
Namaku Aga. Pramoe Aga. Cerita ini kutulis pukul sebelas malam pada tanggal 18 April 2013, satu jam sebelum hari ulang tahunku yang ke tiga puluh dua. Satu jam sebelum aku ditemukan tak bernyawa di depan kue ulang tahun yang lilinnya sudah padam.
Kematian memang kerap datang tiba-tiba. Dia seperti begundal yang mengendap-endap, kemudian menyergap mangsanya saat lengah. Mungkin memang seperti itu cara kerja malaikat pencabut nyawa. Hari di mana aku seharusnya berbahagia karena bertambah usia, justru hari terakhirku menghirup napas. Hari di mana aku seharusnya berkencan dengan Maria dan melamarnya, ternyata justru hari perpisahanku dengannya untuk selama-lamanya.
Padahal aku sudah menyiapkan segala hal dengan sangat sempurna. Cincin di saku celana, booking meja kafe di jam 12 malam, pemain biola yang akan membawakan “By Your Side” dari Sade dan “Linger” dari The Cranberries, dan tentu saja sebaris kalimat sakralnya; will you marry me? sembari aku mengeluarkan cincin dari saku celana.
Aku membayangkan mata Maria berkaca-kaca, lalu dengan senyum semringah dia akan menganggukkan kepalanya. Kukenakan cincin di jari manisnya. Kami berpelukan, bergenggaman tangan, dan pemain biola akan terus menggesek biolanya dengan “By Your Side” yang meluluhkan hati.
Sial. Ini hanya jadi rencanaku semata, sebab secara tiba-tiba seorang malaikat maut datang di luar rencana. Dia langsung menyergap tanpa aku sadar, lalu mencabut nyawaku tanpa bertanya. Aku terkulai di kursi kafe dan jeritan histeris pemain biola mengantarku menuju kematian yang menakutkan.
****
Aku mengenal Maria dua tahun silam, saat kami sama-sama datang ke acara Fiksi Mini di Jogja. Komunitas fiksi 140 karakter di Twitter yang digagas Agus Noor. Dia perempuan yang menyenangkan, berumur tiga puluh tahun. Sama denganku. Sama-sama menyukai kopi. Dan sama-sama memiliki hobi mengoleksi kartu pos dari berbagai daerah dan negara.
“Aku punya kartu pos yang dikirim seorang kawan dari Uruguay,” ucap Maria saat mengetahui kami memiliki hobi yang sama. “Ada beberapa yang dia kirim. Tapi aku paling suka dua kartu pos darinya. Pertama yang bergambar kapal feri menyeberang ke Montevideo. Kapalnya bagus, lautnya cantik, dan suasana kotanya menawan. Aku membayangkan berdiri di dek kapal saat senja sembari menikmati segelas wine terbaik. Pasti menyenangkan.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Dapat kubayangkan gambar kartu pos yang Maria ceritakan. Pasti sangat terlihat cantik dan romantis bagi seorang perempuan seperti dia. “Lalu, kartu pos yang satunya seperti apa?” tanyaku.
“Kartu pos satunya bergambar suasana sebuah jalan di sudut Kota Monterrey. Sebuah jalan lengang jelang sore. Toko-toko tua yang menjual buku-buku sastra berdiri lapuk, satu-dua orang yang berjalan tergesa dan tak acuh. Itu kartu pos yang sangat cantik. Kau harus melihatnya suatu saat nanti.” Mata Maria berbinar-binar saat menceritakan dua kartu pos itu.
Dari obrolan tentang kartu pos itulah kami akrab. Bertukar email, akun Twitter, nomor ponsel, dan pin BlackBerry. Bahkan dia membeli kaus dari Fiksi Mini yang mencantumkan salah satu fiksi mini yang kutulis: Jalanan Macet – Ciuman kami lancar sekali!
Malam itu juga, pertama kali kami berciuman. Ciuman yang tak sengaja mungkin. Sebab aku sendiri lupa, apa yang memulai kami berciuman? Terasa aneh saja, laki-laki dan perempuan berusia tiga puluh tahun. Lajang. Akrab di sebuah acara, minum kopi—bukan wine, lantas tanpa sadar berciuman. Mungkin Dewa Cupid malam itu menembakkan busur panahnya hingga kami tanpa sadar terdorong satu sama lain dan berciuman dengan tak sengaja. Bisa jadi.
Tersebab kami berdua tidak mabuk. Ini bukan acara di bar yang menyediakan minum beralkohol, hingga kami berdua sedikit teler, menari tak jelas di lantai dansa, naik mobil setengah sadar sembari meracau, dan berciuman sebelum berpisah. Bukan. Bukan seperti itu acaranya.
