
Komunitas Tuli mulai menunjukkan eksistensinya sebagai kelompok minoritas linguistik-kultural dan melawan dominasi sosial mayoritas dengar terhadap konsep identitas mereka.
Pada 7 Januari lalu, salah satu media berita daring memublikasikan sebuah artikel dengan judul yang menimbulkan kontroversi di kalangan komunitas Tuli. Kini, artikel tersebut sudah di-take down karena viralnya konten yang berisi kritik dan protes dari komunitas Tuli di media sosial. Artikel tersebut memberitakan bahwa ada sebuah sekolah luar biasa (SLB) di Jawa Barat yang menerapkan kurikulum berisi pelarangan penggunaan bahasa isyarat di sekolahnya alias komunikasi total. Murid-murid di sekolah tersebut hanya diajarkan untuk berbicara dan membaca gerak bibir atau oral. Ironisnya, media menganggap hal itu keren. Bagi komunitas Tuli, pelarangan penggunaan bahasa isyarat di SLB dapat dikatakan sebuah bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi Tuli sebagai manusia. Peristiwa tersebut menjadi sebuah awal bagi saya untuk menulis artikel tentang komunitas Tuli hingga kemudian muncul sebuah pertanyaan: apakah komunitas Tuli masih relevan untuk dikategorikan sebagai kelompok disabilitas?
Ada pendekatan yang sangat berbeda untuk mengajarkan anak-anak Tuli. Pertama, pendekatan linguistik-kultural yang menegaskan bahwa penggunaan bahasa isyarat Indonesia sebagai bahasa ibu untuk Tuli dan bersifat alamiah. Sejarah mencatat, bahasa isyarat sebagai bahasa komunitas Tuli tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana untuk mentransmisikan warisan kekayaan budaya yang berpusat pada kehidupan dan pengalaman Tuli.
Kedua, pendekatan oralis yaitu mengutamakan anak-anak Tuli untuk masuk ke masyarakat yang didominasi oleh orang “dengar” dan mengajar si Tuli untuk bisa berbicara dan membaca gerak bibir. Namun, mereka juga harus berhadapan dengan beragam kesalahpahaman dan miskomunikasi serta hantaman stereotip dari masyarakat dengar. Sebagai akibatnya, Tuli akan diabaikan jika tidak bisa memahami pembicaraan orang-orang dengar yang menggunakan bahasa verbal. Fenomena tersebut dikenal sebagai audisme.
Konsep Identitas: Tunarungu dan Tuli
Pendekatan pedagogis yang terbaik sebenarnya tergantung pada sudut pandang pembaca. Jika sebagai orang dengar, tentu akan memandang Tuli sebagai tunarungu.
Tunarungu merupakan istilah yang diproses melalui pendekatan patologis. Tunarungu diambil dari bahasa Sanskerta. Tuna artinya rusak dan rungu adalah pendengaran. Tunarungu dikonotasikan sebagai sebutan bagi orang yang mengalami kerusakan/gangguan pendengaran. Dari perspektif tersebut, ada kesan untuk perlu diperbaiki dengan pertolongan medis mulai dari operasi bedah THT, penggunaan cochlear implant (CI) atau alat bantu dengar (ABD), hingga terapi wicara.
Sering kali terjadi pada orang tua yang memiliki anak tuli, mereka ingin membesarkan anaknya dengan menggunakan bahasa verbal. Bahkan, orang tua akan berusaha menghindari anaknya mencari komunitas tuli yang terasa asing, apalagi melibatkan penggunaan bahasa isyarat.
Ketika pembaca mengambil sudut pandang Tuli, ini dinamakan pendekatan sosiokultural. Orang yang mengidentifikasikan diri sebagai Tuli (T dengan huruf kapital) memandang diri mereka bukan sebagai orang cacat, kelainan, atau gangguan pendengaran, namun sebagai anggota kelompok minoritas bahasa dan memiliki kebudayaannya tersendiri. Salah satu ciri yang paling menonjol adalah penggunaan bahasa Isyarat (Marschark, dkk, 2017: hal. 269). Bahasa yang digunakan oleh komunitas Tuli adalah Bahasa Isyarat Indonesia atau Bisindo. Eksistensi Bisindo sebagai budaya Tuli meningkatkan rasa bangga akan identitas sebagai Tuli.
Anak-anak Tuli yang berkecimpung ke dalam komunitas Tuli untuk mempelajari Bisindo akan sama seperti anak yang sedang mempelajari bahasa lisan. Mereka bergaul dengan teman yang memiliki pengalaman serupa. Mereka yang terlahir sebagai Tuli tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya mendengar. Begitu juga sebaliknya, orang dengar juga tidak akan pernah memahami bagaimana pengalaman menjadi seorang Tuli. Meskipun Tuli dapat menguasai bahasa verbal dan dapat membaca gerak bibir masih terasa asing bila dalam lingkungan orang dengar. Situasi ini benar-benar saya rasakan sebagai seorang Deaf Gain.
