“Sundel!” umpatku sekuat tenaga. “Bukan, bukan seperti itu!” mentorku mengoreksi. Lalu dia menyebut kata S yang terdengar sama saja di telingaku. “Oke. Sekarang, coba ulangi lagi!” perintahnya. Aku pun mengulanginya, tapi tetap saja lidahku tidak mampu melafalkan tepat seperti yang diinginkannya. Mentorku mengulangi lagi, memberi contoh bagaimana mengumpat yang benar. Kami pun mengumpat bersama-sama. Namun, tetap saja tidak bisa senada.
“Tidak, tidak. Jangan seperti itu. Itu bukan Dasan Agung Style. Kamu harus memberi penekanan di akhir. Fonem yang muncul itu /ə/ bukan /ɒ/, dan ketika kamu melafalkannya, ujung lidahmu harus seperti ekor ikan yang menggelepar ketika dilempar ke tanah! Ujung lidahmu harus memukul langit-langit mulut! Paham?”
Aku mengangguk. Lalu aku mengulangi persis seperti yang mentorku katakan. Namun, tetap saja aku gagal. Kuulangi lagi. Gagal lagi. Kuulangi lagi, masih saja gagal. Wajahnya mulai terlihat tidak sabar. Kemudian dia mengulangi lagi teorinya. Bukannya aku tidak mengerti teorinya, aku sudah tamat dengan teori, hanya saja ketika aku mempraktikkannya, entah kenapa tidak pernah bisa persis seperti di teori. Sialan, kenapa pula harus ada aturan seperti ini sebagai persyaratan kerja?
Aku jadi teringat ujian terakhirku saat wawancara kerja pekan lalu.
“Kamu mengumpat seperti banci. Adik perempuanku baru lima tahun, tapi umpatannya lebih dahsyat daripada kamu,” kata penguji berambut putih.
“Coba ulangi lagi!” perintah ketua penguji.
“Basong!” umpatku sekuat tenaga.
“Sebenarnya sudah benar kamu mengucapkannya, tapi kok nggak ada enak-enaknya didengar?” komentar penguji berkacamata.
“Itu karena dia tidak punya energi,” kata si rambut putih menjawab pertanyaan si kacamata. Lalu dia kembali menatapku. “Ketika kamu mengumpat, kamu harus mengosongkan udara di paru-parumu.”
“Sepertinya kami belum bisa meluluskanmu,” kata ketua penguji.
Mendengar itu, aku hampir menangis. Sudah tiga kali aku berhasil sampai tahap wawancara dan sudah tiga kali pula aku gagal. Aku gagal karena dianggap tidak mampu mengumpat dengan baik dan benar. Orang yang tidak mampu mengumpat dengan baik dan benar, tidak akan bisa menjadi pekerja andal, begitu kata ketua penguji.
Ketika aku berjalan dengan lemas di lorong gedung perusahaan tempatku melamar pekerjaan, tiba-tiba seorang lelaki mendekatiku. Lalu tanpa ragu-ragu orang ini mengulurkan tangannya. “Namaku Felix,” kata lelaki itu. Aku menatap wajahnya penuh tanda tanya. Pikirku, bisa-bisanya orang ini menghentikan orang yang tidak dikenalnya lalu mengajak berkenalan. Senggang betul hidupnya. Tidak, lelaki ini pasti hendak menawarkan suatu produk. Biasanya selalu begitu. Jadi aku tidak menanggapinya dan berlalu meninggalkannya. Namun, baru beberapa langkah aku berjalan, dia menghentikanku dan berkata: “Kamu pasti gagal tes wawancara.”
Dari mana lelaki ini tahu?
“Biar kutebak, kamu gagal di tes mengumpat,” lanjut Felix sok tahu.
