Koruptor Kita Tercinta

titianartspace.com

Ia menjadi orang paling dibenci. Baik buruk memang lebih cepat dari membalik telapak tangan. Oleh majalah terpenting di negeri kami, ia dinobatkan Man of The Year sebagai pejabat paling jujur. Karena kejujurannya itulah ia dihormati dan dicintai. Kau tahu sendiri, sekarang ini, mencari pejabat jujur lebih sulit dari mencari jarum di tumpukan jerami. Pejabat jujur ibarat binatang langka yang harus dilindungi.

Lalu bukti-bukti korupsi itu terkuak. Dan orang-orang yang selama ini begitu memujanya terbelalak. Bertahun-tahun, dengan cara yang cerdik, ia mengatur: agar setiap kali ada orang buang hajat, ia mendapatkan keuntungan.

Saat itu banyak yang takjub dengan gagasan briliannya. Sebagai pemimpin yang baru terpilih, ia tak hanya membebaskan biaya pendidikan dan kesehatan, tapi juga membebaskan setiap warga negara dari pajak buang hajat. Memang, untuk meningkatkan pendapatan negara, oleh Direktorat Jenderal Pajak telah ditetapkan aturan perpajakan, bahwa buang hajat masuk dalam kategori pajak konsumtif, karena itu setiap warga negara buang hajat akan dikenakan PPH (Pajak Penerimaan Hajat) sebesar 5% dihitung dari nilai makanan yang dikonsumsi per bulannya setelah dikurangi PPN. Perhitungan yang rumit memang. Tapi pajak memang selalu rumit.

Sebelumnya, dengan alasan untuk mengurangi pencemaran lingkungan dan melakukan tindakan preventif dari kemungkinan berjangkitnya penyakir menular berbahaya yang bisa menggangu ketahanan nasional, ia menandatangani keputusan yang mengatur agar setiap warga negara tidak boleh buang hajat sembarangan. Karena itu, setiap warga negara, harus buang hajat di tempat-tempat yang telah ditentukan. Maka oleh sebuah konsorsium, dibangunlah jutaan toilet umum, sampai ke pelosok terjauh. Lagi pula, pembangunan toilet umum itu memang diperlukan, agar negara bisa mengontrol setiap kali para warga buang hajat, karena ini menyangkut pendapatan negara dari sektor pajak buang hajat. Setiap keluarga yang masih memiliki toilet atau kakus sendiri di rumahnya, akan dikenakan pajak 200 kali lipat. Dan itu dianggap barang mewah.

Ketika akhirnya banyak yang menentang dan protes, ia mengeluarkan dekrit: seluruh warga negara dibebaskan membayar pajat buang hajat itu, dan biaya buang hajat akan ditanggung oleh negara. Dari situlah, selama bertahun-tahun menjabat, ia mendapatkan kuntungan dari orang-orang yang buang hajat. Cara serupa dilakukan ketika ia mendapatkan setiap sen dari orang-orang yang mati. Mulai dari biaya beli kain kafan, sewa ambulan, pembuatan batu nisan sampai dana pemakaman. Tak hanya tai ia korupsi. Orang mati pun masih dikorupsi.

Kau bisa membayangkan bagaimana kemarahan orang-orang ketika semua itu terbongkar.

Hari ini ia keluar pengadilan mengenakan rompi terdakwa, dikawal dua petugas, setelah mendengarkan dakwaan dan tuntutan hukuman penjara seumur hidup. Para demonstran yang begitu marah langsung menyambutnya dengan teriakan cacian—begitu kotornya caci maki itu hingga saya, sebagai penulis, merasa perlu untuk tidak menuliskannya dalam cerita ini. Begini saja, pendeknya, caci maki itu seperti tinja yang dilemparkan ke tubuhnya.

Tapi ia tetap tenang. Kau pasti sudah sering melihat pemandangan seperti itu: terdakwa koruptor murah senyum. Tapi caranya tersenyum sungguh berbeda dengan koruptor-koruptor lainnya. Bukan senyum menghindari kesalahan, tetapi senyum yang penuh kejujuran. Bila saat itu kau melihat senyumnya, kau pasti akan mengingat senyum itu sebagai senyum paling mengesankan yang pernah kau lihat dalam hidupmu.

