Kaum Perempuan Minoritas dan Ladang-Ladang Kebaikan di Hyderabad; Sebuah Catatan Perjalanan

Kaum Perempuan Minoritas dan Ladang-Ladang Kebaikan di Hyderabad; Sebuah Catatan Perjalanan
Penulis berada di Mecca Masjid (dok. Pribadi).

Hyderabad—ibu kota Telangana State di India Selatan—adalah tempat saya tinggal selama beberapa bulan. Termasuk salah satu kota dengan jumlah muslim yang cukup banyak. Tak perlu khawatir, mencari masjid di Hyderabad semudah mencari penjual biryani. Tapi…, jika kamu perempuan, jangan harap bisa shalat di masjid. Ya, kadang jadi perempuan itu “susah”.

Beberapa orang yang saya tanyai hanya menjawab, bahwa ini sudah peraturan, lalu mereka “berkhutbah” bahwa di mana pun kita shalat, Tuhan pasti tahu dan malaikat selalu mencatatnya. Salah seorang perempuan muslim bernama Arshia berkata kepada saya, “Kami, para wanita, hanya sekali ke masjid, yakni saat kami meninggal dunia kelak. Kami dibawa ke masjid untuk dishalatkan.”

Miris! Di zaman ketika perempuan tidak lagi dikurung dalam hareem, mereka belum bebas untuk beribadah ke masjid. Sebagai perempuan yang mempunyai perasaan, terang saja saya baper ketika suatu siang di bulan Ramadhan, saya dan beberapa teman laki-laki dari Sudan dan Djibouti akan melaksanakan shalat Zhuhur. Mereka mengajak saya ke masjid. Teman-teman lain yang tidak berpuasa sedang makan siang di restoran. Tetapi, seorang satpam yang mirip Johnny Lever menegur ketika tahu bahwa kami akan pergi ke masjid di seberang restoran. “Nehi woman,” katanya dengan akses India yang sangat kental. Untunglah dia membantu saya meminta izin kepada manajer agar saya diperbolehkan shalat di restorannya. Di sebuah ruang temaram yang agak sempit, saya melaksanakan shalat Zhuhur. Ironis rasanya sebab di seberang restoran sebuah masjid berdiri megah dan luas, tetapi saya justru hanya bisa shalat di ruangan seperti ini.

Pernah suatu ketika, saya dan beberapa teman sedang jalan-jalan di kawasan old city Charminar. Begitu tiba waktu shalat Ashar, kami pergi ke Mecca Masjid, sebuah masjid yang katanya memperbolehkan perempuan shalat di sana. Tapi nyatanya, begitu saya hendak masuk, sebuah tulisan serta-merta menghentikan langkah saya. Perempuan dilarang masuk!

Lho, katanya perempuan boleh shalat di masjid ini?

Iya, tapi hanya di beranda atau halaman masjid. Hal yang lebih menyedihkan dan membuat saya makin baper, teras masjid dipenuhi oleh kotoran burung yang pating tlecek di lantai dan tikar. Bagaimana mungkin saya shalat di tempat kotor nan menjijikkan ini? Merasa di-PHP, saya pun mutung dan balik kanan bak meninggalkan mantan.

Sejak saat itu, ketika waktu shalat tiba dan tidak sedang di hostel, maka yang saya cari bukanlah masjid, melainkan taman atau tempat apa pun yang bersih dan layak sebagai tempat shalat. Sebagai minoritas di antara teman-teman dari negara lain yang tak banyak tahu tentang Islam, kebiasaan ini awalnya terlihat “aneh” di mata mereka. Bahkan, salah satu di antara mereka pernah secara diam-diam merekam saya shalat. Saya baru tahu ketika dua minggu kemudian kami saling follow di Instagram. Saya menemukan video seorang perempuan bermukena sedang berdiri, rukuk, i’tidal, dan sujud di sebuah taman, dengan caption singkat berbahasa Spanyol yang setelah saya cek di Google Translate artinya yang saya lihat di India. Ya, perempuan itu adalah saya.

Lain waktu, ketika adzan Maghrib berkumandang di seantero kota Hyderabad, saya masih beraktivitas di luar. Salah seorang teman dari Venezuela bertanya kepada saya, “Ini saatnya kamu shalat, kan?” Saya mengangguk dan berpamitan untuk shalat, meski saat itu belum tahu di mana saya akan shalat. Dia—yang sebelumnya pernah merekam saya shalat—berinisiatif untuk menemani. Kami pun berjalan sambil melihat sekeliling, mencari tempat yang layak untuk shalat. Kami berhenti di sebuah bangunan yang belakangan saya ketahui sebagai kantor asosiasi insinyur di Hyderabad. Halamannya ber-paving, bersih, dan cukup luas. Di dalam ruang tamu, tiga orang pria sedang berbincang. Teman saya memintakan izin kepada mereka agar saya bisa shalat di halaman. Dengan sangat ramah mereka mempersilakan. Namun, baru saja saya hendak menggelar alas untuk shalat, salah satu dari mereka memanggil, “Madam… come inside, you can pray here.”

Mereka keluar dan berbincang-bincang di teras, sedangkan saya masuk dan shalat di ruang tamu. Teman saya duduk di kursi yang berjarak sekitar tiga meter di samping kiri, menunggui saya shalat. Usai shalat, saya pamit seraya mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka.

Sebagai muslim sekaligus perempuan, hal ini sangat bernilai dan berkesan bagi saya. Dari tilak di kening mereka, saya yakin bahwa mereka beragama Hindu. Saat saudara sesama muslim melarang saya shalat di masjid, justru mereka yang beragama lain menyediakan tempat bagi saya untuk melaksanakan kewajiban sebagai muslim.

Sampai saat ini, saya memang tidak tahu pasti dasar hukum yang dipakai oleh muslim di Hyderabad untuk melarang perempuan shalat di masjid. Namun setidaknya, saya mulai bisa melihat dari sisi lain, bahwa pelarangan terhadap perempuan untuk pergi ke masjid justru menjadi ladang kebaikan bagi orang yang mau menyediakan tempat shalat bagi si perempuan.

Ayun Qee
Follow Me

Comments

  1. Puput Tyas Reply

    Hanya ingin meninggalkan jejak kalau saya sudah membacanya, Kak. Nice share!

    • Qurotul Ayun Reply

      Thank you, dear. Semoga bisa ke lihat Taj Mahal di India seperti keinginanmu.

      • Puput Tyas Reply

        Aamiin… *hugs*

  2. Maya Nirmala Sari Reply

    Cerita yang sangat menyentuh… pasti ada hikmah dari setiap kejadian, bukan?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!