Aku menatap Felix penuh selidik. “Aku bisa menilai umpatan seseorang dari penampilannya. Ayo, coba tunjukkan umpatanmu,” kata Felix menantang. Melihatnya aku jadi muak. Akhirnya aku mengumpat juga. Aku mengumpat bukan untuk menunjukkan umpatanku, melainkan karena aku benar-benar kesal. Tapi, dia malah mengomentari umpatanku. Seperti seorang ahli, dia berkata umpatanku lemah, tidak berenergi, dan tidak punya gairah.
“Mengumpat itu ada seninya. Kamu bisa kok mempelajarinya,” kata Felix seraya menyerahkan sebuah kartu yang bertuliskan STIMDA (Sekolah Tinggi Ilmu Mengumpat Dasan Agung).
“Jika kamu membawa ini saat mendaftar, kamu akan dapat potongan harga 25%.”
“Hei, kamu kok melamun lagi?” sergah mentorku. “Ulangi!”
Aku kembali mengulangi kata S sampai leherku terasa kaku dan tenggorokanku sakit seperti disilet. Mentorku geleng-geleng tidak percaya.
“Sepertinya kamu memang harus banyak-banyak senam lidah. Lidahmu kaku seperti kanebo kering!”
Karena kesal mendengar apa yang dikatakannya, tanpa sadar aku mengeluarkan kata S.
“Bukan, bukan seperti itu. Berapa kali harus kukatakan, gunakan Dasan Agung Style,” bentaknya. Kemudian dia membenarkan umpatanku. Padahal maksudku bukan untuk mempraktikkannya, melainkan untuk melampiaskan kekesalanku.
“Kenapa harus Dasan Agung Style? Kenapa tidak bebas saja?”
Mentorku tidak menjawab, dia malah meninggalkanku. Dia pergi keluar kelas. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan tiga buku tebal. Dia menyodorkan kepadaku Kamus Mengumpat jilid 2. “Kamu tahu, Dasan Agung Style sudah dimasukkan sebagai kata baku dalam Kamus Umpatan Nasional. Kamu seharusnya bangga bisa belajar di sini. STIMDA telah lama menjadi rujukan para ahli bahasa umpatan.”
Kemudian dia juga memberiku dua buku lainnya. “Sepertinya kamu juga perlu baca kedua buku ini agar lebih serius belajarnya!” kata mentorku.
Aku membaca judul yang tertera dalam dua buku itu, dan itu membuatku keder: Sejarah Umpatan dan Filsafat Mengumpat.
“Baiklah mungkin cukup untuk hari ini,” tutup mentorku.
***
Beberapa hari terakhir aku membaca buku Sejarah Umpatan. Setiap materi selesai kubaca harus aku presentasikan di depan kelas untuk dijadikan bahan diskusi bersama teman-teman sekelas. Awalnya aku kesal karena merasa tidak perlu tahu hal-hal di luar yang teknikal. Tetapi mentorku berkata, “Kamu tidak akan pernah mengumpat dengan benar jika tidak tahu sejarahnya dan filosofi di baliknya.” Kemudian aku memaksakan diri membaca, dan benar saja kata mentorku, aku mulai bergairah belajar setelah aku mengetahui bagaimana umpatan bisa menjadi suatu seni dan tradisi seperti sekarang ini.
Semuanya dimulai ketika kekacauan melanda negeri: demonstrasi terjadi di mana-mana, rakyat kelaparan, kekerasan meningkat hingga bentrokan antara rakyat dan aparatur negara tak terhindarkan. Kemudian negara membentuk panitia khusus yang merumuskan U3 (Undang-Undang Umpatan) yang dimaksudkan untuk memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada siapa pun untuk saling mengumpat, melampiaskan kekesalannya selama tidak melakukan kekerasan fisik. Pada mulanya, ketika masih berbentuk rancangan, U3 ini ditentang pelbagai pihak. Mereka yang menentang berpendapat kalau U3 akan berujung pada kekacauan.