Senyum itulah, yang membuat ribuan demonstran yang menghadangnya perlahan-lahan menjadi tenang. “Nah, kalau tertib begini kan enak. Tidak usah teriak-teriak. Saya paham perasaan kalian,” ia bicara tenang dan lembut.

Para wartawan yang semula saling celetuk mengajukan pertanyaan, langsung menyimak baik-baik. “Dengan tulus setulus-tulusnya, juga dengan segala kerendahan hati, saya mengakui, saya ini memang koruptor.” Kembali tersenyum, lalu bicara dengan bahasa lebih halus, “Inggih, leres, dalem meniko koruptor. Iya, benar, saya ini koruptor. Koruptor lahir batin.”

 Pengakuannya yang terus terang seperti itu, tentu saja mengejutkan. Membuat semua orang tak percaya dan hanya terbengong-bengong. Selama ini, para koruptor, pasti selalu membantah mati-matian. Bahkan bila sudah terbukti dipengadilan dan dihukum bersalah, para koruptor tetap tidak akan pernah mau mengakui perbuatannya, dan menyatakan kasusnya hanyalah rekayasa untuk mencemarkan nama baiknya.

“Lho, kenapa terkejut? Apa kalian pingin saya membantah, seperti koruptor-koruptor lainnya itu? Wah, ya jangan samakan saya dengan para koruptor itu lah. Beda kelas. Saya ini telanjur jadi koruptor yang berbudi luhur….”

Orang-orang tersenyum mendengarnya.

“Makanya, tidak usah menghujat. Siapa tadi yang teriaknya paling keras? Biasanya, yang teriak paling keras justru demonstran bayaran.”

Beberapa demonstran terlihat menunduk.

“Kalian pasti kaget mendengar pengakuan saya yang santun begini. Maklumlah, saya ini sudah telanjur menjadi orang terhormat, jadi ya harus selalu terlihat sopan. Korupsi saja saya sopan kok, masa menghadapi kalian ndak bisa sopan. Kalian memang tidak diharamkan kok untuk membenci koruptor seperti saya. Bahkan saya berani tegaskan, kalian wajib membenci koruptor seperti saya. Saya ikhlas dibenci kalian, selama itu semua demi kebaikan bangsa dan negara.”

Matahari begitu terik. Para petugas keamanan, ketika melihat kondisi aman terkendali, hanya duduk-duduk berteduh menikmati nasi bungkus jatah makan siang.

“Mengakui semua ini justru membuat saya merasa lega, daripada harus capek-capek membela diri. Saya tak akan membantah. Kalaupun nanti harus ada yang dibantah, biarlah itu menjadi tugas dan tanggung jawab para pengacara saya. Karena memang untuk itulah mereka dibayar. Saya sendiri akan kooperatif. Saya akan berjuang bersama-sama kalian, seluruh rakyat, untuk bahu-membahu memberantas korupsi. Jangan sampai kalian ikut-ikutan korupsi. Korupsi itu buruk! Yang baik ya kalau tidak ketahuan.”

Banyak yang tertawa dan tepuk tangan.

Sepertinya, ia sejenis orang yang punya bakat menyelesaikan setiap masalah serumit apa pun dengan cara menyenangkan. Atau ia termasuk orang yang bisa cepat beradaptasi dengan keadaan. Dua hal itulah yang sepertinya membuat orang-orang dengan cepat melupakan kesalahan-kesalahannya. Apalagi oleh lembaga yang menangani pemberantasan korupsi ia dianggap sebagai justice collaborator yang baik.

