Kisah Pertemuan Tokoh Utama sampai Cerita Ini Usai

Perempuan itu muncul mengenakan celana panjang dan kaus putih serta tanpa rias wajah. Ia tampak lebih pantas menyongsong sebuah bus Transjakarta ketimbang sebuah wawancara untuk kisah sampul muka sebuah majalah.

Si pewawancara, adalah Kharisma, lelaki tampan dari majalah Metropolitan. Majalah bulanan dalam edisi cetak yang masih terbit teratur dan mewah dalam segala kondisi. Kharisma sampai sempat sedikit terpana. Tentu saja ia terpana, tak dinyana, perempuan yang selalu tampil hebat, memesona dan berukuran besar di layar lebar dengan bolamata hijau bak peri itu, ternyata sedemikian mungil di matanya.

Di awal, perempuan berbolamata hijau itu terkesan pendiam, amat pendiam. Bahkan, Kharisma melihat pribadinya tebersit sikap agak peragu.

Setelah memastikan protokol kesehatan telah dilakukannya dengan benar, yaitu: Kharisma telah melakukan swab antigen dengan hasil negatif sehingga narasumber merasa nyaman saat ditemui, lantas mencuci tangan sebelum masuk ke rumahnya, menjaga jarak saat mewawancarainya, dan tentu memakai masker, barulah wawancara dimulai.

Selama tiga jam berbincang-bincang, Kharisma harus memperingatkan diri sendiri. Perempuan bertubuh mungil, berbolamata hijau, dan berambut dicat pirang yang duduk di sofa sambil mempermain-mainkan botol air mineral itu, adalah benar-benar Kinan Ranti. Ia adalah bintang film tenar yang sedang naik daun yang menyabet Piala Citra sebagai Aktris Pendukung Terbaik dalam film “Aku Kesepian Sayang. Datanglah Menjelang Kematian”. Sebuah film yang judulnya diambil dari judul buku karya sastrawan kondang, Seno Gumira Ajidarma. Ia juga diunggulkan merebut gelar Aktris Terbaik Piala Citra, berkat akting cemerlangnya sebagai Drupadi di dalam film berjudul sama, “Drupadi”. Tentu film ini masih dari novel Seno Gumira Ajidarma.

Para tetangga yang tinggal dekat rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, juga sering merasa tak percaya bahkan ada yang nyinyir. Kok, penampilan Kinan yang nyaris biasa-biasa saja, terutama gaya rambutnya yang dicat pirang sederhana dan selalu memakai lensa kontak berwarna hijau bisa menjadi artis termasyhur seperti saat ini? Namun memang keunggulan Kinan adalah pada matanya yang berwarna hijau sungguhan dengan tulang pipi yang menonjol tinggi. Begitu tinggi, hingga hampir-hampir menjadi kekurangannya. Namun, justru sempurna bila dibidik lensa kamera.

Apalagi ditunjang oleh sikap dan kepribadian perempuan yang pernah menjadi pelayan di sebuah restoran cepat saji asal Amerika ini. Kinan pemberani, mandiri, penuh humor dan punya kiat tegar untuk meraih cita-cita dalam berkarier. Meski di mata Kharisma ia kini terlihat amat sangat mungil dan pendiam. Kelak kesan tersebut akan lenyap begitu saja ketika wawancara mulai memasuki menit ketiga puluh hingga berakhir.

Bahkan, sebuah majalah gaya hidup daring memuji Kinan terang-terangan, “Anda bisa berhitung dengan 5 jari. Jumlah aktris yang betul-betul cantik, cerdas, dan seksi. Punya pesona, berbakat, dan serba bisa. Pasti, Kinan Ranti termasuk jenis langka ini. Lebih-lebih, ia berani mengingkari gemerlap gaya hidup kaum selebritas metropolitan.”

Kharisma memulai wawancara ini dengan bertanya perihal masa kecil Kinan hingga ia remaja. Dengan gamblang Kinan menjawab segala pertanyaan Kharisma.

Kinan lahir di Berlin, Jerman, kemudian tumbuh besar di kota berhawa dingin itu. Ini akibat mengikuti ayahnya yang seorang pengusaha industri pesawat terbang. Begitu yang ia tahu tentang profesi ayahnya.

