Konsep “Pulau” Sebagai Shima VS Konsep Tulisan Perjalanan (Travel Writing)

Untuk Esai WN Rahman

Februari 2016 ini, Bangkok Film Festival telah menetapkan How to Win at Checkers (Every Time) sebagai film adaptasi terbaik—setelah gagal menyisihkan 80 pesaingnya dalam penominasian Oscar 2016. Sebuah kabar yang, bagi saya seorang pengarang—kelas teri, yang kebetulan suka drama Thailand dan membaca nama Edward Gunawan, seorang Indonesia, sebagai salah satu produsernya—, menggembirakan karena film ini merupakan sebuah film yang diadaptasi dari dua cerita pendek, “Draftday” dan “At the Café Lovely”, yang termaktub dalam Sightseeing (2005), yang merupakan karya keturunan Thailand-Amerika, Rattawut Lapcharoensap. Pengarang satu ini, bisa dibilang, terkenal dengan karya-karya sastra kontemporernya yang menjadi semacam renungan dengan sentuhan khas Amerikanya, seperti pada Farang—plesetan dalam bahasa Thailand untuk foreigner atau bule—yang dipublikasikan pertama kali oleh majalah Granta.

Dalam jurnal Shima disebutkan bahwa Thailand, bagi barat, hanyalah sesuatu yang mewujud sebagai brosur wisata, inkarnasi atas hedonisme, dan sebuah janji untuk mendapatkan “kedudukan” (klenik). Gaya sastra khas masa-masa poskolonial yang menunjukkan sisi lain dari orang-orang Thailand dan Thailand sendiri yang tenggelam dalam kebisingan turisme dan bisnis hiburan. Lapcharoensap sebagai pemandu dalam ceritanya menggunakan narasi-narasi ofensif-defensif untuk menunjukkan betapa adidaya-nya warga asing terhadap kehadiran karakter-karakter warga asli yang terjajah atas nama industri pariwisata.

Beginilah cara kami melewatkan hari demi hari. Juni: orang-orang Jerman mengunjungi Pulau ini—sepatu sepak bola berpaku, kaus-T kedodoran, lidah tebal—bicara seperti sedang meludah. Juli: orang-orang Itali, Prancis, Inggris, Amrik. Orang-orang Itali suka pad thai, makanan yang mirip dengan spageti. Mereka suka baju berbahan kain ringan, kacamata, sandal kulit. Orang-orang Perancis suka gadis-gadis montok, rambutan, musik disko, pamer payudara. Orang-orang Inggris datang kemari untuk menggelapkan kulit pucat mereka, memenuhi ambisi mereka akan hasis. Orang-orang Amrik adalah yang paling gemuk, paling bau di antara kumpulan orang-orang itu. Mereka boleh saja berpura-pura menyukai pad thai atau udang bakar atau sekadar kari musiman, tapi tiap dua kali seminggu mereka balik menyenangkan diri dengan kuliner asal mereka, hamburger dan piza dari negeri mereka sendiri. Selain itu mereka juga tukang minum paling bergajul. Jangan dekat-dekat orang Amrik mabuk. Agustus membawakan orang-orang Jepang. Tetap dekat-dekat dengan mereka. Jangan pernah remehkan kekuatan yen. Semua jadi terdengar murah dengan duit kerajaan di tangan dan mereka terlalu santun untuk menawar. Di akhir Agustus, ketika angin monsun mulai berembus, mereka semua membaur, mengusap punggung satu sama lain, mengalap narkoba, menggarap satu sama lain, menyesap minuman bersama di bawah sorotan merah muda lampu bar di Pulau. Pada bulan September mereka semua putus, minggat dari Pulau dan ganti memburu orang-orang Australi dan Cina, yang kelewat gampang dijumpai sampai-sampai jadi terlalu tidak penting untuk dibahas.

—fragmen Farang

Bentuk yang paling umum dan paling bisa menunjukkan pertentangan antara barat dan timur dalam cerita Lapcharoensap adalah penggunaan konsep “pulau”: (1) Juni: orang-orang Jerman mengunjungi Pulau ini—sepatu sepak bola, kaus-T kedodoran, lidah tebal—bicara seperti sedang meludah; dan (2) Pada bulan September mereka semua putus, minggat dari Pulau dan ganti memburu orang-orang Australi dan Cina, yang kelewat gampang dijumpai sampai-sampai jadi terlalu tidak penting untuk dibahas.

