Kisah Lelaki yang Kawin dengan Perahu

@avifahve

PESTA perkawinanmu telah usai. Malam gelap, perahu melayap, dan muara telah senyap. Menyisakan bekas kembang tujuh warna yang tercampak serta sisa tujuh rupa makanan yang teronggok. Sebentar kemudian, anjing-anjing liar pesisir mulai menggelar pesta kecil. Barangkali, inilah makan malam gratis tanpa harus bersusah payah mengais sisa makanan dari tempat sampah atau memburu tikus-tikus sawah.

Padahal sebelumnya, di atas geladak papan-papan jati yang cukup luas ini telah terjadi persetubuhan seru yang disaksikan orang-orang dalam ritus dan ritual perkawinan antara kau dan Dewi Asmara. Pergumulan yang dilihat sebagai sebuah adat dan budaya baru di pantai utara laut Jawa, berharap untuk mendapatkan hasil laut yang lebih baik lagi. Sementara Eti—istri yang kaunikahi tujuh tahun silam—ikut menyaksikannya dengan perasaan sukacita. Ia membayangkan seperti keumuman istri-istri tekong[1]; memiliki rumah mewah, mobil baru, menyandang perhiasan emas, dan sedikit berfoya-foya dengan sawer ke artis tarling[2], organ tunggal[3], dan singa depok[4] saat musim hajatan tiba.

“Besok kita akan berlayar. Berbulan madu di atas gelombang. Berburu ikan dan lokan dalam wangi bunga melati setaman. Menghitung karang dan mengejar ombak,” ucapmu kepada istri barumu. Sesekali kedua tanganmu merengkuhnya dengan hangat sekali. Eti pun ikut menghambur ke dalam pelukanmu.

Kau dan Eti menatap Dewi Asmara dengan senyum bahagia. Tubuh Dewi Asmara hampir telanjang dan hanya ditutupi secarik kain putih—tentu saja tak akan dapat menyembunyikan semuanya—seperti halnya perempuan yang telah memberikan mahkota kesuciannya. Di atas riak ombak di muara, ia tertidur kelelahan disapu angin pesisir yang mendesir di kampung nelayan. Barangkali tubuhnya yang masih menguar harum kayu jati itu sudah tidak merasakan lagi saat belasan anjing-anjing itu menginjak-nginjaknya, kencing di situ, bahkan juga kawin beramai-ramai, berkali-kali hingga pagi hari.

1/

SURUT seperti ombak laut, beberapa tahun yang telah lewat. Perahumu terombang-ambing setelah badai mematahkan tiang layar dan kemudi. Bahkan, bagian haluan pun retak. Sepuluh hari lamanya, kau dan awak kapal seisinya hanya menunggu perahu terdampar entah di pulau apa namanya. Yang jelas di situ tak satu pun ada berpenduduk. Perburuanmu tak menghasilkan apa-apa, kecuali ikan-ikan kecil yang hanya cukup untuk mengisi perut beberapa hari saja.

Peristiwa seperti itu sudah bukan sekali dua kali bahkan seperti kebiasaan. Maka tak heran saban perahumu mencium daratan, satu dua awak kapalmu memilih berpindah perahu—mencari perahu yang lebih alongan[5]. Dan setelah itu kau hanya ditemani Ruslan dan beberapa awak kapal baru, berlayar meneruskan perburuanmu.

Selanjutnya, perahumu kau perbaiki. Mencari jalan pulang ke muara kekecewaan. Kau pun mendapat marah dari majikanmu karena dianggap tak becus membawa perahu. Padahal, setiap kali seorang nelayan melaut, ada harapan besar yang dipikul di pundak. Mendapatkan ikan-ikan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup keluarga.

Kehidupan kaum pencari ikan sekarang sudah tidak bisa dikatakan sederhana lagi. Ada semacam persaingan dalam hal materi yang cukup tinggi. Terlebih setelah nelayan sudah menggunakan sistem gaji, dibayar dengan sebuah kontrak kerja, fasilitas perahu yang sudah mirip dengan rumah, dan bayaran yang sangat tinggi menjadi tekong dari pemilik kapal-kapal orang-orang etnis tionghoa dari Cina, Thailand dan Singapura.

Maka kau pun mencari jalan tahu. Penyebab yang mengakibatkan keadaanmu demikian. Kau tak ingin lagi menjadi nelayan zaman bapak dan kakekmu dulu; tak menghasilkan apa-apa sehingga tak sanggup menyekolahkan anak-anaknya. Padahal sekarang, untuk menjadi tekong paling tidak berijazah SLTA atau sederajat.

