Suatu waktu, saya menjumpai teks tertulis ‘an muqabalah bil lisan, ila al-muqabalah bis sinan yang dalam terjemahannya menjadi “dari penentangan dengan mulut hingga dengan penentangan gigi”. Jidat saya berkerut memikirkan ini. Lantas muncul dugaan: kali aja si penerjemah silap saat membaca “sinan” dengan “asnan”, terpeleset saat memahami arti ‘pisau’ dan ‘gigi’.
Saya kembali melihat keseluruhan teks dengan konteks. Walhasil, diagnosa menunjukkan hasil bahwa tema buku yang ada di hadapan saya itu adalah seputar penentangan sekelompok orang yang karena tidak sanggup lagi menentang al-Qur’an dengan debat dan hujjah, akhirnya mereka pilih jalan kekerasan, angkat senjata (pisau). Makanya, saya lantas bingung, bagaimana cara mengait-ngaitkan gigi dengan pisau? Mungkin karena ada unsur kesamaan rasa sakit pada saat dicokot dan ditusuk.
Sebetulnya, kesalahan dalam penerjemahan itu bisa berawal dari keteledoran penerjemah atau kekurangan wawasannya. Sedikit lainnya disebabkan oleh sikap terlalu hati-hatinya dalam alih-bahasa karena alasan dan orientasi orisinalitas. Di zaman sekarang, unsur kengawuran bisa terjadi di luar faktor itu, yaitu karena terlalu percaya kepada karya Google Translate atau juga aplikasi-aplikasi kebahasaan lainnya.
Jika ingat kasus ini, saya ingat pengalaman pribadi. Malu kalau saya ingat. Proyek terjemahan yang pertama kali saya kerjakan adalah kitab Mawaidz al-Usfuriyah, sebuah kitab hadits berpadu cerita tematik, karya Syaikh Abu Bakar. Kerja terjemah ini terhenti bahkan tak sampai setengah kitab lantaran saya merasa tidak mampu membuat bahasa yang baik meskipun makna kitab tersebut sudah pada bergelantungan hasil ngaji di pesantren, dulu. Meskipun kawan saya lantas melempar naskah tersebut kepada orang lain dan ia berhasil merampungkannya, saya tetap menyesal karena hasil kerja saya tidak memuaskan. Saya sadar belakangan, bahwa kemampuan menerjemah itu harus ditopang oleh adanya keseimbangan kemampuan penguasaan bahasa sumber dan bahasa salinan. Saya ingat, saya menyesal.
Pada kesempatan lain, saya pun pernah memergoki sebuah buku terjemahan—lagi-lagi kebetulan dari bahasa Arab—yang beberapa paragrafnya raib dalam versi Indonesia. Dapat dipastikan demikian karena pada saat membaca buku tersebut saya juga sedang memegang buku aslinya, berupa fotokopian. Ini saya temukan secara tidak sengaja, berawal dari rasa geli pada saat membaca. Ibarat orang menyanyi, susunannya terkesan sumbang.
Bagian yang hilang pada buku itu terdapat pada halaman kisaran 50 dari 200 (atau 25 dari 100) dari total halamannya. Saya tidak ingat persisnya. Berdasarkan data ini, saya menduga, “korupsi penerjemahan” ini terjadi akibat si penerjemah kehilangan lembaran teks asli, yang mungkin disebabkan oleh lepasnya lembaran naskah asli sebab tidak dicetak dalam bentuk buku, melainkan berupa fotokopian memanjang dan lembaran-lembarannya mudah lepas. Kemungkinan yang lainnya adalah sebab sudah telanjur banyak halaman yang telah digarap, si penerjemah baru tahu belakangan kalau ada halaman yang kurang pada buku asli namun dia nekat meneruskan proyeknya sebab sayang jika harus ditelantarkan di tengah jalan. Proses lanjutan dari buku bernasib malang itu adalah: penyunting (dari penerbit atau memang penerjemah sendiri) merekayasa paragraf demi paragraf siluman untuk menutupi paragraf-paragraf asli yang hilang. Walhasil, kini, bagian itu seakan-akan menjadi bagian dari karya pengarangnya, seolah asli, padahal “kw”. Klop jika dikatakan: “penerjemah adalah pengarang yang kedua”, meskipun pernyataan ini bukanlah contoh statemen filologis dimaksud.