Selama proses persidangan, ia tak ditahan, karena sangat kooperatif. Saya—tokoh dalam cerita ini, bukan penulis cerita ini—sempat menemuinya untuk wawancara, ketika majalah tempat saya bekerja ingin meliputnya untuk rubrik Tokoh Inspiratif.  Berbincang dengannya memang terasa menyenangkan. Kelakar-kelakarnya membuat segar. Malah dengan ringan ia membeberkan bermacam cara untuk melakukan korupsi secara baik dan benar. Ia setuju pemberantasan korupsi, tetapi juga mengingatkan bahwa koruptor itu aset negara yang harus dikelola dengan baik dan bijak. “Kalau tidak,” katanya, “negara ini akan lumpuh karena semua aparat dan pejabatnya masuk penjara. Bayangkan, apa jadinya, kalau semua sipir penjara pun masuk penjara? Siapa yang akan menjaga penjara?” Ia tertawa. “Korupsi ndak papa, asal tak berlebihan. Ibaratnya, berhentilah korupsi sebelum kenyang.”

Ia tak keberatan semua penyataannya dikutip. “Korupsi itu bukan soal adanya kesempatan, tapi soal giliran. Pada akhirnya semua akan korupsi. Membenci koruptor hanya akan menghabiskan energi bangsa ini. Lebih baik kita mulai memikirkan cara terbaik, bagaimana agar keahlian dan kepintaran kita dalam korupsi ini menjadi keunggulan bangsa.” Pandangannya yang blak-blakan seperti itu membuatnya makin banyak yang menyukai. Ia dianggap koruptor yang tidak munafik.

Kemudian ia sering diundang menjadi pembicara di seminar-seminar dan talk show televisi yang membahas persoalan korupsi. Ia menulis artikel panjang tentang “Bagaimana Menegakkan Hak Asasi Manusia Berkaitan dengan Penyelesain Kasus-kasus Korupsi Agar Koruptor Bisa Melakukan Korupsi Secara Murni dan Konsekuen Berdasarkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Ia muncul di program Satu Meja, Mata Najwa, Kick Andy, sampai infotaiment Hallo Selebriti. Mario Teguh mengundangnya sebagai motivator tamu di acaranya. Bahkan ia berkali-kali menjadi bintang spesial di acara-acara komedi televisi.

“Sebagai mantan dari pada koruptor yang baik, pertama-tama izinkanlah daripada saya mengucapken daripada puja dan puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena telah memberikan daripada rahmat dan hidayahNya, sehingga sampai hari ini masih banyak daripada kolega-kolega saya yang bisa dengan tenang terus melaksanaken dari pada korupsinya secara baik dan tenang. Semoga dilempangkan jalannya, dan diterima di sisi Tuhan,” begitu ia membuka penampilannnya di acara stand up comedy, yang langsung disambut tawa dan tepuk tangan riuh.

“Saya harap kalian semua sabar, apabila sampai hari ini, kita belum mampu memberantas korupsi. Memberantas korupsi itu perlu anggaran besar. Belum lagi kalau anggaran untuk memberantas korupsi itu juga dikorupsi. Mengorupsi anggaran korupsi, barangkali itulah prestasi tertinggi para koruptor kita.” Semua tepuk tangan. Ia makin semangat. “Pernahkah kalian membayangkan, betapa biaya yang dibutuhkan untuk menangkap para koruptor itu jauh lebih besar daripada dana subsisi untuk membantu rakyat miskin? Makanya, daripada dana itu dihabis-habiskan untuk menangkap para koruptor yang belum tentu tertangkap, lebih baik dialihkan untuk mensubsidi rakyat miskin. Percayalah, lebih enak jadi rakyat miskin dibanding jadi koruptor. Jadi rakyat miskin itu dapat subsidi dari negara. Sementara koruptor malah pusing karena harus menghabiskan subsidi dari negara. Makanya saya kapok jadi koruptor. Lebih enak jadi orang miskin seperti ini. Makanya, jadilah rakyat miskin, sebelum jadi rakyat miskin dilarang.”

Popularitasnya yang semakin meroket membuat ia ditawari untuk memandu acara televisi yang diberi judul Corruptor Got Talent. Ia telah menjadi orang yang paling dicintai di negeri ini.

