Kompleksitas Kasih dalam Ave Maryam (2018)

“Saya berdosa, saya berdosa…,” begitu para biarawati di gereja Katolik mengulangi doa pengakuan dosa romo pendeta. Salah satu dari biarawati itu adalah Maryam (Maudy Koesnaedi). Ia bukan yang paling muda di antara para biarawati—usianya akan mencapai 40 tahun. Maryam juga bukan biarawati yang paling menonjol karena semua biarawati punya peran dan tugasnya masing-masing di asrama. Maryam hanya biarawati biasa, tidak lebih. Namun, ada satu hal yang membuat pesona dan anggunnya Maryam tak terelakkan—hal itu yang kemudian berhasil ditangkap oleh mata Romo Yosef (Chicco Jericho). Yosef adalah pastor muda yang besar di lingkungan yang sama, dibesarkan oleh Suster Monic, biarawati sepuh yang menjadi tanggung jawab Maryam di asrama. Maryam yang mestinya berkonsultasi dengan Yosef perihal perawatan Suster Monic (Tuti Kirana) malah lebih sering tercenung melihat betapa karismatiknya Yosef memimpin latihan orkestra. Berkali-kali Yosef mengajak Maryam keluar di malam hari, ada kegigihan dan harapan antara mereka untuk mengenal satu sama lain lebih dekat. Maryam tentu awalnya menolak, tapi akhirnya, ia luluh juga.

Ave Maryam secara umum adalah tentang dua orang yang tidak boleh jatuh cinta mesti akhirnya saling mencintai—sebuah premis yang sebenarnya sangat umum dalam film drama atau tragedi. Premis yang sederhana dan terasa umum ini mampu dibalut dengan cara orisinal dengan tema dan latar yang jarang sekali diangkat oleh perfilman Indonesia. Kekuatan pembangunan latar belakang yang matang ini membuat Ertanto Robby Soediskam sukses menjadikan  Ave Maryam ikonik—bahkan sejak dari trailer-nya beredar di media sosial akhir September lalu. Sudah lama tidak ada film Indonesia yang mengangkat isu keagamaan tanpa ada unsur menceramahi, apalagi yang dibawa adalah masalah di lingkungan salah satu agama minoritas terbesar di Indonesia.

Film ini mengingatkan saya pada suasana yang dibawa oleh film Soegija (2012) dengan latar lokasi yang bahkan berada di area yang sama. Bedanya terletak pada perspektif film yang diambil. Soegija mengangkat tema kepahlawanan dan tentu berfokus pada perjuangan dengan cara seorang pendeta besar sementara  Ave Maryam menurut saya jauh lebih berani. Ertanto berfokus pada unsur gereja yang kelihatannya monoton dan tidak menonjol, lingkungan biarawati. Justru, cerita dari sisi biarawati membuktikan bahwa kelompok yang kelihatannya sangat taat dan tidak neko-neko, ternyata ada pergolakan batin yang penting untuk dimengerti dalam keseharian mereka. Bahwa mengabdi jiwa dan raga pada sebuah institusi—khususnya keagamaan—adalah hal yang tidak pernah main-main. Walau didasari oleh cinta kasih, tetapi tetap perlu pemikiran sangat matang dan kekuatan yang sungguh besar untuk terus menaati janji.

Alur yang disajikan sangat alami dan perkembangan karakternya berjalan dengan peningkatan yang berarti, bahkan di setiap menit. Ertanto berhasil menghidupkan momen dramatis sebagaimana mestinya. Maksudnya, sudah hampir pasti sebuah rentang cerita film menceritakan tentang kehidupan satu tokoh sentral dan sebuah kejadian atau seseorang “mengganggu” hari-harinya—yang kemudian mengubah alam rasa sang karakter sentral tersebut. Dalam drama ini, Maryam yang hidup sehari-hari sebagai biarawati dengan rutinitas tanpa variasi kemudian harus bertemu Romo Yosef—seseorang yang kemudian membawanya pada titik balik penting dan memberi warna lain memasuki usia 40 tahun. Perkembangan tiap karakter terasa sekali menit demi menit. Perasaan dibangun pelan sekali tetapi alur ceritanya tidak lambat. Seakan-akan penonton digiring kepada rasa bahwa cinta itu tidak bisa dibangun dalam sekejap, ia perlu waktu, keterbukaan, dan keinginan untuk bersama.

