Lalu Lintas Hoax di Tolikara

 

hoax-lamouette

“…. Saya tidak pernah lupa bahwa tetangga kami yang Katoliklah yang menampung kami di rumahnya saat konflik panas-panasnya. Tetangga kami yang beragama Kristenlah yang menjaga area rumah kami agar tidak menjadi sasaran. Jadi, sebenarnya siapa atau agama mana yang berkonflik saat itu?”

Catatan Mohammad Ilham B, wartawan Jawa Pos, tentang Konflik Kupang.

Di kalangan para akademisi, sudah menjadi rahasia umum bahwa sejatinya Perang Salib bukanlah perang antarumat beragama. Ia sejatinya tak lebih bernilai dibanding spirit kolonialisme klasik untuk merengkuh “gold, gospel, and glory”. Bahwa nuansa agama lalu meningkahi hiruk-pikuk masa kelam peradaban dunia itu, hal demikian tak lebih dari sekadar “bumbu heroisme” untuk menggerakkan laju kaki para “martir perang”. Pekik “Tuhan telah menghendaki” di kalangan pasukan Salib menjadi mantra saktinya; sebagaimana pekik “syahid” bekerja sebagai mantra sakti bagi prajurit Islam.

Dunia pun telah berubah sedemikian pesatnya. Meninggalkan debu-debu kenangan penuh nestapa masa gelap peperangan itu.

Sayangnya, zaman yang telah berubah sedemikian telaknya, juga pencapaian akademik yang sedemikian julangnya, di tangan sebagian manusia kurang piknik di negeri ini masih saja “diperkosa” untuk mengobarkan api kebencian. Tolikara menjadi “proyek” kesekian kalinya, setelah Kupang, Poso, dan Ambon bertahun silam.

Di luar masalah radikalisme yang selalu menginfeksi “oknum-oknum beragama” di belahan bumi dan zaman apa pun, lalu lintas hoax (dusta) kini menjelma senjata provokasi yang amat dahsyat kuasanya. Anda tinggal berkelana ke jagat media sosial, dijamin dalam sekejap akan ditumbuki oleh jubelan kabar hoax yang dengan murah hati ikhlas bak berpahala diposting dan di-share oleh sebagian besar pemukim internet. Bila temanya berbau agama, ia akan begitu serak meledak bagai tebaran tepung yang berantakan di jalanan.

Kita niscaya tak karib dengan nama Tolikara sebelum hari Idul Fitri kemarin. Gara-gara meletus konflik berbau agama yang oleh Komnas HAM dinyatakan sebagai aslinya hanyalah “efek samping” dari kelambanan pejabat dan aparat setempat dalam mengantisipasi beredarnya “surat gelap” GIDI itu, kita semua jadi fasih mengucapkannya. Tentu, turut berjibaku dengan lalu lintas hoax itu. Maklum, dunia viral yang menuntut watak kekinian selalu memberahikan para aktivisnya untuk eksis, dalam kapasitas apa pun. “Seawam apa pun, yang penting eksis biar kekinian,” begitu kredonya.

Di hadapan watak inilah, lalu lintas hoax menjadi senjata yang amat mengerikan. Saat muncul postingan “surat gelap” yang telah dimodifikasi, yang dituding sebagai biang keladi kerusuhan itu, tanpa ampun kita jadi buzzer gratisan yang menyebarkannya bagai mendapat panggilan jihad fi sabilillah, tanpa merasa perlu tahu terlebih dahulu validitas sumber beritanya. Ratusan portal anonim pun turut meramaikannya. Tentu, dengan bumbu-bumbu hoax lainnya. Mantan Ketua GP Ansor, misal, Chatibul Umam Wiranu, “diberitakan” menghina Banser sedemikian rupa sebagai pihak yang lalai menjaga masjid lantaran sibuk menjaga gereja yang berbayar. Tak tanggung-tanggung, kabar hoax ini dikemas seolah sangat ilmiah-jurnalistik dalam sebuah interviu. Luar biasa!

Saat kemudian muncul bantahan atas postingan “surat gelap” itu, disertai bukti-bukti analisis ilmiah metadata foto itu, sebagian kita dengan malu meralat share dan komen terhadap  surat yang memang ada itu, tetapi isinya sudah direkayasa, di-hoax-an.Tapi sebagian besar lagi, yang tak tahu atau keras hati dengan cara bermasa bodoh, bersikukuh dengan imajinasi hoax yang kadung menduduki mahkota pikirannya. Tolikara ternyata jauh lebih membara di kepala kita yang mengasup kabar-kabar hoax itu ketimbang realitas di lapangan. Tolikara ternyata jauh lebih hiruk-pikuk di antara kita yang tak pernah terjun ke lokasi terpencil itu.

Jika fitnah hoax ini ibarat sebuah bantal yang disobek lalu ditebar-tebarkan kapuknya, begitu kata Cak Rusdi Mathari (seorang jurnalis), dan diminta lagi untuk dimasukkan ke sarungnya, bagaimana cara membersihkan semua debu kapuk yang telah kadung membumbung ke angkasa?

Begitulah dampak dahsyat tebaran lalu lintas hoax di antara kehidupan kita kini. Sekali senjata hoax ini diberondongkan, maka sejak saat itulah ia takkan pernah mampu memulihkan nalar yang telah bengkok, mindset yang telah kadung sesat, dan kekerasan hati yang telah gulita.

Dalam kajian Noelle-Neumann (2002), kabar hoax telah turut menjelma bagian dari bullet theory: “peluju ajaib” media yang diperankan oleh berita yang menembaki isi kepala kita. Jika kita tertembak, jika sebuah peristiwa tertembak, jadilah kita semua sebagai tumbalnya.

Kini kita tahu, Tolikara hanyalah satu sampel aktual saja dari tumbal hiperrealitas yang melampaui realitasnya berkat lalu lintas hoax-hoax itu. Setelah ini, dalam kasus apa pun, dari urusan isu reshuffle kabinet hingga korban kecelakaan tol Cipali, hoax-hoax akan terus menjejali kamar pikiran kita. Takkan ada habisnya. Ia akan terus menumbalkan nalar sehat dan nurani kita sampai kita menjadi manusia yang benar-benar buruk rupa didera kebencian-kebencian;  tentu, kecuali kita yang lebih bahagia hidupnya sebab piawai untuk memilih mendahulukan akal dan nurani.

Pertanyaan reflektifnya untuk setiap kita kini ialah sudahkah kita berhasil menggunakan nalar dan nurani yang dianugerahkan Tuhan untuk membedakan kita yang manusia dengan binatang pada tempatnya?

Jika ternyata belum, kini kita tahu level hidup kita sejatinya ada di mana. Begitu, Kawan?

 

 

Jogja, 24 Juli 2015

Sumber gambar: cocoonetmoi.fr

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!