Judul : Perempuan Perkasa; Belajar Praktik Kesetaraan dalam Budaya Suku
Korowai
Penulis : Rhidian Yasminta Wasaraka
Edisi : Pertama, Januari 2019
Tebal : 148 Halaman, 17 x 24,8 cm
ISBN : 978-602-50843-8-6
Kesetaraan gender masih menjadi isu yang terus bergulir di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Dan pandangan Feminisme menjadi corong paling nyaring menyuarakannya. Kesetaraan seolah menjadi hal sangat sulit untuk benar-benar tercipta. Sejak berdengungnya awal kali pada abad ke-18 di Eropa, kesetaraan masih tetap menjadi yang tak pernah usai diperdebatkan, diperjuangkan, dan didiskusikan. Lalu apakah memang kesetaraan hanya akan sampai pada angan-angan saja?
Jauh di pelosok Papua bagian selatan, Rhidian Yasminta Wasaraka menemukan praktik-praktik kesetaraan itu diterapkan dalam keseharian, di sebuah suku terpencil, tepatnya suku Korowai. Penelitian yang telah dilakukannya sejak 2003 hingga 2018 (terhitung 15 tahun) mengenai suku Korowai mendapati beberapa fakta menarik mengenai suku ini, dan yang menarik bagaimana mereka memandang laki dan perempuan tidaklah berbeda, berbagai tugas domestik rumah tangga dan juga kelompok diemban dengan berat yang seimbang.
Dian (begitu sapaan akrabnya) memaparkan informasi penting yang akan meluruskan penilaian saya (boleh juga menggunakan kata ganti kita) mengenai suku Korowai yang telah ditulis dalam banyak artikel di internet. Seperti anggapan bahwa suku ini adalah kanibal dan mengenai isu kelaparan yang seolah menggiring opini bahwa mereka adalah suku yang cenderung pemalas.
Melihat Lebih Jelas
Gambar di atas merupakan salah satu spot shooting dalam seri Human Planet yang diinformasikan sebagai tempat hidup atau rumah tinggal suku Korowai dengan tinggi mencapai kurang lebih 50 meter. Ternyata keliru, Dian memaparkan dalam bukunya rumah tinggal asli suku Korowai tingginya sekitar 4-6 meter dari permukaan tanah, dan yang setinggi 50 meter itu hanya seperti tempat para pemuda untuk bersantai saat siang hari melihat pemandangan sekitar, atau bisa dikatakan tempat kongkow seperti pada masyarakat perkotaan.
Tidak hanya itu, pemberitaan mengenai praktik kanibal yang banyak ditulis tidak disertai latar belakang yang sesuai dengan keadaan sebenarnya, sehingga yang timbul adalah pikiran-pikiran negatif atas Suku Korowai. Walau dalam kenyataannya praktik tersebut memang terjadi, namun ada alasan kuat mengapa mereka melakukannya. Dalam lingkungan tradisional utamanya yang minim tersentuh modernitas, praktik supranatural yang mengarah pada ilmu hitam seperti santet yang akrab pada masyarakat tradisional Jawa, di lingkungan suku Korowai juga ada dan disebut khahua.
Khahua adalah orang yang melakukan praktik perdukunan dan sihir. Orang yang terbukti melakukan khahua akan diberi hukuman mati dan dagingnya layak dikonsumsi, karena dalam kepercayaan suku Korowai orang tersebuat bukan lagi manusia, dan bila jasadnya dikuburkan atau menyentuh tanah maka orang tersebut akan hidup kembali. Maka jasadnya harus dikonsumsi agar tak membuat perkara lagi. Jadi bukan manusia sembarang yang sengaja dibunuh untuk dikonsumsi.
Ketika tahun 2017 lalu diberitakan terjadi kelaparan di Korowai, Dian bertanya-tanya apa hutan sagu yang berhektar-hektar itu mulai berkurang dan tidak lagi mencukupi untuk dikonsumsi, mengingat makanan pokok mereka adalah sagu. Ternyata keadaan sebenarnya karena suku Korowai yang dipindahkan ke kampung-kampung oleh pemerintah setempat dengan tujuan agar lebih mudah terakses mengalami perubahan pola makan. Yang tadinya sagu adalah makanan pokok mereka beralih pada beras dan makanan instan lainnya, Dian menyampaikan situasi ini dengan cukup detail sekaligus beberapa tawaran solusi bagi keberlangsungan suku Korowai. Seakan mengajak saya (boleh menggunakan kata ganti kita) untuk mau melihat lebih jelas dan meluruskan anggapan-anggapan yang cenderung negatif dalam budaya-budaya suku pedalaman yang masih banyak tersebar di Indonesia.
Praktik Kesetaraan yang Sudah Biasa
Judul yang menimbulkan rasa penasaran, ketika kata kesetaraan secara makna dan praktik menjadi yang sedang didengang-dengungkan. Sedang kata itu disandingkan dengan budaya suku pedalaman Papua, suku Korowai. Saya sebagai perempuan yang hidup dalam budaya Jawa dan dididik untuk selalu nrimo, bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang harus dilayani. Perempuan mengurusi segala hal domestik kerumahtanggaan saja (masak, macak, manak) dan laki-laki tak berkepentingan mengenai urusan itu. Seakan tidak ada kemungkinan lain yang bisa dikerjakan perempuan seperti berkarier sesuai kemampuan yang dimiliki misalnya. Saya merasa perempuan dalam posisi inferior, dan kesetaraan menjadi hal yang harus diperjuangkan dengan pengorbanan.
Peran dalam kerumahtanggaan suku Korowai begitu egaliter, istri tak harus melayani suami seperti membuat sarapan atau memasak untuk kebutuhan perut. Suami akan mengerjakan sendiri, karena dalam rumah tinggal keluarga terdapat tungku untuk memasak masing-masing. Dalam urusan ekonomi seperti membuka kebun, menokok sagu, berburu dan memancing, sampai juga membangun rumah baru serta mengasuh anak semua dilakukan secara bersama. Tentu saja berbeda untuk hal yang sifatnya kodrati seperti hamil, melahirkan, dan menyusui yang tidak dapat dibagi dengan laki-laki.
Suku Korowai hanya mengenal sistem kepemimpinan sementara yaitu pada saat pesta ulat sagu diadakan. Dan akan dijabat oleh laki-laki yang disebut Milon dan juga perempuan (Milonelal atau Milonlal) dengan beban pekerjaan yang sama. Sukses tidaknya acara pesta ulat sagu sangat bergantung pada dua pimpinan sementara ini. Sehingga beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi sang pimpinan di antaranya harus berbadan sehat, berperilaku baik, mampu mengendalikan emosi, tenang, dan yang terpenting harus memiliki komitmen untuk menjalani segala ritual selama persiapan pesta ulat sagu.
Dian dalam bukunya dengan serta-merta membuka fakta bahwa kesetaraan sangat mungkin untuk dilakukan dengan mudah.
- Ketika Perempuan Perkasa Ada di Korowai - 20 July 2019
- Tiada Versus - 16 March 2019