Kriminalisasi

 kriminalisasi

“Magelangannya satu, Bos,” kata saya pada bakul mi Jawa di kolong flyover Janti.

Lelaki paruh baya itu menyuruh anak buahnya yang sedang nyuci piring untuk membuatkan pesenan saya dengan kalimat yang membuat saya tersentak: “Agus, Magelangan, yo.”

Masa orang ini Agus Magelangan itu? Iya, si Agus Mulyadi alias Gus Mul itu, yang nulis Jomblo Tapi Hapal Pancasila, yang lagi punya utang sama Mojok untuk nulis tiap minggu gara-gara kalah taruhan bola?

Begitu saya membatin sambil menatapi lelaki kurus yang memasak pesanan saya. Ah, bukanlah. Masih lebih tidak ngganteng Agus Mulyadi.

****

Sungguh, saya teh pilu menyaksikan Novel Baswedan diperlakukan sedemikian rupa. Tetapi, ah sudahlah, saya tak ingin terseret ke dalam perdebatan itu kriminalisasi atau demi hukum. Ndak bakal ada ujungnya! Sudahlah, semua kita juga udah ngerti, kok. Makanya tadi saya bilang: sungguh, saya teh pilu.

Apakah kriminalisasi hanya bisa dilakukan oleh aparat hukum, dari polisi, jaksa, hakim, juga advokat?

Ah, ya jelas ndaklah atuh. Sampean terlalu tidak mengakui bahwa lidah ini tak bertulang. Oh ya, kini luaskan lagi jadi “jempol tak bertulang” kala menulis status.

Di KBBI, lema kriminal disebut sebagai “berkaitan dengan kejahatan (pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut undang-undang; pidana)”. Dalam makna KBBI yang demikian, cakupan kriminalisasi hanya akan tersekat pada “penjara struktural” yang bila diekorkan pada Levi-Strauss yang membiangi strukturalisme, maka akan bermuara pada “tujuan penciptaan pola-pola (hidup) yang teratur”. Lha wong mitos saja oleh beliaunya diklaim “memiliki pola-pola yang teratur” (yang mengandaikan bisa dibedah secara metodologi-strukturalis), apalagi kejahatan.

Pemaknaan kriminalisasi KBBI tersebut juga masih relevan bahkan kalau kita tarik jauh ke sini dengan “disiplin tubuh” Michel Foucault. “Nilai kuasa seseorang ditentukan oleh kemampuannya menguasai tubuh orang lain; tubuh senantiasa menjadi objek kuasa secara anatomi-metafisik dan teknik-politik,” begitu katanya.

Ya, benar, lalu secara struktural penjara menjawab kebutuhan “penguasaan tubuh” yang begini. Discipline and punish. Kendati, hemmm, di luar sana, nyatanya kita karib pula dengan adagium sejenis: “Istri yang terpenjara”; “Suami-suami takut istri”; “Pacarku posesif”; “Guruku killer”; “Bosku idolaku”; “Jomblo merana”.

Iya, iya, Anda cerdas! Pendekatan strukturalis KBBI dalam memaknai “kriminalisasi” tentu saja berimplikasi negatif pada kejahatan yang tak menyentuh tubuh. Menusuk jiwa, misal.

Anda pasti tahulah bahwa manusia Indonesia pasca-Pilpres kemarin kian ke sini kian demen menyindir, meledek, mencemooh, menyinyir, hingga menyerang dan menjatuhkan. Bukan secara fisik, tapi jiwa. Bernapas pun tetap bisa salah Anda!

Ada yang pakai caption religius macam subahanallah atau astaghfirullah untuk menjustifikasi nyinyirannya. Ada yang menggunakan pendekatan moralitas. Sedihnya teh yang dinyinyirin sering kali ternyata hanya wacana, prasangka, atau malah kecurigaan maha dengki belaka.