Berdasarkan kasus di atas, saya mendapatkan pengalaman bahwa pembaca karya terjemahan itu umumnya merupakan pembaca pasif. Mereka tidak begitu ngurus benar-tidaknya sebuah karya terjemahan. Paling banter, yang dicermati adalah kualitas terjemahan pada tingkatan “bunga-bunga bahasa”-nya, terutama untuk buku terjemahan sastra. Kalaupun ada yang memberikan penilaian/koreksi, itu mungkin terjadi karena si pembaca adalah seorang redaktur atau penerjemah profesional/peneliti. Atau, bisa jadi pula karena si pembaca punya beberapa kebetulan: kebetulan memiliki naskah asli buku rujukan; kebetulan punya waktu lowong untuk mengoreksi tanpa minta bayaran.
Memang, sih, ada terjemahan yang secara sengaja menghilangkan bagian-bagiannya, dipenggal-sepenggal untuk kepentingan tertentu. Yang begini pernah saya temukan pada karya terjemahan Khalil Gibran (silakan periksa terjemahan yang beredar di Indonesia untuk karya berjudul Al-Musiqa (Musik) yang dihilangkan lebih dari separuh, dan juga Al-Mawakib (Prosesi) yang hanya dikutip/dicuplik bagian belakangnya saja. Kedua karya itu, sepanjang yang saya tahu dan beredar di Indonesia, berasal dari sumber kedua, yakni terjemahan dari bahasa Inggris yang notabene lebih dulu diterjemahkan dari bahasa Arab. Sedangkan untuk membuat perbandingan ini, saya merujuk pada sumber pertamanya yang berbahasa Arab (Gibran juga menulis dalam bahasa Inggris untuk beberapa bukunya).
Kenyataan yang saya paparkan di atas bukanlah agitasi agar kita menghindari buku-buku terjemahan. Kita tetap membutuhkan karya-karya semacam itu karena orang yang menguasai banyak bahasa (polyglot) kini sudah jarang ditemukan. Kalaupun ada orang yang menguasai banyak bahasa, umumnya mereka hanya sebatas mampu berkomunikasi verbal, dan tidak banyak yang dapat menggunakan kemampuannya sama baik untuk kepentingan ilmiah dan apalagi sastra. Diperkecualikan, untuk ilmu-ilmu keagamaan, memang sebaiknya—bahkan bisa jadi seharusnya—kita belajar langsung dari sumber asal yang umumnya berbahasa Arab. Pasalnya, reduksi akan selalu terjadi dalam proses alih bahasa, terlebih jika dilakukan oleh orang yang tidak ahli di bidangnya, apalagi disertai “ngawur” karena kejar tayang atau kepentingan lainnya. Maka bagaimana jika itu terjadi pada buku-buku agama?
Yang paling menakutkan dari semua itu adalah “korupsi ide”, baik dalam terjemahan atau dalam edisi terbitan aslinya. Inilah yang dikenal dengan “tahrif” atau penambahkurangan teks secara tidak sengaja atau disengaja. Tidak disengaja dapat berbentuk kesalahan dalam urusan teknis (cetak/terbit) karena kekurangcermatan dalam menyelia; disengaja karena memang ada tujuan tertentu di balik penambahkurangan teks, umumnya dimaksudkan demi kepentingan ideologi atau paham tertentu. Kenyataan seperti ini bukan lagi sebatas isu sejak ditemukannya berbagai bukti “tahrif” yang diajukan dalam berbagai diskusi. Tahrif juga kerap terjadi pada proses salin-media, seperti dari media cetak ke media digital, dan seterusnya.