Di sinilah kemudian beredar kabar, jika ingin tangkapan ikan lebih banyak maka harus mengawini perahu. Agar ada hubungan batin antara nakhoda dan kapal.

“Apa hal itu dapat dipercaya, Ruslan?” tanyamu menyelidik.

“Apa salahnya kalau dicoba, Kang,” bujuk Ruslan.

“Kaulah saksinya, Ruslan, kita sudah banyak mencoba hal-hal untuk meningkatkan hasil melaut kita. Dari yang bersifat fisik maupun metafisik,” tukasmu. “Lalu hasilnya?” Kau berbalik bertanya kepada awak kapalmu yang paling setia itu. “Hampir dikatakan tak ada.”

“Barangkali ini upaya kita yang terakhir, Kang,” kilah Ruslan membujuk.

“Terakhir?” tanya kau meyakinan.

“Iya, Kang.” Dengan mantap Ruslan menjawabmu.

“Baiklah,” ucapmu membulatkan tekad.

2/

RUMAH yang dicari tidak seperti apa yang kau pikirkan. Lupakanlah perihal kesederhanaan dan kampung terpencil dari tempat tinggal dukun, paranormal, atau ahli supranatural. Sekarang  mereka serupa raja di istana yang dibuat sendiri.

Kau dan Ruslan segera disambut seorang lelaki yang biasa dikenal dengan nama aba Darip dengan hangat layaknya saudara yang baru bertemu. Ia baru saja pulang bekerja dan masih mengenakan pakaian dinasnya di sebuah kantor kecamatan. Kemudian bercakap-cakap seperti halnya obrolan santai.

“Kami ada sebuah kepentingan sehingga datang kemari,” ucap Ruslan memulai.

“Silakan diminum dulu es teh manisnya,” aba Darip mempersilakan kedua tamunya. Sepertinya ia tak mendengar dengan baik ucapan Ruslan.

Inggih, terima kasih, Aba,” ucapmu sambil memberi isyarat pada Ruslan untuk meneguknya.

Setelah beberapa tegukan, kau pun mengulang ucapan Ruslan kepada aba Darip yang juga minum es teh manis sambil menyalakan AC utuk mengusir sisa gerah musim kemarau. Tapi buru-buru tangan aba Darip mencegahmu mengulang perkataan Ruslan.

“Aba sudah tahu dan mengerti. Jadi tinggal kapan waktunya?” tanya aba Darip.

“Aba sudah tahu?” tanya kau penasaran.

“Tentu saja. Sediakan saja segala sesuatunya. Mengawini perahu sama seperti mengawini perempuan. Ada calon pengantin, saksi, wali, dan mahar.”

Kau dan Ruslan terkejut, kemudian saling pandang. Ada keheranan yang menyelinap di pikiran lalu menjadi kagum. Namun tak ada waktu untuk membicarakannya.

 “Apa ada persyaratan yang lainnya, Aba?”

“Tentu saja ada. Kau ingin berapa lama?”

“Tahun ini bisa?”

“Tentu. Tapi kau harus membayarnya.”

“Berapa?”

“Bukan dengan uang.”

“Lantas?”

“Umurmu.”

Kau tercenung begitu juga Ruslan. Namun, kau sudah merasa kepalang basah. Pantang untuk mundur.  Sekali layar terkembang, surut kita berpantang.

3/

HAMPIR tiga bulan perahumu tak menyentuh daratan. Berlayar ke selat Karimata, Makasar, Bali, hingga perbatatasan perairan utara Indonesia mengarungi lautan mencari ikan, cumi, dan lokan.

Di lautan, Dewi Asmara menari-nari demikian lincahnya. Ia serupa Jung Java yang terkenal itu. Riak menampar lambungnya dengan halus. Ombak mengangkat ia melonjak, ombak surut, ia berturut. Seperti ada keharmonisan yang tumbuh dengan sendirinya. Kau pun memperlakukannya demikian mesra seperti pengantin baru. Maka perburuan pun menjadi lebih bergairah. Awak kapalmu pun terpengaruh, mereka yang berjumlah belasan orang seolah menemukan ada nyawa dalam perahu mereka.

“Sungguh kau serupa kuda laut, Dewi Asmara,” ucapmu kala bercinta di laut.

