Ketika jutaan Anak Tersesat di Indonesia: Sajak-Sajak Iman Budhi Santosa

 

 

SAJAK SIRIH TANAH

 Tinggal engkau yang kusembah sirih tanah

usai getah trembesi, daun salam muda

kulit buah manggis, diganti senyawa kimia

resep dan rumus matematika

“Biarlah Jawa, Si Primbon Tua

bertapa serupa mantra, mitos, dan legenda.”

Ujarmu pasti dan teramat berani.  Walau mata tunas

sedikit berkaca-kaca

perih oleh asam semut warisan serangga

bangsa hymenoptera

tutur kata bertabur sianida

arsenicum, racun belladona

meraut wajah anak-anak kota desa

Di pojok fondasi, engkau sendiri

aku sendiri. Hanya sampai di sini

kita mengungsi

2013

 

 

PRASASTI BUMI MATARAM

 

Tanah ini memang sakti. Tajamnya keris pedang

peluru mesiu meriam senapan tak meninggalkan bercak luka

dan menjelma peta. Tak merusak situs makam raja

dan pangeran

tak menggusur kubur sunyi kaum pidak pedarakan

pusaka anak-cucu dari zaman ke zaman

Tanah ini bukan padang Kurukasetra

kepundan gunung berapi, atau Hutan Dandaka.

Tak ada sisa akar mimang, sisik ular siluman, tonggak kayu ingas

yang memaksa engkau aku memasang pagar dan tapal batas

setelah kota demi kota habis dimangsa raksasa

berbekal restu panglima dan pemilik singgasana

Selamanya hanya sabar yang tumbuh menjalar

menyertai akar beringin, pohon asam, dan tanjung

mengirim rasa nyaman hingga pelosok kampung

Selamanya hanya tembang yang dimuliakan

rumpun melati dan kembang wora-wari bang

merawat prenjak pleci menandai siapa kerabat

yang bakal datang

Selamanya hanya kursi kayu atau bambu yang menunggumu

di beranda, ketika hidup rasa diburu-buru

dan engkau aku mencari suaka di pangkuannya

Sepatuh itu ia menerima dan menyimpan cacat cela

menyaring duka derita kembali bening

menjaring ulat lalat sebelum memusuhi dan dimusuhi

oleh tangan-tangan jujur dan perkasa, hingga nasibnya

ditentukan pestisida kimia yang angkara murka

Di sini, berdiri dan berpijaklah pada cinta

bertutur serupa mekarnya bunga Wijayakusuma

membungkuk dengan punggung tertekuk

seolah tongkat yang sarat takluk

memandang belalang tak menjadi hama

memandang tikus pemburu sampah cendekia

hingga racun dan perangkap tak mudah membuatnya binasa

Maka, datanglah. Serupa embun membasahi sekujur daun

serupa tonggeret bernyanyi pada bulan Mei

bukan memiliki, tapi memberi.

Bukan mengibarkan hebat, tetapi mengukir riwayat

karena di sini kayu batu penuh isyarat

kacang tanah, padi, jagung dan ketela

bisa membaca siapa yang pantas disebut saudara

Berjanjilah sesekali, datang kemari

jika kiblat empat gamang menunjuk rumah yang lapang

di mana engkau tak lagi bisa sembunyi.

Tetapi, jangan membekal belati

duri di hati, dan siasat untuk dipuji.

Karena setiap pintu jendela rumah

dijaga senyum indah yang berakar di dada kiri

Di sini, hanya selamat yang dijanjikan

oleh legenda dan kisah lama. Hanya salam sapa

yang bakal memberi harga sepotong kayu

selembar kertas, hingga baju bekas

karena di sini semua adalah guru.

Di sini bukan tanah untuk memulai jalan pintas

tetapi bumi yang sangat berkelas

untuk belajar berkaca dan berani menyatakan keliru

2014

 

 

KETIKA JUTAAN ANAK

TERSESAT DI INDONESIA

 

Sejauh engkau berlari masih tercium aroma beluntas

dan kemangi menyatakan keringatku, keringat mereka

benar anak-anak penghuni khatulistiwa.

Besar berakar dirawat amanat purba

dibimbing bulan dan matahari

dipangku musim angin yang ramah bersahabat

menebar salam sapa dan puji sesanti

Kini serupa anak panah, engkau aku dilepaskan

oleh gendewa sakti. Berbekal cerita cendekia

rumus fisika, matematika, dan biologi

menancap di kampung halaman baru

yang menakjubkan (dan selalu dijanjikan)

tapi tak pernah kelihatan

dan senantiasa gagal diterjemahkan

Maka, bagaikan labah-labah (senasib dengan burung gereja)

jutaan anak tersesat di antara langit dan bumi

di bangunan-bangunan kosong tak berpenghuni

selesai mengais remah sampah

sambil terus menari dan bernyanyi

Lalu, di manakah Indonesia?

Selain tertera pada buku

pada sisa makanan yang terselip pada celah kuku

atau memang hanya kisah wayang

sengaja dimainkan dalang

untuk menghibur, mengubur penat para tamu

Di manakah Indonesia? Ketika orang-orang Sunda

meniup seruling, anak-anak Osing bermain gasing?

Ketika Bugis mendendangkan La Galigo

Riau mendendangkan Bujang Tan Domang

di mana Indonesia sembunyi? Di mana dongeng itu

ketika buah maja dan kulit batang kina

lelah menjaga mahkota kebesaran Nusantara

Di Bali tak ada Jawa, di Sulawesi

tak ada Sumatera. Dari tanah Dayak

burung enggang dan naga

tak juga menyeberang hingga hutan-hutan Papua.

Tak ada Nusa Tenggara ketika berpijak

ke tanah Sasak, Samawa, Mbojo, Flores, dan Sikka

Lalu, ke mana Indonesia Raya

ketika upacara selesai

bendera dikibarkan

dan lagu itu dititipkan kembali

ke dalam jantungmu, jantungku?

Di Jakarta, setiap kali menapakkan kaki

kucari Indonesia. Mengapa tak menampakkan diri

membiarkan Betawi dimangsa ribuan raksasa

membiarkan Sunda Kelapa tinggal papan nama

membiarkan engkau aku berkiblat pada peta buta

meraba-raba di mana sekarang berada

Jadi, benar bisik gerimis dalam mimpi

bahwa di mana pun engkau berdiri

di situlah tanah airmu yang sejati….

2014

 

 

TETAPLAH SEPERTI

 

Tetaplah seperti, mungkin

desau angin, atau puncak gunung

yang menyimpan kisah cerita

tak meninggalkan jejak tapak dan gaung

Karena di tanganmu hanya puisi

tetaplah serupa kata, merawat tanda dan makna

2016

Iman Budhi Santosa

Comments

  1. Ali akbar Reply

    Mengenang itu indah

  2. Amma apri Reply

    Indah sekali ❤️

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!