Judul : Koran Kami with Lucy in the Sky
Penulis : Bre Redana
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetak : 2017
Tebal : vi + 194 halaman
ISBN : 978-602-424-708-9
Koran terlambat masuk ke kamus-kamus di Indonesia. Keterlambatan itu tanpa sesalan sejarah atau imajinasi peradaban aksara. Kini, koran dianggap (ter)lambat memenuhi hasrat orang mengetahui segala hal dalam tuntutan cepat dan ringkas. Koran dipaksa terpencil dari keramaian sebaran berita atau informasi beralat teknologi canggih. Koran yang dalam pengertian lama adalah kertas-kertas dituntun menuju sepi dan sendu. Koran justru dipercepat masuk ke “kuburan”. Sejarah belum tercatat lengkap, tapi nasib koran mirip si tua menanti ajal.
Alinea itu tak seberat celotehan dan renungan Bre Redana dalam novel berjudul Koran Kami with Lucy in the Sky. Judul saja sudah menggemaskan dalam perkara bahasa dan pemaknaan mutakhir. Dulu, koran tak bergerak cepat masuk kamus. Orang-orang telanjur mengenali surat kabar, sebelum mulut fasih mengucap koran. Para pengagum Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta sulit bercerita mengesankan jika berurusan pengertian koran. Pakar perkamusan itu cuma memberi arti koran adalah surat kabar. Kamus tak bertugas memberi cerita atau rangsang untuk melacak sejarah Indonesia berkoran. Di Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1954) susunan Sutan Mohammad Zain, koran mendapat pengertian surat kabar atau harian. Koran adalah serapan dari istilah bahasa Belanda: krant. Zain agak berlebih pengertian dengan pemberian contoh bentukan kata: “mengorankan orang”. Zain mengartikan “memasukkan kabar tentang orang itu ke dalam koran (biasanja dengan arti jang kurang baik).”
Pada 2017, Bre Redana pensiun dari perusahaan koran terbesar di Indonesia. Ia tak lagi harus mengorankan orang dengan tulisan-tulisan menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik. Pada usia menua dan menjelang pensiun, ia menjadi novelis. Bre Redana menuliskan diri dan koran. Pilihan membagi cerita dan berita adalah menovelkan orang dan koran. Puluhan tahun, Bre Redana menjalani hari-hari berkoran sebagai sejenis pekerjaan, hiburan, pelesiran, dan permainan. Hidup di koran berakhir berkat usia dan aturan perusahaan. Pergi atau pamit dari koran itu kepantasan agar orang tak ambisius mengucap sumpah: hidup dan mati demi koran. Bre malah membuat lelucon filosofis untuk menikmati hari tua adalah hari tetap membuat koran saat orang-orang tak lagi menantikan koran.
Novel “ditugasi” Bre untuk bercerita nasib jurnalis dan kebermaknaan koran dalam titian waktu tiga puluhan tahun. Tebaran nostalgia ada di puluhan halaman, berharap pembaca kangen masa lalu. Bre bercerita situasi kantor sekian tahun silam: “Kantor tak sepi orang, terlebih pada malam hari…. Ada yang mengetik sambil membuka baju, cuma mengenakan singlet seperti kuli pelabuhan. Suara gemerutuk mesin ketik membahana di seluruh ruangan.” Dunia itu pernah ada, sebelum digantikan lakon baru berdalih penggunaan teknologi baru dan tata cara kerja mutakhir.
“Dulu” adalah tema terbesar dalam persembahan novel ke pembaca. Bre berpulang melulu ke dulu. Perbandingan selalu terjadi untuk mengetahui peradaban koran: dulu dan sekarang. Novel dipilih dalam mengumbar sambat bercampur serius protes-prihatin. Bre menulis: “Beda dengan dulu. Wartawan makan makanan pesanannya dari pasar di meja kerja. Makan sambil menulis. Mungkin dikarenakan perbedaan asupan: wartawan dulu kurus-kurus, tidak seperti sekarang, gemuk-gemuk seperti ayam broiler.” Bre bertakdir kurus, sejak masih muda sampai tua. Kurus itu dibuktikan sebagai “dulu” untuk meledek para wartawan gemuk.
Cerita mengenai koran dalam novel terasa menggoda dengan rangsangan asmara dan geliat perubahan sosial-politik-kultural di Indonesia. Pengarang tampak enggan berpisah dari koran. Sumpah berkoran ditunaikan melalui novel berlimpahan “opini” dan utopis. Tokoh-tokoh bermain “opini” bertema koran demi menguatkan “dulu” itu tak boleh sirna. Penjelasan Hardoyo, pensiunan dari perusahaan koran: “Sekarang tak ada lagi orang baca koran. Anak aku yang pertama itu anggap temannya yang baca koran seperti orang tua….” Pendefinisian pembaca koran (cetak) adalah orang tua. Koran hampir dipurbakan!
Nasib (koran) tak untung ingin dilawan para pensiunan wartawan, setelah menunaikan kerja jurnalistik selama puluhan tahun di koran terkenal di Indonesia. Mereka meneruskan napas jurnalistik dengan membuat Koran Kami. Penamaan koran mirip bantahan dipurbakan atau sirna. Koran Kami berisi para pensiunan dan kaum muda masih memiliki janji menghidupi koran saat semakin kehilangan pembaca. “Dulu” ingin diulangi lagi meski sulit. “Dulu” juga harus berdebat dulu dengan ambisi kaum muda dalam menggerakkan koran berselera mutakhir.
Hari-hari mengerjakan Koran Kami dibumbui pamer opini berkaitan koran masa sekarang, tak melulu dulu. Tokoh pintar bernama Dedi pamer seruan: “Kita perlu redefinisi informasi, redefinisi berita, fakta, dan lain-lain.” Seruan itu berdalih masa sekarang. Lelucon filosofis lekas disodorkan ke pembaca: “Menulis novel mungkin lebih bagus…. Kebenaran makin sulit dicari pada yang dimaknakan fakta. Ketika fakta sakit, fiksi obatnya….” Kalimat itu diakhiri tawa ironis.
Pembaca pun diajak bermufakat dalam menilai nasib koran dan kemauan menovelkan koran. Kalimat terakhir di novel: “Sebuah dunia yang tak akan terulang, kecuali dalam cerita.” Kalimat itu dalil buatan Bre Redana: tak rela berpisah dari “dulu” dan ingin koran tetap ada meski dalam novel. Kita bisa sejenak membanding dengan keberadaan koran dalam puisi gubahan Joko Pinurbo berjudul “Koran Pagi”. Puisi turut mengawetkan nasib koran di Indonesia meski memiliki ironi dan pesimisme. Joko Pinurbo menulis: Koran pagi masih mengepul di atas meja./ Wartawan itu belum juga menyantapnya./ Ia masih tertidur di kursi setelah seharian/ digesa-gesa berita. seperti biasa,/ untuk melawan pening ia menepuk kening./ Lolos dari deadline, ia terlelap. Capeknya lengkap. Koran masih memberi cerita wartawan dan pembaca di Indonesia tanpa janji besar untuk digandrungi sepanjang masa. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022