“Setiap perubahan pasti akan menimbulkan kekacauan,” kata Presiden ketika memulai langkah radikalnya meresmikan U3. Dan benar saja, pada awalnya kekacauan benar-benar terjadi di seluruh penjuru negeri. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkelahian yang berawal dari saling mengumpat. Kemudian, setiap warga yang melakukan kekerasan fisik ditangkapi satu per satu sebelum kemudian dihukum. Lama-lama mereka mulai beradaptasi dan menerima umpatan sebagai sebuah tradisi, sebagai seni yang diwarisi lintas generasi.
Lalu dari buku-buku yang kubaca, aku jadi tahu bahwa ada banyak riset yang mendukung mengapa manusia perlu mengumpat. Yang paling menarik adalah sebuah riset yang menemukan bahwa mengumpat berhasil meningkatkan produktivitas pekerja, membuat para pekerja semakin bergairah dalam bekerja, mengurangi kekerasan fisik antarwarga negara, dan menurunkan angka kejahatan hingga nyaris nol. Sejak diberlakukannya U3, data statistik menunjukkan kekerasan fisik dan kejahatan menurun dari tahun ke tahun.
Ada satu lagi riset yang menarik, umpatan terbukti mengurangi risiko seseorang terserang stroke dan mengalami serangan jantung. Sebuah eksperimen dilakukan kepada sejumlah penderita darah tinggi. Mereka dibagi menjadi dua kelompok: kelompok pertama dibebaskan mengumpat ketika emosi; sedangkan kelompok kedua dipaksa menahan diri ketika dibuat marah berkali-kali. Hasilnya menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok itu; tidak satu pun dari kelompok pertama terserang stroke dan tekanan darah mereka lebih stabil; sedangkan pada kelompok kedua tercatat banyak yang mengalami stroke dan beberapa terkena serangan jantung ringan. Setelah membacanya aku jadi lebih bergairah mengikuti kursus mengumpat.
***
“Taintele!” umpatku sekuat tenaga. Leherku sampai terasa kaku dibuatnya. Tapi bukannya memujiku, mentorku lagi-lagi mengoreksiku. “Bukan, bukan taintele. Tapi teintele!” kata mentorku membenarkan ucapanku. “Ditulisnya memang taintele, tapi pelafalannya tidak begitu. Ketika fonem /a/ bertemu fonem /ɪ/ pada kata taintele, maka kedua vokal itu akan melebur menjadi fonem /eɪ/.”
“Wah seperti idgam bilaghunnah, dong?”
“Bukan, bukan idgam bilaghunnah. Kalau idgam bilaghunnah itu melebur nun sukun atau tanwin dengan huruf berikutnya. Jadi nun atau tanwin ini tidak perlu dibaca. Teintele tidak meleburkan fonem /a/ dan /ɪ/ agar tidak dibaca, melainkan mengubahnya menjadi /eɪ/.”
Aku terkejut ketika dia menjelaskan dengan serius, padahal aku hanya bercanda. Yang membuatku lebih terkejut lagi, mentorku ini sampai merasa perlu ke belakang mengambil sebuah buku dan menyodorkan padaku: Fonologi Mengumpat. Namun, dari segala keterkejutanku itu, aku paling terkejut ketika dia mampu menjelaskannya dengan tepat perihal mengaji.
Aku memperhatikan lekat-lekat wajahnya. Dia tidak terlihat seperti orang yang pandai atau setidaknya tahu hal-hal seputar mengaji. Tampangnya sangat brutal. Bahkan ketika aku pertama kali bertemu dengannya, aku pikir dia adalah seorang preman. Wajahnya adalah gabungan antara preman pasar dan tukang parkir Indomart. Bagaimana aku tidak terkejut begitu mengetahui dia adalah salah seorang tenaga pengajar di sini? Lalu seolah terkejutan tadi bukan apa-apa setelah aku tahu dia bisa menjelaskan apa itu idgam bilaghunnah. Itu membuatku gatal untuk bertanya.
“Bapak pernah mengaji?”
