Lagu Sedih di Hari Pernikahan

Martyn Cook

Rokidin masih duduk di ambang pintu. Tatapannya kosong. Ia lepaskan jas pengantinnya. Tidak karena cuaca, tapi dalam dadanya demikian panas. Dari mulutnya kembali keluar serapah ketika jas yang dilepaskannya itu dilemparkan ke arah panggung. Ia tatap panggung yang masih berantakan, sisa kekisruhan.

Orang-orang telah pamit pulang. Bahkan, mereka yang sinoman juga telah pamitan. Kecuali beberapa anggota keluarga dekat dan ibu-ibu di dapur yang masih merampungkan masakan. Terlalu sayang jika tak dituntaskan.

Samsuri, ayah Rokidin, duduk di atas pelaminan dengan rokok yang baru disulut, entah ini sudah kretek yang keberapa. Amarahnya telah susut. Meski demikian, matanya masih menatap Rokidin yang ada di ambang pintu. Kali ini penuh kepiluan. Rasa marah, karena anaknya yang gegabah, jadi satu dengan rasa malu akibat ditinggalkan besan dan menantu tepat di hari pernikahan anaknya.

Wasriah masih pingsan di kamar, ditemani sejumlah sanak saudara. Wasriah tak pernah menyangka akan begini jadinya. Pernikahan anak bungsunya yang sudah ditunggunya lama hampir sepuluh tahun selepas anak itu mendapatkan pekerjaan malah berantakan hanya karena persoalan sepele.

***

Sebuah pagi yang cerah adalah berkah bagi mempelai yang tengah menikah, sebagaimana malam yang hujan bagi mereka untuk berduaan.

Rokidin menggandeng erat tangan Nurhayati dengan perasaan yang belum pernah dirasakannya semenjak pacaran tujuh bulan lalu. Ia tidak lagi takut akan dosa, ia tidak pula malu dengan tetangga. Masih hangat di kepalanya, dan sepertinya akan kekal di sana, perkataan penghulu di mushola setelah ijab qobul lancar dilakukan: “Mas Rokidin, sekarang Mbak Nurhayati sudah halal bagi Mas Rokidin. Telah menjadi milik Mas Rokidin sepenuhnya. Mau pegang tangan, cubit-cubitan, ciuman, atau kuda-kudaan juga sudah halal. Bahkan dihitung ibadah.” Mengingat itu senyumnya mengembang, sama juga dengan senyum Samsuri dan Masriah serta orang-orang yang mengiringi langkah pengantin dari mushola, tempat dilangsungkannya akad nikah, ke arah rumah hajat.

Di depan rumah telah ada tenda yang menaungi pelaminan dan kursi-kursi tamu. Di sekitar rumah segala perlengkapan sound system siap sedia. Speaker sudah dihadapkan ke empat arah angin di sejumlah tempat. Di depan pelaminan, melewati kursi-kursi tamu, berdiri panggung dengan satu organ tunggal di atasnya. Banyak bunga melati bergelantungan menghiasi sisi-sisi panggung yang disediakan sebagai hiburan bagi tamu dan warga.

Nurhayati, kekasih yang telah resmi jadi istri Rokidin, hobi menyanyi, dan dia dengan Rokidin sudah berlatih pula untuk bernyanyi di panggung itu khusus untuk hari ini, merayakan pernikahan dan menghibur para undangan.

            “Nanti kita nyanyi ‘Takkan Habis Cintaku’, ya?” kata Nurhayati sebulan yang lalu.

            “Tapi kalau aku nyanyinya ada cengkok dangdutnya nggak apa-apa, ya?”

            “Makanya kita latihan. Kamu pengen nyanyi lagu apa?”

            “Jelas dangdut, dong….”

            “Tapi jangan yang sedih, ya.”

            “Ya nggak, lah…”

            “Lagu apa?”

            “Bahtera Cinta.”

            “Kalau nanti aku nyanyinya nggak ada cengkoknya gimana?”

            “Makanya kita latihan….”

            “Apaan sih niru-niru.”

Nurhayati bukan tak suka dangdut, ia bahkan tahu banyak judul dan penyanyi lagu dangdut, dan mulai hafal beberapa liriknya ketika berpacaran dengan Rokidin. Tapi ia jengkel jika dalam perhelatan pernikahan yang diputar justru lagu-lagu dangdut penuh kesedihan. Ia tak pernah menghitung berapa kali, tapi lekat benar di ingatannya, banyak hajatan yang didatanginya yang memutar lagu-lagu melow dari Ine Sintya, Yulia Citra, dan Rana Rani, atau Meggy Z dan Mansur S, serta lagu-lagu lain yang justru merayakan patah hati dan kekecewaan. Maka, salah satu syarat yang diajukan ketika akan menggelar resepsi pernikahan adalah dilarang ada lagu sedih, baik dangdut maupun bukan. Dan Rokidin menyanggupinya.