Eksekusi Bali Nine pun dinyinyirin dengan kecurigaan maha syahwat: “Jangan-jangan yang dieksekusi bukan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Coba tunjukin jasadnya, coba dites DNA!” Itu kalau diturutin, pasti nyinyiran kelas dua dan tiganya mencuat lagi: “Halah, foto kan bisa diedit!” Atau: “Hasil tes DNA-nya harus diuji kebenarannya dulu dengan psikotes yang pakai CAT dulu!” Yakali, mau tes PNS.

Tambahan bukti lagi, sosok seteduh Cak Nun pun tempo hari dinyinyirin via Kompasiana sedemikian “ilmiahnya” gara-gara beliaunya membela para petani tembakau.

Kalau yang dinyinyirin Cak Nun sih, yakinlah saya beliaunya akan selow saja. Lha kalau kita?

Iya, kita-kita yang bukan Cak Nun ini, yang ndak punya ketangguhan ilmu dan jiwa yang sudah teruji debu-debu sejarah sedemikian panjangnya.

Tak ayal, kita yang memang apalah-apalah ini bentar-bentar galau, menjerit, memaki, ngamuk, menyindir, dan menangis setiap jiwa kita merasa diperlakukan tak adil alias dikriminalisasi. Terluka; baik karena memang dilukai orang lain atau sekadar lebay menempatkan diri untuk merasa dilukai.

Lihat saja, saat MotoGP seri Argentina kemarin, Marq jatuh dua lap sebelum finish. Para pembela Marq muring-muring, nuduh Rossi sengaja jahatin Marq. Sebaliknya, saya ketawa. Lha Marq ini kan masih bocah, belum mbeneh, kurang asam garam. Andai dia sabaran dikit, boleh jadi ia juga kalah. Nguik! Tapi setidaknya dapat poinlah. Begitu ucap saya.

Lalu di Jerez, Rossi dapat podium tiga, Marq dua. Saya pun berucap, sebagai yang lebih dewasa dan bijak, Rossi niscaya sengaja ngalah pada Marq. Plus, biar kompetisi seri-seri berikutnya lebih seru gitu lho. Agar penonton MotoGP senang karena kompetisi masih panas. Rossi kan entertainer sejati. Nguik!

Para fans Marq pun memekik-mekik penuh luka. Kabarnya, akibat kriminalisasi saya itu.

Piye njut?

Jika Agus Mulyadi lagi PMS, dan untungnya dia ndak pernah ngalamin hal itu, boleh jadi dia akan menuding saya telah mengkriminalisasikannya melalui esai ini karena menyangka chef mi Jawa itu dirinya. Argumennya? Holoh holoh, apalah yang tidak bisa dicarikan alasannya zaman sekarang ini, Bro?

Tapi karena Agus itu rendah hati, selalu mendahulukan orang lain untuk bahagia, sehingga ia ringan saja berkata, “Kamu nikah duluan aja, Mbak, semoga bahagia. Soal aku, ntar aja belakangan, gampang.”, maka saya yakin Agus akan santai saja. Kalem. Hasilnya, tetap ting-ting saja beliaunya.

Nah, nah, saya sebenarnya hanya ingin mengatakan: “Hambok kalem saja, santai saja di hadapan nyinyir kriminil-kriminil Indonesia kekinian yang sungguh subhanallah ini agar kamu hidupnya tetap enak.”

Tapi kalau kamu selo banget, punya banyak waktu longgar banget gitu untuk berkonflik, plus stok air mata dan amarah yang bertandon-tandon, lha ya monggo sak karepe nanggapin spaneng segala macam bentuk kenyinyiran kriminil-kriminil itu.

Dalam analogi ngawur atas sebuah hadits, kira-kira kamu akan mendapatkan posisi begini: “Yang mengkriminil dan yang dikriminil sama-sama di neraka.”; “Yang menyinyir dan yang dinyinyirin sama-sama di neraka.”

Bila kamu selo lho ini. Selo ngeladenin: “Al-Nyinyiru wa al-manyuru fi an-nar.

Soal yang kriminil-kriminil papan atas itu, yang sesuai makna KBBI itu, tauk ah gelap!

Sumber gambar: panjimas.com

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!