Saya kaget, ketika Pemimpin Redaksi saya memberi tahu, saya mesti segera kembali mewawancarainya. Seminggu setelah vonis penjara seumur hidup ditetapkan, dia menghubungi Sekretariat Redaksi dan ingin saya menemuinya. “Dia menolak kalau yang datang wartawan lain,” ujar Mas Gun, demikian saya biasa memanggil Pemimpin Redaksi saya itu. Sebenarnya hari ini saya merencanakan untuk menghabiskan waktu dengan istri. Ia ulang tahun, dan sudah enam kali kami tak merayakan bersama. Bisa saya bayangkan kekecewaan perempuan yang begitu sabar menemani saya selama 8 tahun itu. Kesibukan wartawan memang sering mengancam perkawinan.

Saya menemuinya di penjara. Ia mendapatkan sel tahanan sendiri. Luas 2×3 meter. Makin terasa sempit karena ranjang tidurnya melahap lebih dari separuh ruangan. “Saya, dengan penuh kesadaran, memilih sel ini,” ada bangga dalam suaranya. “Mereka sudah menyiapkan sel besar, dengan perabot lengkap, kulkas dan televisi, tapi saya menolak. Saya tak seperti koruptor lain yang manja, yang di penjara pun ingin menikmati fasilitas mewah. Sel yang sempit ini justru membuat saya bersyukur, karena saya jadi bisa merenung. Lihatlah, sel ini mirip gua.” Hampir tak ada cahaya masuk, karena tembok tinggi, dinding tanpa ventilasi, dan letak sel yang menjorok jauh ke dalam dan paling pojok. Tak ada lampu. Saya bisa membayangkan betapa gelapnya sel ini bila malam hari. “Di sini saya merasa tercerahkan. Seperti nabi yang menerima wahyu dalam gua.”

Saya memandanginya, yang berdiri bersandar di pojok sel. Suaranya pelan, dan sering terdiam lama, ketika ia bercerita betapa suatu malam ia seperti menerima wahyu. Ia menarik napas dalam-dalam, “Mungkin ini memang wangsit, yang harus saya sampaikan pada semua orang. Karena itulah saya pingin kamu menuliskannya.” Wajahnya nyaris terlihat sama dengan tembok yang kusam. Keriangannya seperti pudar. Mungkin dalam benaknya sudah terbayang kesepian yang begitu panjang membosankan, dan ia membutuhkan omong kosong untuk sedikit hiburan dengan menceritakan semua itu. Ia ingin saya menulis biografi hidupnya. Saya boleh mendatanginya setiap hari untuk mengorek semuanya.

“Saya ingin kisah hidup itu ditulis dengan jujur. Kamu boleh menulis semua hal tentang saya, seluruh keburukan saya yang bahkan saya sendiri pun mungkin tak pernah tahu. Ini bukan biografi yang bertujuan untuk membersihkan nama saya, atau memuja-muja saya. Saya sudah muak dengan semuanya.”

“Kenapa?”

“Saya begitu sedih, teramat sedih melihat kelakuan para koruptor yang mengabaikan kehormatannya. Para koruptor sekarang ini begitu rakus, buas, dan tak punya etika.”

Saya tersenyum, gayanya yang seperti itulah yang membuat saya suka.

“Kamu pasti pernah mendengar lelucon, dulu koruptor melakukan korupsi di bawah meja. Kemudian mulai terang-terangan, korupsi dilakukan di atas meja. Sekarang, mejanya pun sudah berani dikorupsi. Ini benar-benar menyedihkan saya. Para koruptor itu sama sekali tak memahami kalau sesungguhnya korupsi itu sebuah seni. Perlu imajinasi seperti seorang seniman menghasilkan karya yang memesona. Korupsi itu seni tingkat tinggi. Emm, seperti apa itu… eee…  istilah dalam seni?”

“Seni adiluhung….”

“Ya, seni adiluhung. Korupsi itu perlu kehalusan budi. Dengan halus mengambil sesuatu tanpa seorang pun tahu. Mencuri, tapi yang dicuri tak pernah merasa kalau dirinya dicuri. Jadi, sekali lagi, korupsi itu seni. Saya punya ilustrasi untuk menggambarkan ini. Saya punya kolega, yang memelihara burung kutilang. Saya heran, kenapa dia setiap hari melatih burung kutilang itu bernyanyi. Lalu dia menyanyikan sebuah lagu anak-anak. Kau pasti tahu lagu anak Burung Kutilang, kan? Di pucuk pohon cemara, buruuuung kutilang bernyanyi, bersiual-siul sepanjang hari dengan tak jemu-jemu… mengangguk-anggul sambil berseru trililiiii-lilii lilii….”

