Di sebuah masjid kecil di sebuah kota kecil, dua-tiga tahun silam, saya dan seorang kawan nunut bermakmum shalat Maghrib. Sang imam yang sepuh membaca Faatihah dengan suara gemetaran. Maklum, sudah sangat sepuh.
“Ghairil maudu bi ngalaihim waladd dhallin….”
Makmum belasan orang menyahut, “Ngaaamiinnn….” Hanya saya yang menyahut: “Aaamiinnn….”
Kami pun melanjutkan perjalanan diiringi pisuhan-pisuhan kawan tadi. Osa-asu bergugukan dari mulutnya yang tak sepi klepas-klepus.
“Itu bacaannya salah. Tajwidnya Jawa banget, bahasa Arab tak mengenal kata ngain. Itu salah,” ujarnya.
“Lha kok nggak berhenti saja shalatmu tadi?” tukas saya.
“Asu!” desisnya.
“Bahasa Arab nggak ada kata asu, adanya kalbun.”
Kami terkekeh. Sampai pada perayaan Isra’ Mi’raj di Istana Negara beberapa hari lalu, Yasser Arafat, dosen UIN Sunan Kalijaga Jogja, membacakan surat ayat-ayat al-Qur’an dengan nada njawani. Langgam Jawa.
Publik pun rusuh. Terutama para kimcil penghuni provinsi Facebook. Juga sedikit di provinsi Twitter. Kalau di provinsi IG, nggak ada yang ributin langgam, sebab semua warganya sibuk mentelengi postingan dedek-dedek gemes. Dedek-dedek gemes tentu lebih menyentuh perasaan dibanding Yasser yang senior saya, kan?
Sampai saya menuliskan celoteh ini, saya tak berhasil ngopi sama Kang Yasser. Tetapi saya berjumpa Prof. Quraish Shihab. Pendeknya, beliau mengatakan begini:
Hadits yang dinisbatkan pada Rasul tentang “keharusan” membaca al-Qur’an dengan langgam Arab itu, sekalipun umpama ia shahih, tidak berarti terlarang membaca al-Qur’an dengan langgam-langgam non-Arab, sepanjang tajwidnya benar. Apalagi hadits yang diriwayatkan an-Nasa’i al-Baihaqy dan al-Thabrani itu (bukan Tirmidzi) oleh para ahli hadits disebut-sebut lemah (dhaif) sanadnya, karena dalam rangkaian perawinya ada sosok Baqiyah bin al-Walid yang dikenal lemah riwayatnya (majhul).
Wolah, saya mah apa di depan beliaunya, palingan hanya sang kakak penggemes yang penuh sentuhan hati sama dedek-dedek gemesnya. Aiwa, saya pun amin pada beliaunya.
Jadi, jika kalian tidak percaya pada otoritas dan kapasitas Prof. Quraish Shihab karena merasa lebih ahli sebab percaya pada link-kompor-icik-icik-gitu-deh, berhenti sajalah membaca celoteh ini. Jangan lupa adus, jungkatan, bedakan, lalu adus lagi, jungkatan lagi, dan bedakan lagi. Biar ndak sakit hati sendiri, lalu ndak bisa tidur sendiri.
Ini dia hadits yang ramai dijadikan rujukan itu:
“Bacalah al-Qur’an dengan suara orang Arab…., jangan sekali-kali membacanya dengan suara orang-orang fasik dan dukun. Nanti akan datang orang-orang yang membacanya dengan mengulang-ulangnya seperti pengulangan para penyanyi dan para pendeta atau seperti tangisan orang yang dibayar untuk menangisi seseorang yang meninggal.”
Arab. Ini dia biang keroknya. Yuk, kita cuss ke Arab dulu. Arab masa unta dulu, bukan masa kini yang dijejali Prado, GMC, hingga Porsche dan Lamborghini.
Di era Nabi, yang disebut “Arab” ialah wilayah kecil yang meliputi Makkah, Yatsrib (kini Madinah), sebagian kecil lagi di wilayah Bani Tamim (kini Riyadh), dan sebagian pesisir timur Jazirah Arab. Penghuninya adalah kabilah-kabilah yang sangat banyak. Dan, kabilah yang paling terkenal adalah Quraish, keturunan Ismail bin Ibrahim As., yang jago syair-syair itu. Bukan Hujan Bulan Juni tapi.
Semua kabilah Arab itu berbahasa Arab. Jadi, di luar itu, tidak disebut Arab, termasuk Syam, Irak, Sudan, Yaman, Iran, dan lainnya.
Mari stabilo tabletmu mulai di sini, mereka memiliki lahjah (cara pengucapan dan pemaknaan) yang berbeda-beda antarsatu dengan lainnya. Dalam situasi demikianlah al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah Saw.
Lahjah dikenal mencakup tiga kategori: (1) Perbedaan pengucapan pada satu kata yang sama, (2) Perbedaan ucapan dan makna pada satu kata yang sama, dan (3) Perbedaan kata yang khas pada satu lahjah dan tidak dikenal pada lahjah-lahjah lainnya. FYI, di Madura juga berlaku hal-hal demikian lho. Jadi, Arab dan Madura secara klasifikasi lahjah samaanlah tipikalnya.
Dari tiga kategori ini, nagham (langgam, nada, irama, dll.) dengan sendirinya masuk ke dalam poin satu dalam urusan lahjah ini.
