SAJAK SIRIH TANAH
Tinggal engkau yang kusembah sirih tanah
usai getah trembesi, daun salam muda
kulit buah manggis, diganti senyawa kimia
resep dan rumus matematika
“Biarlah Jawa, Si Primbon Tua
bertapa serupa mantra, mitos, dan legenda.”
Ujarmu pasti dan teramat berani. Walau mata tunas
sedikit berkaca-kaca
perih oleh asam semut warisan serangga
bangsa hymenoptera
tutur kata bertabur sianida
arsenicum, racun belladona
meraut wajah anak-anak kota desa
Di pojok fondasi, engkau sendiri
aku sendiri. Hanya sampai di sini
kita mengungsi
2013
PRASASTI BUMI MATARAM
Tanah ini memang sakti. Tajamnya keris pedang
peluru mesiu meriam senapan tak meninggalkan bercak luka
dan menjelma peta. Tak merusak situs makam raja
dan pangeran
tak menggusur kubur sunyi kaum pidak pedarakan
pusaka anak-cucu dari zaman ke zaman
Tanah ini bukan padang Kurukasetra
kepundan gunung berapi, atau Hutan Dandaka.
Tak ada sisa akar mimang, sisik ular siluman, tonggak kayu ingas
yang memaksa engkau aku memasang pagar dan tapal batas
setelah kota demi kota habis dimangsa raksasa
berbekal restu panglima dan pemilik singgasana
Selamanya hanya sabar yang tumbuh menjalar
menyertai akar beringin, pohon asam, dan tanjung
mengirim rasa nyaman hingga pelosok kampung
Selamanya hanya tembang yang dimuliakan
rumpun melati dan kembang wora-wari bang
merawat prenjak pleci menandai siapa kerabat
yang bakal datang
Selamanya hanya kursi kayu atau bambu yang menunggumu
di beranda, ketika hidup rasa diburu-buru
dan engkau aku mencari suaka di pangkuannya
Sepatuh itu ia menerima dan menyimpan cacat cela
menyaring duka derita kembali bening
menjaring ulat lalat sebelum memusuhi dan dimusuhi
oleh tangan-tangan jujur dan perkasa, hingga nasibnya
ditentukan pestisida kimia yang angkara murka
Di sini, berdiri dan berpijaklah pada cinta
bertutur serupa mekarnya bunga Wijayakusuma
membungkuk dengan punggung tertekuk
seolah tongkat yang sarat takluk
memandang belalang tak menjadi hama
memandang tikus pemburu sampah cendekia
hingga racun dan perangkap tak mudah membuatnya binasa
Maka, datanglah. Serupa embun membasahi sekujur daun
serupa tonggeret bernyanyi pada bulan Mei
bukan memiliki, tapi memberi.
Bukan mengibarkan hebat, tetapi mengukir riwayat
karena di sini kayu batu penuh isyarat
kacang tanah, padi, jagung dan ketela
bisa membaca siapa yang pantas disebut saudara
Berjanjilah sesekali, datang kemari
jika kiblat empat gamang menunjuk rumah yang lapang
di mana engkau tak lagi bisa sembunyi.
Tetapi, jangan membekal belati
duri di hati, dan siasat untuk dipuji.
Karena setiap pintu jendela rumah
dijaga senyum indah yang berakar di dada kiri
Di sini, hanya selamat yang dijanjikan
oleh legenda dan kisah lama. Hanya salam sapa
yang bakal memberi harga sepotong kayu
selembar kertas, hingga baju bekas
karena di sini semua adalah guru.
Di sini bukan tanah untuk memulai jalan pintas
tetapi bumi yang sangat berkelas
untuk belajar berkaca dan berani menyatakan keliru
2014
KETIKA JUTAAN ANAK
TERSESAT DI INDONESIA
Sejauh engkau berlari masih tercium aroma beluntas
dan kemangi menyatakan keringatku, keringat mereka
benar anak-anak penghuni khatulistiwa.
Besar berakar dirawat amanat purba
dibimbing bulan dan matahari
dipangku musim angin yang ramah bersahabat
menebar salam sapa dan puji sesanti
Kini serupa anak panah, engkau aku dilepaskan
oleh gendewa sakti. Berbekal cerita cendekia
rumus fisika, matematika, dan biologi
menancap di kampung halaman baru
yang menakjubkan (dan selalu dijanjikan)
tapi tak pernah kelihatan
dan senantiasa gagal diterjemahkan
Maka, bagaikan labah-labah (senasib dengan burung gereja)
jutaan anak tersesat di antara langit dan bumi
di bangunan-bangunan kosong tak berpenghuni
selesai mengais remah sampah
sambil terus menari dan bernyanyi
Lalu, di manakah Indonesia?
Selain tertera pada buku
pada sisa makanan yang terselip pada celah kuku
atau memang hanya kisah wayang
sengaja dimainkan dalang
untuk menghibur, mengubur penat para tamu
Di manakah Indonesia? Ketika orang-orang Sunda
meniup seruling, anak-anak Osing bermain gasing?
Ketika Bugis mendendangkan La Galigo
Riau mendendangkan Bujang Tan Domang
di mana Indonesia sembunyi? Di mana dongeng itu
ketika buah maja dan kulit batang kina
lelah menjaga mahkota kebesaran Nusantara
Di Bali tak ada Jawa, di Sulawesi
tak ada Sumatera. Dari tanah Dayak
burung enggang dan naga
tak juga menyeberang hingga hutan-hutan Papua.
Tak ada Nusa Tenggara ketika berpijak
ke tanah Sasak, Samawa, Mbojo, Flores, dan Sikka
Lalu, ke mana Indonesia Raya
ketika upacara selesai
bendera dikibarkan
dan lagu itu dititipkan kembali
ke dalam jantungmu, jantungku?
Di Jakarta, setiap kali menapakkan kaki
kucari Indonesia. Mengapa tak menampakkan diri
membiarkan Betawi dimangsa ribuan raksasa
membiarkan Sunda Kelapa tinggal papan nama
membiarkan engkau aku berkiblat pada peta buta
meraba-raba di mana sekarang berada
Jadi, benar bisik gerimis dalam mimpi
bahwa di mana pun engkau berdiri
di situlah tanah airmu yang sejati….
2014
TETAPLAH SEPERTI
Tetaplah seperti, mungkin
desau angin, atau puncak gunung
yang menyimpan kisah cerita
tak meninggalkan jejak tapak dan gaung
Karena di tanganmu hanya puisi
tetaplah serupa kata, merawat tanda dan makna
2016
- Ketika jutaan Anak Tersesat di Indonesia: Sajak-Sajak Iman Budhi Santosa - 15 December 2020
- Sajak-Sajak Iman Budhi Santosa; Di Puncak Gunung Bibi - 31 March 2020
Ali akbar
Mengenang itu indah
Amma apri
Indah sekali ❤️