“Itu lagu kesukaan saya saat kanak-kakak,” kata saya.

“Nah, kolega saya itu melatih burung kutilang yang dipeliharanya, sampai bisa menyanyi: triliiliiii… triliunan….”

Saya tak bisa menahan tawa.

“Itu butuh kesabaran, ketekunan dan proses yang panjang. Nah, itulah yang telah dilupakan oleh para koruptor sekarang! Mereka grusa-grusu, pingin serba cepat dan instan, dan mengambil apa saja dengan paksa. Itu bukan koruptor, tapi rampok! Itulah yang membuat martabat dan derajat koruptor menjadi buruk dan dilecehkan. Saya sedih dengan semua itu.”

“Apa tidak terbalik-balik logikanya?”

“Apanya yang terbalik-balik? Saya bicara tentang seni korupsi yang kini diabaikan oleh para korupor itu. Itu yang membuat siapa saja kemudian dengan gampang dan nekat menjadi koruptor. Padahal mental mereka sama sekali bukan mental koruptor yang baik. Kamu lihat sendiri, sekarang banyak koruptor yang kabur melarikan diri ke luar negeri. Koruptor macam apa itu?!  Nggak pantes koruptor jadi buronan. Biarlah yang jadi buronan itu hanya para penjahat atau orang mesum. Koruptor sejati tak boleh lari dari tanggung jawabnya. Harus tangguh menghadapi resiko-resiko hukum sepahit apa pun. Jangan malah pura-pura sakit, begitu dipanggil pengadilan. Itu namanya mental kere!”

“Semua yang tadi dikatakan boleh dimasukkan dalam biografi itu nanti?”

“Tulis semuanya. Jangan sampai satu kata pun kamu sembunyikan. Kebenaran ini memang pahit, tapi saya harus menyampaikannya, agar semua orang tahu betapa sekarang ini sedang terjadi degradasi moral para koruptor. Koruptor tanpa moral adalah koruptor yang bebal, dan itulah yang menghancurkan bangsa ini.”

Saya membayangkan ini tak hanya akan menjadi biografi yang menarik, tetapi juga kontroversial. Sesuatu yang disukai media. Setidaknya, ini tidak akan seperti biografi para jenderal atau tokoh yang merasa dirinya penting, yang mengungkap terlalu banyak jasa-jasanya hingga lebih mirip bualan. Ini tidak akan menjadi biografi penuh pujian yang dikisahkan oleh penulis biografi bermental penjilat.

Di sela kesibukan liputan sehari-hari, saya selalu menyempatkan datang menemuinya untuk mengorek kisah hidup dan pemikirannya. Ia berkali-kali menegaskan, bahwa dengan biografi itu, ia sesungguhnya ingin membersikan kembali nama baik koruptor yang terlanjur kotor dan jadi ledekan. “Satu hal yang harus diingat,” tegasnya, “bagaimanapun koruptor punya tanggung jawab untuk membangun dan memperbaiki bangsa. Membangun dan memperbaiki bangsa dengan cara yang mereka bisa. Jangan hanya memakmurkan diri sendiri. Keluarga, rekan-rekan, partai politik, semua harus makmur. Seperti prinsip para anggota dewan itu: boleh beda pendapat, tapi tidak boleh beda pendapatan. Koruptor harus bekerja keras untuk kemakmuran bersama. Bahwa seorang koruptor mendapat keuntungan lebih banyak, ya itu kan biasa. Anggap saja itu uang lembur. Buruh saja lembur dapat komisi. Ya tidak apa-apa kan kalau koruptor yang sudah bekerja keras untuk kemakmuran bersama mendapat komisi juga. Pantang bagi koruptor memperkaya diri sendiri!”

“Bagaimana kalau semua pernyataan itu dianggap tak lebih sebagai pembenaran dan usaha menyelamatkan diri?”