Menjadi Tuli memang dapat mengeluarkan seseorang dari lingkungan masyarakat yang didominasi oleh orang dengar. Akan tetapi, bukan berarti harus melakukan isolasi sosial. Seperti halnya situasi ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya divonis menjadi Tuli. Hal itu bukan berarti anaknya harus diisolasikan di rumah atau “dititipkan” ke panti sosial. Saat ini, banyak komunitas atau organisasi Tuli Indonesia seperti Gerkatin Kepemudaan yang sudah berkembang di kota-kota besar untuk bisa berinteraksi dan berbagi pengalaman.
Objektifikasi Disabilitas terhadap Tuli
Dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga menyebutkan bahwa terganggunya salah satu fungsi dari pancaindra, yakni pendengaran atau disabilitas rungu, dikategorikan sebagai Penyandang Disabilitas sensorik.
Di sisi lain, informasi yang saya terima di lingkungan pemerintahan, kementerian misalnya, ada pendapat bahwa tunarungu dan Tuli adalah dua istilah yang berbeda. Tunarungu adalah sebutan yang sangat tepat, lebih “halus”, sopan dan bersifat formal bagi orang yang memiliki gangguan pendengaran. Mereka menghindari sebutan Tuli karena dianggap sebagai bahan celaan, kasar, dan terkesan diskriminatif sehingga tidak pantas disandangkan kepada orang yang memiliki gangguan pendengaran. Dari penjelasan tersebut, mayoritas masyarakat sebagai kelompok dengar mengatur penuh terhadap pembentukan dua konsep identitas.
Sekarang, bagaimana jika kita melihat pandangan komunitas Tuli sebagai kelompok minoritas?
Tuli sebagai Identitas Budaya
Identitas Budaya Tuli memiliki kekayaan yang mencakup tradisi, internalisasi nilai-nilai dan kepercayaan yang berafiliasi pada komunitas Tuli, kepemilikan bahasa, dan jaringan sosial. Bagi saya, terdapat dua diskursus yang sering muncul dalam budaya Tuli.
Pertama, penolakan terhadap anggapan “Tuli adalah sebuah ‘kecacatan” melainkan menerima bahwa “Tuli sebagai kelompok minoritas linguistik-kultural”. Kedua, meyakini bahwa identitas budaya Tuli adalah hal yang fundamental dalam membentuk konsep diri serta pengembangan kemampuan kognitif dan behavioral.
Dari perspektif orang dengar, mereka memandang Tuli adalah orang yang mengalami gangguan pendengaran dan mengidentifikasi dirinya sebagai disabilitas sehingga harus diisolasi dari lingkungan masyarakat dengar. Namun, itu bukan cara Tuli memandang diri mereka sendiri.
Tuli sangat memahami bahwa mereka adalah kelompok minoritas yang berada di luar mayoritas orang dengar. Mereka tidak peduli seberapa bagus keterampilan mereka dalam berbicara dan membaca gerakan bibir, mungkin mereka tidak akan pernah benar-benar cocok. Tetapi dalam komunitas Tuli, mereka menjalani kehidupan yang beruntung dan bahagia penuh dengan hubungan yang bermakna dengan orang lain yang berbagi pengalaman dan pandangan dunia yang sama. Jika Tuli tidak melihat dirinya sebagai orang yang mengalami gangguan pendengaran, mengapa kalian menyebut dan memperlakukannya sebagai disabilitas?
- Komunitas Tuli; Masih Layakkah Disebut Sebagai Kelompok Disabilitas? - 12 February 2020
ishak
Setuju dengan artikel ini, untuk memperkaya pemahaman soal Tuli, bisa juga lanjut baca di sini
https://ekspedisidifabel.wordpress.com/2019/01/29/apakah-kita-bagian-dari-kaum-audist/
Anonymous
Terima kasih, Mas Ishak! Silakan dibaca teman-teman untuk mengenal istilah Audisme yang sempat saya sebutkan di artikel.
Anonymous
Sayangnya UU yang mengatur hak Tuli untuk mendapatkan akses khusus di bidang informasi dan Juru Bahasa Isyarat ada di bawah UU disabilitas.. jadi gimana dong?
Ada dilema lain, kalau nanti akses informasi dan juru bahasa bisa diperoleh dr alasan sudut pandang Budaya, maka ada kemungkinan ratusan suku di Indonesia meminta akses yang sama hehehehe…
(Ibu dengar yang anaknya Tuli)