Ia katakan pada Kharisma, bahwa dulu ia sering merasa sunyi dan kesepian, semasa bocah ia menciptakan sebuah dunia fantasi. Ia kerap mereka-reka sebuah keluarga idaman: Ayah yang Serba Tahu dan Bijak dengan setelan bagus yang pulang kerja menemui si Ibu Fantasi yang bercelemek apik, dengan anak-anak yang berkelakuan santun di dalam suasana bahagia.

Sebagai pewawancara tentu Kharisma sangat penasaran dengan ‘keluarga fantasi’ yang menjadi idaman Kinan. Namun Kharisma tidak menanyakan lebih lanjut.

Lantas Kharisma bertanya soal pendidikan Kinan. Kinan bersekolah TK, SD, SMP hingga SMA di Berlin, Jerman. Selepas sekolah menengah atas, Kinan ingin hidup mandiri dan keinginan terbesarnya kuliah di Indonesia. Beruntung ia mendapat beasiswa jurusan seni rupa di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Namun ia drop out, ia tak menamatkan pendidikannya di jurusan seni rupa. Ia pindah ke Jakarta karena mendapat tawaran bekerja di sebuah rumah produksi ternama di ibu kota.

Kinan belajar pantomim di Taman Ismail Marzuki, Cikini. Seusai itu, ia menekuni seni tari modern, akting, dan melukis. Ia pun banyak bergaul dengan seniman dan sastrawan ibu kota. Ia banyak terlibat aktivitas seni budaya. Bekerja sebagai pekerja seni, tentu ia akan mendapat penghasilan apabila ada pertunjukan atau pementasan yang dihelat. Agar memperoleh uang dari sumber lain, ia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran cepat saji berkat referensi dari seorang manajer operasional restoran itu yang juga seorang penulis cerpen.

Pada akhirnya, ia benci bekerja sebagai pelayan restoran. Pasalnya ia merasa kurang becus melakukan pekerjaan yang penuh basa-basi dan harus memperlakukan pelanggan layaknya raja yang tak pernah salah.

Kharisma tersenyum mendengar pengakuannya, dan membayangkan sang cerpenis yang sampai saat ini masih bekerja di dunia restoran sembari sesekali sang cerpenis yang manajer itu menulis cerpen untuk media.

Lepas bekerja sebagai pelayan selama satu tahun di restoran cepat saji, Kinan mendapat tawaran bermain film. Kesempatan ini adalah kesempatan pertamanya, main film.

“Pertama kali syuting film, rasanya selangit! Saat itu aku betul-betul hijau dan buta tentang dunia film. Ketika film perdanaku diputar, baru aku sadar. Aku kecewa dan sedih sekali. Mau-maunya aku main seperti itu di film itu!”

Kinan menambahkan, “Aku dibayar murah untuk film itu. Meskipun demikian rasa kecewa dan sedih itu kubuang jauh-jauh.”

Memang, bukan sebuah kenangan manis bagi seorang aktris penyabet Piala Citra ini. Kharisma membayangkan betapa konyolnya Kinan. Ia mengawali karier sebagai pemain film dengan peran seorang perempuan penari erotis di sebuah kelab malam dan hanya berbikini. Penuh gairah ia harus meliuk-liuk, mendekap tubuhnya sendiri yang molek, serta terpekik dan bergelinjangan di atas panggung kelab malam agar pengunjung merasakan sensasi berahi.

Akan tetapi film itu laris dan sukses sebagai film box office. Produser film memberi Kinan kontrak 3 tahun untuk beberapa produksi film ke depan. 

“Kukira, aku harus bersyukur. Kontrak itu memberiku penghasilan. Aku bisa studi akting di IKJ dan tentu tak usah menjadi pelayan restoran cepat saji,” ungkap Kinan.

Kinan kemudian bermain dalam sejumlah film nasional. Beberapa kritikus film sempat memberikan lontaran kritik yang tajam, bahkan kritikus Adinan, nama kritikus ini memang sama dengan nama tokoh cerpen karya Budi Darma, “Kritikus Adinan”, mengatakan Kinan tak berbakat di dunia akting. Kinan hanya bermodalkan tubuh yang seksi dan wajah yang unik belaka karena bermata hijau serupa peri dari dunia dongeng.

Kinan berhenti berbicara untuk sesaat. Ada semacam cairan bening yang bergelayut di kedua bolamatanya. Lontaran kritik kritikus film Adinan justru memicu dirinya untuk terus belajar akting secara mumpuni.

