang memang nyata. Tapi, novel Libri di Luca makin menunjukkan hubungan ganjil antara buku dan pembacanya. Buku makin memiliki kekuatan jika selalu dibaca dan dibaca. Buku yang dibaca dan buku yang tak pernah dibaca punya “kekuatan” yang berbeda.

Mungkin kita bisa berkomentar tentang novel itu dengan mengatakan bahwa kisah Libri di Luca terlalu hiperbolis. Tapi benarkah demikian? Mari membaca kisah-kisah hubungan buku dengan pembacanya lewat buku berjudul Bukuku Kakiku (2004) yang berisi kisah para pencinta buku Tanah Air. Bagaimana buku menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari para tokoh Indonesia. Mereka diantaranya Budi Darma, Sindhunata, Ajip Rosidi, dan lainnya. Bagi mereka buku tak sekadar kata-kata yang dijilid. Buku juga bisa disamakan dengan bagian tubuh manusia yang sangat vital, yakni kaki. Ya benar, buku adalah kaki, sebagaimana kata Sindhunata dalam Bukuku Kakiku. Makin gemar kita membaca buku, makin kuat dan kokoh kaki kita, begitu katanya.

Artinya, buku memang mempunyai kekuatan besar yang sering kali dilupakan. Tapi jangan keliru, buku juga melahirkan kesenangan tanpa batas, hedonisme dalam bentuknya yang lain, yang memaksa orang menjadi shopaholic. Menyukai buku dengan cara berlebihan bisa berakibat fatal juga, yakni ketika keinginan memiliki buku tak terbendung dan menghalalkan berbagai cara. John Gilkey, sebagaimana digambarkan di atas, hanyalah salah satu contoh saja.

Roland Barthes seorang tokoh semiologi melihat proses membaca bisa dimaknai tak sekadar membaca secara fisik sebagaimana kita lihat. Membaca adalah menjadikan teks sebagai objek. Objek apa? Objek kenikmatan. Sebuah kenikmatan dalam pembacaan teks adalah kesenangan menyusuri halaman demi halaman buku. Kenikmatan itu bersifat individual sekali yang hanya bisa dirasakan si pembaca. Barthes melukiskannya dengan: “what I enjoy in a story, its directly content, nor even its structure, but the abration I impose on the fine surface: I speed a head, I skip, I look up, I dip in again”. (Kurniawan, 2001: 102) Kenikmatan membaca tak hanya berkaitan dengan teks, melainkan berkaitan dengan tubuh si pembaca. Dan ketika ketagihan atas kesenangan itu, maka boleh jadi apa pun akan dilakukan.

Saya pernah ngobrol dengan seorang kolektor buku. Mas Erwin, begitu saya memanggil. Baginya, buku adalah bagian hidupnya. Ke mana-mana ia berburu buku. Dia tinggal di Surabaya, tapi sering berkeliling ke desa-desa untuk menemukan naskah-naskah kuno, buku-buku lawas dari tukang rongsokan, atau dari kampung-kampung tua, perpustakaan yang tutup, dan dari semua arah dimana ia bisa mendapatkannya. Ia begitu yakin dengan “indra keenam” yang dimiliki saat berburu buku. Ketika suatu pagi ia merasa harus berangkat, maka ia berangkat, dan ia keliling ke kampung-kampung yang kemudian pulang membawa buku. Buku-bukunya tak terbilang banyaknya. Sebagian pernah dipamerkan di House of Sampoerna (HoS) Surabaya dan diliput sejumlah media.

Lain Mas Erwin lain juga dengan Oei Hiem Hwie. Usia Pak Oei sudah sepuh saat saya beberapa kali menemuinya di Perpustakaan Medayu Agung di Surabaya sekitar tahun 2012. Perpustakaan tersebut adalah miliknya yang dikelola oleh Yayasan. Ia menceritakan pernah ada orang yang menawar buku-bukunya seharga 1 miliar. Tapi ia memilih tidak menjualnya dan membiarkannya menempati rak-rak di perpustakaan. Ia begitu menyukai buku dan enggan berpisah dengan buku-buku koleksinya.

Dan … begitulah. Hubungan buku dan pencintanya adalah kisah yang tak pernah selesai. Sekali lagi, buku tak sekadar kata-kata yang dijilid. Karena buku memiliki jiwa yang bisa bersentuhan dengan jiwa pemiliknya. Ada rasa haru saat bertemu, ada resah saat berpisah. Jika tak percaya, buktikan saja!

Nanang Fahrudin
Latest posts by Nanang Fahrudin (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!