Kawan saya, seorang guru, Ahmad Halimy namanya, menemukan kasus korupsi pada terjemahan kitab Tadzkiratul Awliya’ al Atthar. Kitab yang aslinya ditulis dalam bahasa Persia ini diterbitkan oleh sebuah penerbit di Bandung dan diberi judul Warisan Para Awliya dalam edisi bahasa Indonesia yang notabene merupakan terjemahan dari bahasa Inggris versi A.J. Arberry.
Menurut Halimy, di dalam buku tersebut, ada satu bagian yang menuturkan kisah Imam Abu Yazid al-Busthami yang berbuka puasa di depan khalayak di siang hari bulan Ramadan. Kisah ini seakan-akan menjustifikasi bahwa sang wali diperkenankan melanggar syariat (Terkait ini, saya menemukan kisah hikmah dalam An-Nur al-Burhani fi Turjumati Lujjain Addani fi Dzikri Nubdzah min Manabiqab as-Syaikh Abdil Qadir al-Jailani di halaman 45-46 yang menyatakan bahwa suatu waktu Syaikh Abdul Qadir digoda setan dalam bentuk suara siluman bahwa berkat ilmunya ia telah diberi izin untuk melakukan hal-hal yang selama ini haram. Disebutkan bahwa Syaikh berkata kalau ia yakin itu pasti bisikan setan sebab Allah tidak mungkin menganjurkan hal-hal yang rusak dan mungkar alias melanggar syariat). Ternyata, kata Halimy, dalam kitab yang ia beli itu, kisah Syaikh Yazid tidaklah seperti yang ia baca di dalam buku: ada keterangan tambahan bahwa sang imam mengambil rukhsah (kemudahan) tidak berpuasa karena beliau dalam perjalanan jauh (musafir) yang notabene memang diperkenankan berbuka. Itu artinya, sang imam tak melanggar syariat. Apakah ini terjadi sebab A.J. Arberry mengurangi beberapa kalimat saat ini menerjemahkan dalam bahasa Inggris atau karena ada faktor lain?
Di saat semua orang begitu mudah mengakses informasi dan buku-buku dengan perangkat digital, reduksi pemahaman, terutama terhadap teks-teks keagamaan yang sangat rentan, mudah sekali terjadi. Ini berbahaya karena reduksi tersebut tidak terjadi karena tanggapan atau pengembangan pemikiran yang sejatinya dapat ditempuh dengan menanggapi dan menyadur sebuah karya menjadi karya (buku) yang mandiri. Reduksi tersebut masih tetap sebagai karya asal, namun dengan beberapa perubahan yang cenderung serong. Jika yang dihilangkan itu adalah prinsip pemahaman keberagamaan keseharian, maka jelas korupsi itu sangat berbahaya karena juga akan menyerongkan ideologi dan gagasan penulis.
Dalam kasus terjemahan non-humaniora atau non-sastra seperti yang saya sebut di atas, meskipun bagian yang hilang itu tidak prinsip secara gagasan, yang artinya penyunting/penerjemah buku berhasil mengolah paragraf demi paragraf buatannya dengan baik sehingga seakan-akan telah sama dengan aslinya, namun tindakan ini tetap sebuah pelanggaran etika kesarjanaan. Malpraktik yang boleh jadi bermula dari gerai fotokopi ini mirip malpraktik dalam amputasi. Bayangkan, bagaimana rasanya organ tubuh yang tidak bermasalah harus penggal secara paksa, dibuang atau diganti dengan bahan berbasis plastik atau platina? Ibarat seseorang yang mestinya masih bisa berjalan tegap, dia laksana orang yang harus dipincangkan dengan sengaja. Sadis, bukan?
- Puisi M. Faizi - 14 May 2024
- Menerjemahkan Kemustahilan - 22 October 2020
- Akal Sehat: Antara Akal yang Logis dan Hati yang Sakit - 14 October 2019
lightgreenish
Wah… Rawan betul berkutat dalam bidang ini.
Apalagi dalam buku agama… Apalagi pembaca yang hanya sekadar menerima saja isi buku dengan mentah tanpa tahu benar atau tidak buku yang dibacanya, seperti saya… hehe…