Pulau bagi orang-orang daratan utama—saya memaknainya sebagai bukan penghuni pulau kecil, seperti warga Bali; istilah ini digunakan oleh Carmen M. White dan Mensah Adinkrah untuk menandai imajinasi Barat atas “Pulau”—memiliki sihir tersendiri, mulai dari yang sifatnya utopia sampai ke distopia, dalam perwujudan surga, konservasi, selter, tempat pengasingan, antah-berantah, atau malah neraka. Bentuk-bentuk seperti itulah yang biasanya ditemukan pada mulai dari film sampai ke cerita-cerita fiksi: The Island, The Beach, Shutter Island, Hunger Games, Lord of the Flies, dan sebagainya.

Sejarah dari konsep “pulau” sendiri berasal dari literatur Jepang—dari kata shima. Tentu saja hal itu berkaitan erat dengan tradisi pelayaran sehingga pulau menjelma menjadi kanvas atas fantasi dan imaji seorang pelancong barat. Kira-kira seperti kebalikan dari “kota” yang menjadi dasar-dasar atas cerita-cerita fiksi orang-orang daratan utama: Macondo, El Dorado, Kota J, dan sebagainya. Pulau pun bisa dikatakan jarang dieksplorasi dengan cara-cara orang-orang daratan utama melihatnya. Mungkin, hanya ada Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Buru-nya dan, mungkin, hanya itu satu-satunya yang literatur Indonesia miliki terkait dengan konsep “pulau” sebagai shima. Saya belum terlalu yakin dengan Weh karena saya belum selesai membacanya, tapi saya yakin ini tidaklah sama dengan yang diusung dalam Laskar Pelangi. Setidak-tidaknya perbedaan antara konsep “pulau” sebagai shima dan konsep tulisan perjalanan (travel writing) ini bisa membantu dalam memahami mengapa Laskar Pelangi mendapat penghargaan ITB BuchAwards 2013 untuk kategori literatur wisata. Dan karena konsep “pulau” seringnya dibangun oleh orang-orang daratan utama, biasanya pulau akan berubah menjadi sesuatu yang “asli”, “autentik”, dan “hidup” hanya dalam kepala pengarangnya sendiri—dan dalam sudut pandang itu, Laskar Pelangi menjelma menjadi suatu kasus yang unik karena pengarangnya adalah seorang penghuni “Pulau”. Sebagai suatu konsep, tentu saja, “pulau” sebagai shima tidak mempereteli suatu karya berdasarkan dari sudut “tema” ataupun “isi cerita” semata—sekali lagi, Laskar Pelangi bisa dijadikan rujukan, ia memang tidak menceritakan tentang perjalanan, tapi cara penulisannya lebih mengadopsi konsep tulisan perjalanan (travel writing) dan bukan konsep “pulau” sebagai shima. Oleh sebab inilah, Lapcharoensap disebut-sebut sangat menjanjikan. Dia datang dari kedalaman belantara “pulau” orang-orang daratan utama sehingga bisa dikatakan Sightseeing adalah semacam terapi kejut.

Lapcharoensap mengeksplorasi pulau sebagai tempatnya tinggal sehingga yang berubah aneh dalam cerita bukanlah pulaunya sendiri, melainkan mereka-mereka yang datang ke sana. Lagi, konsep “pulau” ini tentu saja seratus delapan puluh derajat bedanya dari konsep tulisan perjalanan (travel writing) dan dengan sudut dan pola eksplorasi yang berkebalikan itulah, Sightseeing bisa dikatakan nyaris baru sebagai cerita fiksi.