Namun ada seorang bernama Bambang Subali Budiman, lagi-lagi nama ini kebetulan sama dengan nama tokoh ganjil dalam cerpen karya Budi Darma. Bambang Subali Budiman sutradara kondang yang juga penari dan koreografer, punya pendapat lain tentang Kinan. Baginya, Kinan tidak sekadar cantik dan seksi saja. Tetapi juga berbakat alamiah, dan penuh humoris. Sehingga Kinan pun sangat cocok untuk berperan dalam film komedi. Keduanya berjumpa, berteman dan kelak juga bercinta. Tapi hubungan Kinan dengan Bambang Subali Budiman berakhir begitu saja, entah tersebab apa. Berkat Bambang, Kinan segera beroleh peran dalam sebuah film besutan sutradara Bambang Subali Budiman itu.

Kinan mulai naik daun, ketika ia memerankan istri simpanan seorang menteri di masa orde baru yang sangat terkenal. Yang menjadi pemeran menteri adalah aktor Parang Jati, nama aktor ini memang sama dengan nama tokoh dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami. Yang jelas aktor Parang Jati lahir duluan sebelum novel Bilangan Fu terbit.

“Adegan-adegan bercinta yang ditangkap kamera, amat membara,” kata Kinan tersipu. Sampai-sampai berembus gosip, “Jangan-jangan di luar film, aku dan Parang Jati ada main,” lanjut Kinan sembari tersenyum malu dengan pipi merona merah.

Kharisma tahu persis dari pemberitaan, Kinan berhasil menepis semua gosip itu dengan sangat elegan dan profesional.

Tahun ini memang adalah masa gilang-gemilang bagi Kinan meski saat itu pandemi Covid-19 masih meluluhlantakkan semua sendi kehidupan manusia di muka bumi. Ia diunggulkan merebut beberapa penghargaan film di dalam dan luar negeri.

“Mengapa kau begitu berambisi menjadi seorang aktris, hingga belum memiliki seorang kekasih atau mungkin rencana menikah?” tanya Kharisma lugas.

 “Karena sejak kecil aku gemar berkhayal, dan aku sangat yakin bahwa seni akting erat kaitannya dengan imajinasi,” ujarnya tandas, tanpa menjawab pertanyaan Kharisma tentang kekasih atau rencana menikah.

Senyum Kinan memekar ceria, memantulkan rasa puas dan bahagia di akhir wawancara dengan Kharisma. Di usia 35, Kinan cenderung tenang. Ucapannya arif dan bijaksana, ia sempat mengutip sebuah peribahasa India kuno, “Bila Anda sudah melihat sebuah sungai, Anda telah melihat semua sungai.”

Lagi-lagi perempuan itu membuat Kharisma terpesona.

***

Penuh Kharisma adalah seorang jurnalis, menurut beberapa teman kantor, tutur kata Kharisma halus, meski berlogat Makassar. Kharisma seorang pekerja keras dan cerdas. Dengan berat badan 68 kg, dan tinggi badan 178 cm, tubuh Kharisma tampak proporsional, atletis, dan tentu saja menarik karena wajahnya pun tampan. Rambutnya ia potong pendek layaknya seorang perwira menengah TNI. Kulitnya berwarna sawo matang bersih, cukup kontras dengan kemeja berwarna biru kesayangannya yang dikenakannya.

            Saat ini ia mengalami kejenuhan melampaui ambang batas. Tak bergairah lagi ia melakukan tugas-tugas rutin sebagai seorang jurnalis di majalah Metropolitan tempatnya bekerja. Semuanya terasa membosankan.

            Ia sering merasa bingung sendiri kenapa timbul kebosanan yang teramat menyiksa ini. Padahal secara umum, meski masih sendiri, tidak memiliki teman dekat, dan apalagi kekasih, ia berkecukupan. Cukup mapan untuk menikmati hidup. Meski terkadang ia merasa hampa, semacam ada ruang kosong di relung hatinya. Apalagi kerap beberapa potongan kenangan masa kecil mendadak berkelebat dalam benaknya.

            Dalam kejenuhan ini, ia mendapat tugas dari pemimpin redaksi majalah Metropolitan untuk mewawancarai seorang aktris terkenal, pemenang Piala Citra, penghargaan film yang sangat bergengsi di tanah air, dan ia adalah kandidat beberapa penghargaan film dalam dan luar negeri. Profil aktris ini akan menjadi kisah sampul muka majalahnya bulan depan.