“Iya. Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Heran saja. Bapak mengaji untuk apa?”
“Mencari ketenangan.”
“Dapat ketenangannya?”
“Aku jadi mentor mengumpat. Menurutmu?”
Aku tertawa nyengir oleh jawabannya itu. Dia menatapku kaku tanpa ekspresi. Dua garis serupa tanda seru muncul di antara alisnya. Untuk mengalihkan perhatiannya, aku bertanya lagi: “Boleh tidak aku mencoba kata L?”
“Kata L!” Mentorku terkesiap. Dia bahkan sampai mengulang pertanyaan itu dua kali. “Kata S dan kata T saja kamu belum fasih. Fonetikmu masih belum tepat melafalkan kedua kata itu, dan kamu sudah berani-beraninya mau coba kata L!”
Aku benar-benar tidak menyangka dia bisa sampai semarah itu. Aku hanya ingin diberi satu kesempatan saja untuk mencoba kata L. Pikirku, mungkin saja aku akan lebih sukses mengumpat dengan kata L. Jika aku bisa melakukannya, mungkin aku akan secara otomatis diterima bekerja meski nilai-nilaiku kurang.
“Kamu harus menamatkan Sejarah Mengumpat jilid 1, 2, dan 3 sebelum mencoba kata L,” kata mentorku. “Kecuali kamu mau dituduh berupaya mendesakralisasi kata L.”
Aku tahu sekali kata L itu memang tidak main-main. Tetapi aku tidak menyangka dia bisa semarah itu. Lagi pula untuk apa baca buku sejarah lengkap? Informasinya kan sudah beredar di mana-mana. Aku tahu bagaimana kata L menjadi sakral setelah seorang Habib karismatik mengumpat menggunakan kata L dalam suatu perayaan Maulid sambil menunjuk-nunjuk poster presiden yang tengah berkuasa saat itu. Karena umpatannya viral, si Habib jadi populer. Dan karena umpatannya itu pula si Habib ditangkap yang berwajib. Lalu karena umpatannya itu pula si Habib didakwa dengan tuduhan menghina simbol negara dan dihukum 20 tahun penjara. Jemaahnya yang tidak terima dengan hasil persidangan mengamuk. Lalu terjadilah kekacauan. Para pendukung si Habib ribut melawan aparat. Ratusan orang meninggal dunia. Tragedi itu membuat rakyat semakin bersimpati kepada si Habib dan juga membuat rakyat semakin membenci pemerintah. Situasi negara saat itu benar-benar gawat. Tindak anarkisme dan perang melibatkan rakyat sipil dan aparat terjadi di mana-mana. Sampai akhirnya presiden mengumumkan pengunduran dirinya lalu kabur keluar negeri dengan alasan berobat ketika para penyidik tengah menyelidiki tindak korupsi yang dilakukan dia dan keluarganya. Lalu untuk mengisi kekosongan pucuk pemerintahan, si Habib diangkat menjadi presiden sampai sekarang.
“Hei kamu tahu tidak kalau mengumpat dijadikan syarat administrasi melamar beasiswa?” Aku kaget ketika salah satu dari peserta kursus tiba-tiba menanyaiku.
“Memangnya bisa begitu?”
“Bisa saja. Apa sih yang tidak bisa di negara ini? Tinggal dibuatin undang-undangnya. Kamu bagaimana? Setuju tidak?” tanya peserta kursus lainnya.
“Aku, aku tidak tahu,” kataku gelagapan. Wajah mereka tampak kecewa. Lalu aku menambahkan, “Tapi pikiran kita tidak penting juga. Mereka toh tetap akan mengesahkannya.”