Saking banyak dan ribetnya urusan pernikahan, Rokidin lupa memberi tahu tukang sound system untuk tak memutar lagu sedih di acara pernikahannya. Sekitar pukul satu siang ketika para tamu berdatangan, speaker malah menyiarkan lagu “Sumpah Benang Emas”. Awalnya lagu itu tak disadari oleh Nurhayati yang tengah menyambut tamu di pelaminan, tapi akhirnya ia sadar juga ketika tak ada tamu yang disalami. Ia memandang marah kepada Rokidin. Rokidin kaget melihat wajah mempelainya. Ia mendekati Nurhayati yang meluapkan kekecewaanya melalui bisikan. Rokidin segera mengerti dan memohon maaf, tapi wajah Nurhayati masih saja masam. Rokidin lalu memberi kode kepada saudaranya yang ada di barisan kursi tamu untuk naik ke pelaminan. Dibisikinya saudaranya itu dengan perintahnya untuk tukang sound system.

Tak berapa lama, tak ada lagi suara nyanyian dari speaker. Samsuri yang merasa sepi dengan suasana hajatan mendatangi tukang sound system. Lalu meluncurlah lagu “Pengantin Baru”.

Di atas pelaminan Rokidin sudah bisa tenang, tapi Nurhayati masih saja menunjukkan wajah kecewa. Dengan bisikan-bisikan dan gerakan tertentu, Rokidin berkali-kali meminta maaf dan mencoba menenangkan Nurhayati, tapi perempuan itu masih geming. Ia hanya memasang senyum, dan terlihat benar dipaksakan, ketika ada tamu yang datang dan menyalami. Selebihnya mukanya masam. Nurhayati memang keras kepala dan bila marah atau kecewa sulit diredakan.

Rokidin melihat ke arah barisan kursi tamu, ada tamu yang asyik makan, ada yang sibuk mengobrol, dan ada juga yang memperhatikan ia dan Nurhayati. Tentu ia tersenyum ketika pandangannya bertemu dengan tamu yang melihat ke arahnya. Ia pandang lagi Nurhayati, dan mukanya masih tak kunjung ceria. Merasa tak elok jika pengantin tidak menunjukkan raut kebahagiaan, akhirnya Rokidin turun dari pelaminan dan menemui ibunya.

Ia menceritakan masalahnya, dan Masriah meminta agar Rokidin menjelaskan masalah ini kepada mertuanya, agar pihak mertua yang menenangkan mempelai perempuan.

Mertua perempuan naik panggung bersama Rokidin, lalu menasihati Nurhayati bahwa tidak baik menunjukkan wajah masam di hadapan para tamu, tidak baik pula bertengkar di hari bahagia, apalagi Rokidin sudah meminta maaf. Dan di speaker masih terdengar lagu “Pengantin Baru” yang terus diulang.

“Untuk hal kecil saja dia tidak kerjakan, apalagi hal besar. Janjinya dulu nggak akan ngulangi. Ini masih terulang.” kata Nurhayati kepada ibunya yang jelas-jelas itu ditujukan kepada Rokidin yang juga menyimak.

Mendengar perkataan itu wajah Rokidin mulai merah. Ia merasa sia-sia meminta maaf dan membujuk Nurhayati.

Para tamu mulai menyadari bahwa ada yang tak beres dengan pengantin. Beberapa memilih cepat-cepat ke pelaminan untuk bersalaman sekaligus pamitan, beberapa menunggu hiburan di panggung utama. Sebenarnya, hiburan masih setengah jam lagi, tapi oleh Samsuri, yang merasa suasana di pelaminan makin runyam, akhirnya minta dimajukan.

Organ tunggal pun dicek. Pelantang juga dicek. Organ Tunggal Dendang Mesra pimpinan Mang Dadang Sunandar pun siap menghibur para tamu. Tapi, di pelaminan Rokidin kembali gusar sebab ia juga lupa untuk memberi tahu Mang Dadang agar para biduannya tidak membawakan lagu-lagu sedih.