****
Satu jam sebelum ulang tahunku itu, aku membayangkan mencium Maria lagi saat dia menerima lamaranku. Kemudian kami akan bergenggaman tangan dengan sangat lama. Saling pandang dan tersenyum bahagia sepanjang malam. Bisa jadi malam itu aku dan Maria tidak akan bisa memicingkan mata saking bahagianya.
Usai malam itu, kami berdua akan sibuk mengurus tektek bengek pernikahan. Orang tuaku sudah lama meminta agar aku segera menikah.
“Apa lagi yang kau tunggu? Usia sudah tiga puluh tahun lebih. Mapan dan punya pekerjaan. Terlalu lama mikir kamu ini….”
Itu ucapan basi yang selalu aku temukan dari mulut ayah dan ibuku. Maria juga bercerita hal yang sama. Jadi kupikir, mereka akan sangat bahagia serta mendukung ketika mendengar aku akan segera menikah.
Tak heran, aku begitu gugup, cemas, sekaligus tidak sabar menunggu hari ulang tahunku di tanggal 19 April. Aku bersiap melamar Maria di malam sebelum bergantinya tanggal dan bertambahnya usiaku. Kusiapkan segala hal, termasuk mengiriminya pesan untuk datang ke kafe yang sudah ku-booking sebelumnya.
****
Lima menit sebelum jam dua belas malam dan angka di almanak berubah jadi 19 April. Maria belum juga datang, dia mengirimi pesan setengah jam lalu kalau dia agak terlambat. Tapi tak ada alasan yang dia ucapkan. Tak mungkin jalanan Jogja macet, kan? Ini hampir tengah malam. Balasan pesanku tak dijawabnya lagi. Aku duduk dengan cemas.
Pemain biola di sampingku sudah mengulang “Linger” sebanyak tiga kali. Pelayan kafe ikut-ikutan cemas. Bahkan kue ulang tahun yang sudah diletakkan di meja, sudah kunyalakan lilinnya. Maria belum juga datang. Aku mulai cemas dan berniat meniup lilin itu dulu, nanti akan dinyalakan lagi saat Maria muncul.
Saat aku meniup lilin itulah, seseorang mendorong pintu kafe secara tiba-tiba. Aku tersentak. Kuharap itu Maria. Tapi ternyata bukan. Dia seseorang berjaket hitam, menggunakan helm, lalu menodongkan pistol pada kami. Tak ada pengunjung kafe selain diriku, sebenarnya kafe ini sudah tutup sejak jam sepuluh tadi, tapi berkenan ku-booking untuk lamaran. Tanpa berkata-kata orang itu menembakkan pistolnya kepadaku. Aku tersungkur jatuh, menimpa kue ulang tahunku. Saat itulah, malaikat maut datang secepat kilat. Tanpa bertanya apa-apa, dia mencabut nyawaku.
****
Namaku Aga. Pramoe Aga. Cerita ini kutulis satu jam sebelum berangkat ke kafe tempat aku akan melamar kekasihku, Maria. Satu jam sebelum usiaku bertambah jadi tiga puluh dua tahun. Satu jam sebelum aku berdoa panjang umur, sehat, dan sejahtera selalu. Satu jam sebelum malaikat maut mencuri nyawaku.
Namaku Aga. Pramoe Aga. Lelaki berzodiak Aries yang terperangkap dalam tiupan lilin kue ulang tahun. Seseorang berhelm yang melakukannya, dibantu malaikat maut. []
C59, April 2012-2015.
untuk Pramoe Aga, selamat ulang tahun…
- Lelaki Aries dalam Tiupan Lilin - 6 November 2015
Saepullah
alur dan ide cerita seperti ada di surat kabar tapi lupa judulnya.. overall nice story,,
🙂
Hamsah
Deg-deg’an di akhir. Tapi agak bingung, si tokoh aga ini menulis sesuatu saat kejadian itu belum terjadi?
putri intan polindira
I love this story, bener-bener keren sekaligus buat mikir juga 😀
Sriyuliwtik
aaaa~ aku suka ini
kayak fictogemino gitu, dan murder case riddle (inggris ngaco)
yang aku binggung masalah jamnya, diprolog jam 11 malem tapi diakhir ditulis satu jam sebelum ke kafe. trus si pembunuh itu, nggak mungkin kan langsung nodong ke aga gitu aja, ini macem kasus pembunuhan yang direncanakan. terakhir adalah anda menulis C59 iyu untuk mengakhiri seperti nama tempat dan tanggal atau anda sengaja, seperti seolah marialah yang menulis itu untuk aga
yak sekian bacotan saya, dijawab syukur enggak juga gpp
kan daripada dipendemgitu 🙂