“Koruptor itu orang yang akan selalu selamat. Orang-orang yang terselamatkan. Saya kasih tahu kamu satu cerita. Suatu hari ada seekor babi dan seorang koruptor bertemu harimau yang lapar. Mereka tak bisa melarikan diri. Salah satu harus dimakan harimau itu.”

“Saya pernah mendengar cerita itu.”

“Kau tahu, siapa yang selamat?”

“Babi. Sebab harimau itu tak mau makan babi, sebab haram.” Saya tersenyum, bisa menebak cerita leluconnya. Ia juga tersenyum.

“Salah!” katanya. “Yang selamat koruptor itu. Sebab ia berhasil menyuap harimau agar memakan babi, meskipun haram. Hahahaha.” Ia terbahak, meledek cara berpikir saya yang dianggapnya masih linear. Saya tersenyum kecut: tiba-tiba teringat lembaga yang memiliki kewenangan memberikan label haram di banyak produk makanan.

Proses penulisan biografi lumayan lancar. Ia menjawab dengan antusias dan terbuka apa pun yang ingin saya ketahui. Sejarah hidupnya tak ia tutup-tutupi, hingga saya selalu menemukan kejutan-kejutan yang tak terduga yang merangsang saya untuk terus menggali apa yang selama ini tak banyak diketahui tentangnya. Ia bahkan menyuruh saya untuk mengonfirmasi atau menanyakan langung pada sumber-sumber utama yang bisa memperkaya sudut pandang kisahnya. Masa kecilnya yang pernah hampir mati karena busung lapar, masa-masa sekolahnya di kampung yang nakal dan suka berkelahi. Menemui kawan-kawannya semasa sekolah dasar, mantan guru-gurunya, tetangga dan siapa pun yang saya anggap perlu untuk saya gali informasinya.

Seperti pernah saya katakan, ia memang berbakat menyelesaikan masalah yang sulit dengan cara menyenangkan—dan satu lagi setelah mendapat banyak informasi—bahkan menguntungkan. Bakat yang tak dimiliki banyak orang. Ketika remaja berkali-kali ikut tawuran, ia tak pernah tertangkap polisi. Bahkan ia bisa menjadi orang yang dipercaya polisi untuk memberikan informasi siapa saja yang suka bikin keributan, hingga kampung kemudian jadi aman. Ia licik, tetapi disukai. Itu perpaduan unik yang tak semua orang memiliki. Dan kemampuannya dalam meyakinkan orang membuatnya mudah dipercaya. Bila ada dua orang terlibat masalah, ia menjadi penengah dan bisa mengambil keuntungan dari permasalahan itu untuk dirinya.

Ia sudah berhubungan seks saat umur 9 tahun, dengan seorang pelacur. Ia tak membayar untuk pengalaman persetubuhannya itu, tapi malah dapat untung. Ia berhasil mengambil kalung yang disimpan pelacur itu di bawah kasur, ketika pelacur itu lagi cebok setelah melayaninya. Soal perempuan-perempuan simpanannya ketika ia menjadi politisi, juga tak ditutupi. Bagimana ia memanfaatkan perempuan-perempuan simpanannya itu untuk memuluskan proyek, memberi service para pejabat dan rekan politisi, ia ceritakan dengan blak-blakan beserta berbagai modusnya. Kadang untuk menjebak, memergoki mereka ketika sedang ngamar. Ia sebutkan pula nama-nama rekanan pengusaha yang selama ini saling tolong-menolong dengannya. Saya sudah mengingatkan, bahwa penyebutan nama-nama yang terang-terangan seperti itu bisa membuat banyak orang marah, tapi ia hanya santai.

“Biar saja. Ini zaman demokrasi, semua harus terbuka. Koruptor juga harus menjunjung tinggi demokrasi. Demokrasi itu jiwa seorang koruptor sejati.”

Wah, mulai deh logika gokilnya. Saya memancingnya dengan sindiran, “Kok ya bisa-bisanya orang seperti bapak bicara demokrasi?”