Kembali ke paragraf pertama Farang, kata “Pulau” pada kalimat kedua dan kalimat terakhir memiliki makna yang berlainan. “Pulau” bisa saja menggantikan Thailand secara umum atau mungkin Pukhet atau pulau-pulau tujuan wisata lain seperti Koh Samui. Tapi, mungkin saja “Pulau” itu tidak mewakili shima yang sesungguhnya. Bisa jadi Lapcharoensap dalam hal ini hanya menggunakannya sebagai klaim atas suatu tempat yang menjadi latar cerita, bisa suatu tempat yang seluas Bangkok atau bahkan yang sekecil Rat Uthit (Rattana Uthit). Ketidaksinkronan pemaknaan “Pulau” setiap kali ia muncul dalam kalimat-kalimat penyusun Farang tentu tidak seperti formula Eko Triono dalam penyebutan “Kota J” dalam “Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-Pohon”. Setidak-tidaknya seperti analogi atas “pulau samudra” dan “samudra pulau”, sementara yang lainnya seperti antara “ada” dan “tidak ada”.

Besar dan kecil atas pemaknaan “Pulau” sepertinya juga dibawa dalam ofensif-defensif atas penyebutan subjek turis-turis. Lapcharoensap yang kadang-kadang membanggakan makanan khas negaranya pun tak luput untuk merendahkan salah satunya, pad thai, dengan spageti, meskipun pad thai bisa dikatakan berbeda dari olahan terigu itu—semisal kenyataan bahwa ia sebenarnya terbuat dari tepung beras. Dan hal itu jugalah yang dipakainya untuk menyerang restoran-restoran waralaba yang kehadirannya menjamur di, umumnya, daerah-daerah wisata: Mereka boleh saja berpura-pura menyukai pad thai atau udang bakar atau sekadar kari musiman, tapi tiap dua kali seminggu mereka balik menyenangkan diri dengan kuliner asal mereka, hamburger dan piza dari negeri sendiri. Rasa sebal sepertinya juga digambarkan melalui ketidakpeduliannya pada orang-orang Australi dan Cina yang mudah ditemui di mana pun; dan hal ini mengindikasikan keanehan lain, terutama karena fakta bahwa keturunan Cina nyaris bisa dijumpai di setiap penjuru negara, bahkan ketika televisi (misalnya, kunjungi MCOT.net dan pilih kanal mana saja) dinyalakan kita bisa menghitung dengan sebelah tangan mana aktor dan aktris yang benar-benar tidak ada darah Cina-nya. Bisa jadi di sini Lapcharoensap memang sedang “menghina” tapi dalam posisi yang dibuat lebih rendah dari yang dihina (litotes) dan ciri-ciri seperti ini sangat khas adanya pada sastra-sastra poskolonial—inilah yang saya maksudkan pada paragraf kedua. Secara teori, Thailand memang bukan negara jajahan, tapi pengaruh peperangan dan pendudukan asing tetap tidak bisa menghilang dari negeri ini: sejarah peperangan di Siam dan Kamboja misalnya.

Sampai di titik ini saya mulai memikirkan ulang kata-kata Pak Edi, CEO Diva Press, tentang pengarang yang menulis berdasarkan pengaruh dari apa yang dibacanya. Sekarang yang mengelindan di pikiran saya adalah apakah kita—orang-orang seperti saya—itu benar-benar mengerti detail dari “pengaruh” itu sendiri? Dari satu kata “Pulau” saja, saya telah digiring ke dalam rimba dua konsep penulisan kisah: “pulau” sebagai shima dan tulisan perjalanan (travel writing). Mungkin pula, saya satu-satunya yang tidak menyadari bahwa ITB BuchAwards—sekalipun mereka memang bergerak dalam industri turisme dan pariwisata—memiliki dasar keilmuan—pertanggungjawaban secara akademik—dalam memberikan penghargaannya dan bukan berdasarkan tuduhan yang santer terdengar untuk pengarang Laskar Pelangi di tahun itu, yang lebih menggarisbawahi unsur alasan “tema” dan “isi cerita”. Lalu, apa kabar dengan detail-detail “pengaruh” yang lainnya?

Konsep “pulau” sebagai shima telah berhasil membuka mata saya dan memberikan sedikit keleluasaan untuk melihat ke luar dari tempurung. Kabar yang menggembirakan sekaligus menjadi semacam introspeksi bagi diri pribadi soal bagaimana harus memperlakukan literatur-literatur “Pulau” Indonesia yang jumlahnya ternyata “mengenaskan sekali”, padahal dalam Frankfurt Book Fair 2015 kita mengusung tema “17,000 Islands of Imagination”. Sungguh ironis. (*)

W.N. Rahman

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!