La Galigo dalam Tafsir Milenial

Judul               : Manurung: 13 Pertanyaan untuk 3 Nama

Penulis                        : Faisal Oddang

Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan           : Pertama, 2017

Tebal               : 128 halaman; 20 cm

ISBN               : 9786020376813

Faisal Oddang hobi berkendara tradisi. Ia sudah menulis novel dengan latar tradisi Toraja, Puya ke Puya (2015), yang mengantarnya jadi salah satu pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Novel Puya ke Puya juga menjadi alasan di balik penobatan Oddang sebagai Tokoh Seni Tempo 2015. Setelah menjelajah tradisi Toraja, Oddang tak kapok mengekplorasi tradisi melalui karya sastra yang ia tulis. Kali ini, ia merespons karya agung dalam tradisi Bugis, La Galigo, lewat medium puisi. Kita dapat menyimak puisi-puisi Oddang itu dalam buku Manurung: 13 Pertanyaan untuk 3 Nama (2017). Sesuai judulnya, di buku Oddang terhimpun tiga belas puisi yang masing-masing berupa pertanyaan ditujukan ke tiga nama dalam epos La Galigo: Datu Palinge, Sawerigading, dan La Galigo.

Perjumpaan Oddang dengan epos La Galigo berawal dari pengalaman masa kecil bersama ayahnya. “Setiap menjelang tidur, ayah saya−Oddang Ranreng, akan bercerita mengenai sebuah pohon raksasa. Pohon tersebut, kata Ayah, menimpa dan membelah gunung menjadi dua bagian ketika berhasil dirobohkan. Selain itu, saking besarnya, telur burung-burung yang bersarang di pohon itu pecah ketika menimpa tanah dan menyebabkan bencana banjir. Ayah tidak pernah menyebut nama tokoh dan tempat juga tahun terjadinya cerita tersebut. Awalnya, saya menganggap cerita itu hanya akal-akalan seorang ayah sebagai bujuk rayu untuk anaknya yang tidak ingin tidur sendiri. Ketika membaca Ritumpanna Welenrengge, saya sadar anggapan saya keliru: cerita Ayah, saya yakini berasal dari episode ritumpanna wlenrengge, dalam La Galigo,” tulis Oddang.

Kisah-kisah yang Oddang anggap “misterius” kemudian menemukan referensinya saat ia belajar Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin. Semasa mahasiswa, Oddang rajin mengumpulkan bacaan apa pun terkait La Galigo. Penelusuran Oddang semakin menjadi-jadi tatkala ia dikirim ke Belanda pada November-Desember 2016 oleh Komite Buku Nasional melalui Program Residensi Penulis. Hasil penelusuran Oddang nantinya diwujudkan dalam sebuah novel, dan Manurung sebetulnya jadi pekerjaan sampingan di sela-sela pengerjaan novel itu. Walau sampingan, Manurung terbit lebih dulu dan tetap tak boleh disepelekan. Kita boleh saja meragukan kelayakan anak muda seperti Oddang dalam merespons karya agung Bugis. Namun, perspektif yang ditawarkan Oddang justru segar, yang dalam term Nurhady Sirimonok: perspektif “milenial dari pinggiran”.

“Kalian tidak tahu nama kami dan tidak mengenal siapa kami./ Kami lahir bukan untuk dikenali, bukan untuk sebuah nama.// Namun, kaliah tahu,// kami yang kalian sembelih untuk sejumlah upacara./ Darah kami yang telah kalian usapkan pada sebatang pohon/ yang akan dipahat menjadi perahu,” tulis Oddang dalam prolog. Jika para pakar lazim memfokuskan kajian La Galigo pada ketokohan para “manusia istana”, Oddang memilih memandang dari luar, dari budak-budak yang sering ditumbalkan. “Tidak ada yang mengenali kami, kami hanya budak-budak/ yang dilahirkan untuk kematian atau hidup di ujung telunjuk dan/ bibir kalian, tetapi untuk semua keresahan itu, kami ingin bertanya,/ kepada Datu Palinge, kepada Sawerigading, kepada La Galigo.”

Budak-budak tak punya kesempatan bertanya di masa lalu. Jangankan bertanya, bicara pun pantang. Pertanyaan itu tertunda jauh, dan baru hadir di zaman ini, melalui milenial dari pinggiran bernama Oddang. Kita boleh tertegun pada pertanyaan kelima, ditujukan bagi Datu Palinge: Ketika cucumu mati lalu tumbuh menjadi padi, bagaimana mungkin cucumu yang lain memakannya dan kau tak menegur mereka? Cuma nakalnya anak muda yang bisa melontarkan pertanyaan itu. Orang tua kita mengerti ada kedewaan yang merasuk di berbagai tumbuhan, termasuk padi. Merawatnya berarti menghormati kedewaan, meski akhirnya yang-dewa itu masuk ke perut-perut mereka, dan perut kita. “Makan” bagi anak muda hampir senantiasa dikonotasikan negatif, yang paling terkenal tentu ungkapan “teman makan teman”.

Oddang sendiri menawarkan jawaban untuk pertanyaan nakalnya itu, “Saat itulah Dunia mulai mengajarkan kepada orang-orang bahwa/ mereka bisa hidup dari kematian orang lain−mereka bisa/ tumbuh di atas tubuh yang lain.// Berkata kau kepada Batara Guru sebelum sabungan kilat/ dan gemuruh guruh memulangkan tubuhnya ke Bumi,/ dia seperti tak mendengar semua ucapanmu. Kau lupa,/ dia belajar banyak hal dari Penderitaan, termasuk berpura-pura,/ −satu-satunya cara agar dia menerima ayahnya sebagai Tuhan/ meski tak sungguh menerima dirinya sebagai manusia.” Oddang seperti ingin menyajikan pernyataan puitis berdasar peristiwa dalam La Galigo dan merujuk ungkapan Latin homo homini lupus sekaligus. Manusia hidup dari kematian manusia lain.

Kita menjumpai prolog apik sebagai pembuka, tapi sayang Oddang menutupnya dengan epilog kurang rapi dan kelewat lugas. Oddang menulis, “Dan kalian masih tak menjawab pertanyaan kami./ Pertanyaan, barangkali juga adalah sebuah jawaban.” Kita berhak sebal. Kita diajak susah payah memikirkan pertanyaan-pertanyaan kepada Datu Palinge, Sawerigading, La Galigo, dan puisi-puisi respon Oddang. Namun, pada akhir penjelajahan Manurung, kita justru diajak menyerah, diajak menerima kenyataan bahwa jawaban atas semuanya bisa jadi pertanyaan itu sendiri. Suara-suara kontemporer yang dikumandangkan Oddang jadi sekadar gema dari suara-suara masa lalu yang telah lebih dulu ada: gema yang belum tentu lebih indah dari suara asalnya. []

Udji Kayang Aditya Supriyanto
Follow Me
Latest posts by Udji Kayang Aditya Supriyanto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!