“Demokrasi itu kan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Harus atas nama rakyat. Makanya, korupsi yang baik itu ya mesti mengatasnamakan rakyat. Semangatnya adalah kerakyatan. Melakukan korupsi untuk menyelamatkan uang rakyat, agar aman di kantong kita. Lho kalau uang rakyat itu tidak kita amankan dengan baik di kantong kita, kan bisa diambil orang lain. Nanti malah habis dan tidak jelas penggunaannya.”

Saya sudah menduga, banyak yang tak suka ketika biografi itu terbit. Oleh rekan-rekan wartawan, saya dianggap telah menjadi juru bicara seorang koruptor. Menuliskan gagasan gilanya membuatmu jauh lebih buruk dari gagasan-gagasan gilanya itu, ujar mereka. Saya hanya mencoba tak memihak, kata saya, dan seperti itulah seharusnya penulis yang baik: tak menghakimi. Bila saya masih terus menerima cibiran, saya hanya bisa berusaha lapang dada menghadapinya.

Yang sama sekali tak pernah saya duga adalah sambutan orang-orang yang begitu antusias. Memang, seperti sudah saya bilang tadi, banyak yang tak suka dengan biografi itu, tapi buku itu laris manis. Sebulan cetak 20 kali. Terjual lebih 78 juta eksemplar (ada yang menyindir, sebanyak itu kan karena dibeli sendiri dan dibagikan gratis). Banyak resensi yang memuji sebagai biografi terbaik yang ditulis dengan jujur. Argumen-argumennya seputar korupsi membuat kita bisa mendapatkan perspektif orisinil yang berguna untuk upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, ujar seorang Doktor Sosiologi ketika berbicara di televisi. Saya, tentu saja mendengar slentingan, betapa semua pujian itu memang sudah diatur: ia membayar banyak akademisi, pengamat politik, intelektual sampai seniman untuk memuji-muji biografinya. Bahkan kisah hidupnya dijadikan serial sinetron yang langsung melejit rating-nya. Kisah hidupnya dianggap inspiratif, dan Garin Nugroho, seorang sutradara ternama, akan segera menfilmkannya.

“Wah untung besar nih royaltinya!” Begitu, saya terbiasa dengan sindiran seperti itu. Saya hanya diam.

Seperti yang terjadi sebelumnya, ia disukai orang-orang karena dianggap sangat membantu dalam hal memahami seluk-beluk korupsi secara lebih baik. Ia menjadi narasumber dalam penyusunan Rencana Jangka Panjang Pemberantasan Korupsi yang Adil dan Beradab. Ia menjadi tokoh yang dihormati dan didengar perkataannya oleh para koruptor yang tertangkap, dan pendapatnya dikutip dalam sidang-sidang pembelaan. Atas ide-idenya yang cemerlang dalam memahami korupsi, ia diberi penghargaan oleh banyak lembaga sebagai Pejuang Anti Korupsi.

Atas desakan dari berbagai pihak—juga karena mempertimbangkan jasa-jasanya dalam memahami perkorupsian Nasional—pemerintah akhirnya merasa perlu untuk memberikan keringanan hukuman secara bertahap dengan memberi grasi setahun 10 kali. Kolega-kolega, relasi, dan para pemujanya membuat pesta ulang tahunnya yang ke-61 sekaligus syukuran karena ia sebentar lagi dibebaskan.

Kabarnya, di kota kelahirannya, orang-orang sudah menyiapkan monumen patung untuk menghormatinya.*

 

Jakarta, 2017

 

*Agus Noor, penulis yang eksploratif gaya penulisannya. Cerpen “Koruptor Kita Tercinta” ini memperlihatkan gayanya yang satir dan parodik. Gaya seperti inilah yang akan mewarnai buku kumpulan cerpennya yang tengah disiapkan, yakni Lelucon Para Koruptor.

Agus Noor
Latest posts by Agus Noor (see all)

Comments

  1. Hans Reply

    Saya jadi kepingin kirim ulang satu cerpen saya ke situs ini. Memang sdh pernah dimuat di sebuah situs online, tetapi saya cukup prihatin, sebab hanya sedikit yg baca. Padahal kata yg komen, itu cerpen OK punya banget.

    • Hume Sum Reply

      situs apa mas @disqus_RyZrFGqxTt:disqus ? Boleh tahu?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!