Kedua orang itu mengangguk. Mereka membenarkan ucapanku. Lalu mereka pergi meninggalkanku yang malah terjebak memikirkan obrolan tadi. Lanjut studi? Tidak. Aku tidak pernah berpikir melanjutkan studi. Aku hanya ingin hidup biasa saja, menjadi pekerja seperti orang-orang kebanyakan: pagi pergi dan pulang sore. Malamnya akan aku habiskan menonton tayangan di YouTube atau membaca cerita-cerita lucu. Lalu aku akan menikah dengan seorang wanita biasa saja, wanita yang mau hidup dengan orang yang biasa-biasa saja sepertiku. Lalu istriku akan melahirkan anak-anak yang juga biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari keinginanku itu. Tapi mengapa aku malah tersangkut di kampus sialan ini? Padahal aku ingin sekali segera lepas dari tanggung jawab orang tuaku. Kasihan mereka. Usia mereka sudah tidak muda lagi. Aku sadar betul aku harusnya sudah tidak lagi bergantung kepada mereka, tapi mereka masih saja membiayai hidupku karena aku tidak juga diterima kerja lantaran belum pandai mengumpat.
***
“Badjingan, sundal, taintele, basong!”
Mentorku mengangguk-angguk ketika aku mampu mengeluarkan empat-kombo. “Sudah lumayan,” katanya memegang jangut tipis di bawah dagunya. “Tetapi itu belum cukup untuk meluluskanmu. Kamu harus berlatih lebih keras lagi.”
Aku benar-benar muak dengan semua ini. Pikirku, semua ini tidak ada gunanya. Aku sudah melakukan segala yang kubisa, tapi untuk lulus tetap saja tidak bisa. Aku ingin berhenti dari semua ini. Rasanya aku ingin mati saja. Lalu ketika pikiran itu terlintas di kepalaku, aku tidak sengaja melihat sekelompok orang yang tengah ribut-ribut memprotes undang-undang terbaru yang dikeluarkan pemerintah. Mereka sedang menunggu mobil presiden yang, katanya, akan lewat sini.
“Ada apa ini?” tanyaku ke salah seorang demonstran yang sedang berteriak-teriak.
“Ini karena UU itu.”
“UU apa? Beasiswa itu?”
“Ah, itu hanya pengalihan isu,” katanya acuh, lalu kembali berteriak-teriak.
UU apa? Aku tidak mengerti. Aku bertanya lagi kepada orang itu. “Kamu tidak pernah nonton berita, ya?” tanyanya. Dia pun menjelaskan bahwa presiden baru saja menandatangani undang-undang yang melarang segala bentuk umpatan kepada pihak pemerintah. Jika sampai ada yang mengumpat kepada pemerintah, apalagi berani mengumpat kepada presiden, maka hukumannya tidak main-main: 20 tahun penjara!
Gila! Presiden bangsat, makiku dalam hati. Padahal dia sendiri yang membuat umpatan jadi tradisi, malah dia yang kini membatasi umpatan. Lama-lama dia mulai meniru pendahulunya yang dulu dia protes dengan keras. Bangsat! Amarah menggumpal di dadaku seperti perut gunung berapi yang hendak meletus. Tubuhku mendadak terasa panas.
“Kamu tahu, bukan cuma UU itu saja yang bermasalah. Presiden juga baru saja mengumumkan bahwa dia mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup!” kata si tukang protes.
Aku tidak mampu lagi menahan laju emosiku. Ketika mobil iring-iringan presiden lewat, aku berlari maju menerobos kerumunan dan berdiri paling depan. Aku ambil mikrofon dari tangan seseorang. Kemudian aku berteriak sekuat tenaga, mengatakan apa yang dulu dikatakannya saat perayaan maulid, kata yang kemudian menjadi sakral dan hanya boleh diucapkan para ahli: Lonte! (*)
Blencong, 2021-2023
- Apa yang Dibisikkan Kifler ke Telinga Jawwad? - 2 August 2024
- Kursus Mengumpat - 1 December 2023
- Sajak-Sajak Aliurridha - 10 January 2023
Bamby
Alhamdulillah cerpen pertama Basabasi telah terbit
Er. Agapi
Keren! Unik dan terus-terusan bikin ngakak!