Ibnu Abbas Ra. yang orang Quraish dan dijuluki penerjemah al-Qur’an menuturkan bahwa ia pernah bingung dengan makna kalimat “fathirus samawati” karena tidak mengenalnya sama sekali. Ia baru tahu makna kalimat itu setelah berjumpa dua orang Arab dari kabilah lain dan berkata salah satunya kepada Umar bin Khathab tentang sebuah sumur: “Ya Amirul Mu’minin, ana fathartuha.” (Wahai Amirul Mukminin, saya yang membuat sumur itu). Oh, berarti makna kalimat “fathirus samawati” adalah “pencipta langit”, begitu kira-kira gumaman Ibnu Abbas Ra.
Lihat, perbedaan lahjah (include nagham) dalam pengucapan bahasa Arab, juga pembacaan al-Qur’an, merupakan realitas empiris sosio-kultural dari masa awal diturunkannya al-Qur’an. Ayolah, cerdas sedikit, Qira’ah Sab’ah tidak berada di sini urusannya. Qira’ah Sab’ah berkembang jauh belakangan dari catatan sejarah lahjah ini. Sana, tanya kiai Google.
Orang-orang Arab saja di masa yang sama saja beragam lahjah dan nagham-nya, apalagi kini. Apalagi kita. Kita lho. Iya kita ini yang orang Jawa, Sunda, Makassar, Aceh (dll.), yang jarak dan masa hidupnya jauh mleketik dari masa penurunan al-Qur’an.
Percayalah pada saya di sini, di Jawa ndak ada unta. Klangenan orang Jawa itu perkutut. Ya wajar bila secara georgafis-fenomenologis-diftongis-aksentuatis (modyaar ra?) orang-orang Jawa lalu memiliki kekhasan bahasa tersendiri bukan hanya dalam konteks lahjah, nagham, tetapi bahkan sebagai tradisi sebagai spirit of existence-nya.
Oh ya, kata Martin Heidegger dalam Being and Time, bahasa adalah To Be Being. Mengada. Menjadi Ada (kapok urung?). Bahasa menunjukkan keseluruhan tanda eksistensial manusia. Bahasa Jawa ya Being-nya orang Jawa, bahasa Arab ya Being-nya orang Arab, dan seterusnya.
Being-nya orang Jawa jika dipaksa harus serupa lahjah dan nagham Arab, misal, tercerabutlah itu semua identitas eksistensialnya sebagai manusia. Dan itu tak mungkin terjadi. Kecuali sampean ngotot angon unta di Wirosaban atau Banguntapan supaya dapat barakah unta, lalu sampean hendak berbisnis susu unta, dengan keyakinan bahwa itu susu sezaman dengan Rasul dan minuman kesehatan lahir-batin, yang kini saya saksikan sendiri berkali-kali oleh suku Baduwi Arab di tepian kota Makkah diperas secara huek dan dijual seharga 10 riyal dengan tidak higienis kepada jamaah haji/umrah yang sibuk selfie bareng unta.
FYI, hanya Mas Ibnu yang doyan susu unta, makanya ia begitu penuh berkah. Lol.
Saya sungguh tak habis pikir, mengapa kian bejibun orang masa kini yang menempatkan diri lebih jumawa dibanding Ibnu Abbas Ra., seolah fasih semua lahjah dan nagham kabilah-kabilah Arab di masa turunnya al-Qur’an, padahal ia hidup di tangan Mark Zukerberg yang notabene keturunan Yahudi itu.
Saya pun tak habis pikir, kenapa kian berjubel orang yang ingin menyulap suaranya selenguh unta di kampungnya sendiri, padahal ia keturunan perkutut dan tak pernah tahu bahwa daging unta kalah yummy dibanding daging bacon.
Entahlah.
Hari gini adalah hari di mana semua mulut (dan jempol) begitu kuasa untuk berbicara, ngotot memfatwa, ngejudge, merasa lebih akademisi dari Prof. Quraish Shihab, sampai-sampai lupa untuk adus, jungkatan, dan bedakan. Maka nggak heran, tampilannya udah kayak wedus. Dan ini akibat dosa Zukerberg yang bermurah hati memberikan TOA pada semua orang, sehingga hidup jadi sangat riuh-gaduh oleh embikan wedus-wedus fals, cempreng, ember pecah, yang pada mengaku Irwan.
Eh, punten, saya kasar ya?
Duh, Dek, nggak kok, suer, saya tak bermaksud kasar begitu. Bagaimana mungkin saya yang penuh sentuhan kasih karena selo-care sama dedek-dedek gemes sampai tega berkasar-kasar padamu? Nggak mungkinlah.
Kecuali, kamu-kamu yang tak kunjung nyadar bahwa hidupmu aslinya hanya serupa nun sukun bertemu ba’.
Meniru langgam Derrida, itu situasi di mana kamu “Ada tanpa Ada”. Kurang ilmiah ya istilahnya? Baik, sebut saja sebagai pseudo-compulsive-delusive-sociopathetic-syndrome.
Nggak paham?
Kapokmu kapan!
Sumber gambar: vauzi.net
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Antsomenia
saya mau coba ah pake langgam minang
Kaos Idola
Yaaa bagus pake langgam timur ala Abdul Stanup Comedy.
Umi Sakdiyah
entah kenapa aku yo ra mudheng nek moco sing terlalu ilmiah mas Edi, malah dadi kamisesegen :v :v