Merasa sudah dipersilakan, Mang Dadang memainkan organnya, satu biduan ke tengah panggung, untungnya ia menyanyikan “Pertemuan”. Namun, agar di lagu berikutnya tidak ada masalah, Samsuri naik ke atas panggung dan berbisik kepada Mang Dadang yang tengah bermain organ tunggal mengiringi biduan bernyanyi. Mang Dadang lalu balik berbisik agar Samsuri mengambil daftar lagu di saku kemejanya. Samsuri membaca daftar itu dan mengembalikan ke saku. Ia telah tahu semua lagu, dan semuanya lagu bahagia. Ia mengucapkan syukur atas kebetulan itu.

Ketika lagu pertama selesai dilantunkan, si biduan menawarkan kepada tamu undangan yang mau menyumbangkan lagu. Ini sudah biasa dilakukan oleh OM Dendang Mesra untuk mereka yang menyelenggarakan hajatan dengan bayaran tidak penuh. Mengambil tamu undangan untuk bernyanyi adalah mengurangi durasi kerja para biduan.

Rokidin di pelaminan kembali gusar, tapi Samsuri memberi kode dari jauh untuk tenang sebab Mang Dadang sudah diberinya pesan agar tidak membawakan lagu sedih.

Seorang lelaki berdiri dan menyambut tawaran biduan. Rokidin tidak kenal lelaki itu, tapi ia adalah salah satu dari para tamu yang tadi lebih memilih melihat ke arah mempelai daripada asyik makan atau mengobrol. Sementara di sebelahnya, Nurhayati, kini gusar ketika sadar itu adalah Tarmudi, mantan kekasihnya. Kenapa ia bisa datang padahal ia tidak mengundangnya? Untungnya Rokidin tidak mengenal Tarmudi secara langsung. Nurhayati hanya bisa berharap laki-laki itu tak berbuat macam-macam.

Laki-laki itu mendekati Mang Dadang, menanyakan apakah bisa mengiringi lagunya. Ia sebut judul lagu dan diiyakan oleh Mang Dadang. Sebelum manggung sebenarnya Mang Dadang sudah kesal kepada yang punya hajat sebab harga manggungnya ditawar cukup rendah, dan pakai banyak aturan segala. Lagipula sesedih apa pun lagu dangdut bisa dinikmati sambil bergoyang. Maka ia mainkanlah organ tunggalnya sesuai permintaan Tarmudi.

 

Nostalgia masa berpacaran

yang tak dapat terlupakan…

Permulaan lagu itu dilafalkan Tarmudi dengan menatap penuh sungguh kepada Nurhayati. Dan yang ditatap memberikan balasan yang sama sengitnya. Berulang-ulang berlangsung seiring nyanyian Tarmudi. Semuanya berlangsung di depan Rokidin yang perasaan marahnya mulai dicampuri cemburu. Apalagi ketika Tarmudi sampai pada lirik yang menyebut nama Nurhayati.

Dibakar cemburu, Rokidin naik ke atas panggung dan hampir menghantam Tarmudi kalau tidak dicegah Mang Dadang. Merasa tak terima karena aksinya dicegah, Rokidin malah menendang Mang Dadang. Tarmudi tak tega melihat orang yang tak bersalah itu ditendang, ia pun memukul Rokidin. Rokidin tersungkur ke organ tunggal yang langsung jatuh karena tertimpa tubuhnya. Ia angkat organ itu dan memukulkannya ke Tarmudi. Tarmudi menghindar, Rokidin terhuyung dan tubuhnya langsung ditendang Tarmudi. Para tamu naik ke panggung dan berusaha melerai. Sementara di pelaminan Nurhayati hanya bisa mengisak.

***

Di dalam kamar, Masriah telah siuman. Ia memanggil-manggil Rokidin yang langsung mendekat ke sisi ibunya.

“Susul istrimu,” bisik ibunya.

            “Bagaimana kalau dia tidak mau?”

            “Itu tugasmu. Bujuklah agar dia mau.”

Rokidin hendak berkata lagi sebelum ibunya kembali meminta untuk lekas menyusul Nurhayati.***

(Cerita di atas disusun berdasarkan ingatan pada lagu “Terbayang-bayang” yang dipopulerkan oleh Ona Sutra.)

Asef Saeful Anwar
Latest posts by Asef Saeful Anwar (see all)

Comments

  1. Gita FU Reply

    Kok, asik, ya, ceritanya… 😍

    • Admin Reply

      kalau nggak asik, nggak dimuat, Kak. hahaha!

  2. Anonymous Reply

    Pas keasikan membaca ceritanya, laah tiba-tiba mandeg. berakhir sudah.
    hahaha

  3. sukanda Reply

    luar biasa a.asef .ceritanya biasa namun bisa menggambarkam suasana.cirebon…terus berkaraya a asef.ngomong.cirebonen ning endi ya.kula gen cirebon..salam sastra.salam budaya jeh

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!