Pemilihan dialog yang digunakan dalam komunikasi antarkarakter juga beragam. Didominasi oleh percakapan sehari-hari yang sangat terjaga dan berhati-hati, graceful. Lalu, inner monologue dan percakapan antara Maryam dan Yosef disajikan melalui diksi-diksi puitis. Biasanya saya meringis geli kalau mendengar metafora yang sengaja untuk memperindah dan tebar pesona, tapi entah kenapa, kalimat liris yang diucapkan baik Maryam atau Yosef memang sesuai konteks. Kata dan visual berpadu dengan indah dan saling menghidupkan cerita.

Bicara soal visual, sinematografer Ical Tanjung memang tidak ada duanya. Menurut saya, Ave Maryam menjadi salah satu film paling indah secara pengambilan gambar yang pernah saya tonton berkat tangan dinginnya. Sudut pandang yang diambil bahkan menyajikan simbol-simbol kompleksnya perasaan Maryam dan Yosef. Misalnya gambar tangga memutar yang diambil secara bird view, di mana Maryam dan Yosef menaikinya bersama-sama. Pengambilan gambar juga sering menerapkan rule of thirds, yang membuat kita jadi semakin ingin memperhatikan sang tokoh sentral secara lebih mendalam—di sisi lain menempatkan para tokoh sebagai bagian dari dunianya secara utuh. Satu hal yang paling menarik perhatian dari pengambilan gambar sebenarnya adalah tone warna yang dipilih. Saya sangat merasakan keteduhan dari pemilihan suasana gambar yang tidak begitu cerah, dengan cenderung didominasi oleh nonwarna (cokelat, putih gading, abu-abu), bahkan hal yang mestinya berwarna kebiruan atau kekuningan seperti dikurangi saturasinya. Bisa jadi ini simbol bahwa keberwarnaan cinta yang tidak boleh menjadi terang, atau semata mengikuti inspirasi sang sutradara yang memang menjadikan film-film Wong Kar-Wai sebagai acuan karya pribadinya.

Jika boleh disimpulkan, film ini akan melampaui ekspektasi setiap kita yang sudah menonton trailer-nya. Tentu saya tidak heran untuk film sebagus ini bisa melihat antrean penonton Ave Maryam sampai membludak di Empire XXI kala Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018, hingga perkiraan saya bisa memenuhi jumlah kapasitas dua studio—apa daya, tiket umum hanya tersedia delapan belas. Tidak ada yang rela melewatkan pemutaran perdana  Ave Maryam, bahkan ada yang sengaja datang jauh-jauh.

Ertanto mengaku bahwa film ini termasuk low budget dan merupakan “proyek sedekah”. Yah namanya orang niat sedekah, biasanya balasan Tuhan jauh berkali-kali lipat bukan? Selain menjadi film yang merefleksikan tema JAFF 2018 dengan sangat tepat, buat saya, Ave Maryam menancapkan standar baru dalam genre drama Indonesia. Film yang mampu menggugah Kasih dalam diri kita. Kasih yang tidak selalu indah, tapi juga bisa menjadi mencipta disrupsi dan menimbulkan berbagai pertanyaan tentang bagaimana mestinya kita menjadi manusia.

Jarak terjauh dalam sebuah hubungan cinta di Indonesia memang perbedaan agama, tetapi ternyata jauh lebih menyesakkan yang semua halnya sudah sama tetapi tetap tidak bisa bersatu juga. Dapatkah Kasih Tuhan mewujud dalam kasih manusia? Jika Tuhan ingin kita saling mengasihi, kenapa Tuhan memberi kita sekat-sekat dalam menyebarkan kasih-Nya? Apa jika cinta untuk manusia adalah dosa, semestinya kita tidak perlu merasakannya? Mari mbrebes mili.

Gladhys Elliona
Latest posts by Gladhys Elliona (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!