Ruslan dan awak kapal yang lain merasa heran, seakan perahu mereka memasuki lautan ikan. Seluruh mesin pendingin penyimpanan ikan penuh. Bahkan sebagian geladak digunakan untuk menampungnya.

“Tekong kita ini jempolan.”

“Pulang kita bisa beli motor, mobil, atau bahkan sawah.”

Semua bergembira. Bahkan ketika sudah di daratan mereka disambut dan dielu-elukan oleh keluarga dan sanak keluarga sebagai pahlawan.

4/

INI sudah tahun kelima. Ruslan tidak lagi bersamamu, menjadi tekong muda yang sedang menanjak. Kau sendiri telah bergelimang harta. Eti sudah memberikan dua keturunan untukmu; anak lelaki dan perempuan. Keinginan dan cita-cita untuk hidup mewah di tanah pesisir terasa begitu manis. Di mana ada panggung organ atau tarling, namamu tak pernah libur disebut walau sedang tanggal merah.

“Ayo, Bos tekong, sawer lagi.”

Di sepanjang jalan pantura tempat arak-arakan pengantin sunat naik singa depok, nama istrimu disebut ratusan kali oleh penyanyi berpenampilan seksi itu.

“Digoyang lagi. Sawer lagi, Yayu Eti,” sebutnya. Lagi dan lagi.

Rumahmu tergolong mewah dengan perabot yang serba mahal sebagaimana rumah-rumah tekong. Juga kendaraan yang terparkir walau hanya saban pagi menyala untuk dipanaskan tanpa pergi ke mana pun.

Kehidupan nelayan sekarang sungguh telah berubah. Tidak lagi berhemat-hemat seperti zaman bapak-bapak mereka. Pendapatannya sudah lebih baik. Semenjak kapitalisasi masuk, para nelayan banyak meninggalkan juragan lokal untuk berlomba-lomba bekerja pada kapal-kapal asing. Anggapannya merasa lebih nyaman dengan sistem gaji tetap, tapi masih bisa mencari sampingan dengan memancing ikan di sela waktu istirahat selesai bekerja dan kemudian dijual kepada tekong.

Maka menjadi tekong semacam gairah baru bagi para nelayan. Bukan perkara materi semata, tetapi ada kebanggaan di dalamnya. Untuk itulah, para tekong yang menyakini kepercayaan tertentu termasuk kawin dengan perahu, agar hubungan nakhoda dan kapal harmoni dan sinergi.

5/

RUSLAN gemetar di kursi goyangnya. Kepulangannya dari laut ternyata hanya untuk mengantar jenazah bekas tekongnya ke pekuburan. Ia menyaksikan Eti dan kedua anaknya menangis sedih di atas gundukan tanah yang lembap. Kau ditemukan mati mendadak tanpa bisa dijelasan secara medis.

Dalam hatinya Ruslan gelisah. Ia tak menyangka jika apa yang pernah ia usulkan tentang mengawini perahu akan berakhir seperti ini. Kesepakatannya dengan aba Darip pun tinggal menunggu beberapa tahun lagi. Dilihat istri dan anak-anaknya tertidur di depan televisi tanpa sempat mematikannya.

Ah, bukankah soal umur sudah ada yang mengatur, ucapnya seraya mengusir kecemasannya dengan mematikan saluran televisi. Saat kakinya melangkah mendekati terminal untuk mencabut colokan, ia merasakan tangannya seperti ditarik oleh kekutaan yang sangat besar. Ruslan berjuang melepaskannya, tapi sengatan itu bertambah lagi. Tubuh Ruslan hangus dan kaku. Setelah itu terdengar suara gaduh di rumahnya. Ruslan tewas. []

Indramayu, 2018

 

 

[1] Sebutan nakhoda di pantai utara laut Jawa khususnya di pesisir Indramayu.

[2] salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon.

[3] pentas musik di atas panggung dengan menggunakan Organ yakni alat musik besar seperti piano yang nadanya dihasilkan melalui dawai elektronis.

[4] Sisingaan; odong-odong; sisingaan reog.

[5] Menghasilkan.

Faris Al Faisal
Latest posts by Faris Al Faisal (see all)

Comments

  1. Anonymous Reply

    Mantul bosku

  2. Anonymous Reply

    Nice story

  3. Anonymous Reply

    Masuk pak eko

  4. Mas Penan Reply

    Gagal fokus

  5. Anonymous Reply

    sepertinya based on true story…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!