***

Beberapa minggu usai mewawancarai Kinan Ranti, nama aktris itu, dengan kemeja biru kesayangan Kharisma. Hari-hari Kharisma dilaluinya bersama Kinan tanpa bosan, seperti halnya dengan rata-rata pasangan kekasih yang baru jadian, mereka menghabiskan waktu berjalan-jalan di mal, menyusuri toko-toko buku, kadang-kadang bersantap di restoran, namun lebih sering mereka berdua tinggal di rumah. Bercinta, membaca buku, mendengarkan musik, menonton televisi, atau nonton film-film yang Kinan bintangi, lantas bercinta lagi dan lagi dan lagi.

Pada suatu malam yang hangat, Kharisma bercinta dengan Kinan. Jantung Kharisma berdetak lebih cepat ketika Kinan menanggalkan bra dan celana dalamnya, tubuh Kinan begitu seksi, dan dengan buas Kinan mendekati Kharisma di ranjang. Mendadak udara di sekitar mereka terasa berat sekaligus hangat.

Mereka berpelukan, bersetubuh, dan menggeram karena kenikmatan yang tiada tara. Dan saat mereka mencapai klimaks bersama, mereka meraung penuh gairah.

Saat tubuh Kinan masih terguncang-guncang pelan, ponsel Kinan bergetar.

“Telepon dari ayahku,” kata Kinan pelan.

Kinan menjawab telepon sambil tersenyum. Dalam senyum ia melirik ke arah Kharisma.

“Ada apa?”

“Ayah memintaku video call,” ucap Kinan sambil menutup telepon.

“Sebentar, aku rapikan dulu diriku,” balas Kharisma sambil buru-buru menyambar celana dan kemejanya. Kinan tertawa terkikik-kikik melihat kelakuan Kharisma yang tergopoh-gopoh memakai celana dan kemeja.

Ponsel Kinan kembali bergetar. Video call dari ayahnya.

“Dia memang tak sabaran,” gerutu Kinan menatap layar ponselnya seraya menekan tombol jawab.

Kharisma tak tahu apa yang paling membuatnya terkejut dari tampilan gambar wajah seorang lelaki paruh baya pada layar ponsel Kinan, ketika lelaki paruh baya itu baru saja menyapa putrinya, “Hai, peri bermata hijauku!”

Tubuh Kharisma bergidik, gemetar. Kharisma merasa seolah ia terjatuh lantas terperosok ke dalam lubang paling gelap yang dalam. Kharisma merasa tercekik, ia berjuang dan berusaha menenangkan dirinya, agar tidak muntah atau mengumbar amarah.

Kharisma segera menutup wajahnya, dan berbisik meminta izin ke toilet. Sementara Kinan dan ayahnya melanjutkan percakapan video yang sempat terjeda.

Di seberang sana, seorang lelaki paruh baya mampu menutupi kecemasannya, lelaki itu adalah ayah Kinan.

Sejak itu, Kharisma tak pernah kembali dari toilet. Kharisma berlari menuruni tangga rumah Kinan. Kharisma masih bertelanjang kaki, ia belum sempat memakai sepatu. Ia memacu mobilnya dari pekarangan rumah Kinan menuju ke arah entah.

Kharisma menghilang begitu saja dari kehidupan Kinan.

Sampai cerita pendek ini usai kedua tokoh utama dalam cerita pendek ini tak pernah bertemu lagi, dan pembaca tak pernah tahu konflik seperti apa yang terjadi dalam kisah ini. Menyebalkan, bukan? ***

Jakarta, 01 Januari 2022

Bamby Cahyadi

Comments

  1. Aiu Ratna Reply

    Benar-benar menyebalkan!

  2. Anita Reply

    Bacanya sdh seperti mendribel bola basket, tapi bolanya gak jd di masukin ke ring… nyebelin emang 😖

  3. Ren Reply

    Mantul endingnya menyebalkan

  4. shabila Reply

    kharisma kamu kemana?

  5. ADYANA AJENG RATWULAN Reply

    endingnya,,bikin paradoks…
    saya suka pada setiap baris paragraf,penulis mengaitkan dengan literasi nama nama novel yang sering dibacanya dalam buku ini

  6. Melii Reply

    Udah serius-serius baca, endingnya bikin kesel banget. Kamu kenapa Kharisma??? ToT

    • Admin Reply

      sabar, kak 🙁

  7. Dewi Setyowati Reply

    Aku sudah berprasangka terhadap mereka bertiga… aaah ..sebaal..

  8. sa Reply

    WAAAHH bisa-bisanyaa endingnya nyebelinn hahaha.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!