Lelaki Menggembala Sastra

Ia rajin beribadah. Kita mengingat ibadah itu menerjemahkan, menulis esai, dan mengurusi halaman-halaman sastra di majalah. Ibadah selama puluhan tahun menghasilkan buku-buku berpengaruh bagi umat sastra di Indonesia. Kini, ia pemberi warisan terkenang dengan buku-buku dan majalah. Pada peringatan 30 tahun majalah Basis, pembaca diajak mengenang sang tokoh. Di Tempo, 25 Oktober 1980, kita membaca tulisan berjudul “Pastor Dick dan Gembalanya”. Pada saat memimpin Basis, Dick Hartoko rela mengeluarkan duit dari kantong demi rutinitas penerbitan majalah. Basis dalam hitungan bisnis sulit untung. Iklan pun jarang ada. Konon, lelaki bijak itu menganggap iklan-iklan komersial sering bercap (terlalu) sekuler. Duit rutin dikeluarkan untuk cetak dan memberi honor ke para penulis di Basis. Dick Hartoko menjalani ibadah tak merugi. Pahala tentu berkelimpahan.

Ingat Dick Hartoko (9 Mei 1922-1 September 2001), ingat Basis. Ingatan tambahan setelah kita mengenang Drijarkara dan Zoetmulder. Di Basis, Dick Hartoko sengaja membuat sastra bermekaran. Ia tampak berpihak atau berkiblat ke sastra meski mengetahui ada majalah Horison telah bermisi sastra. Kita berhak menjuluki Dick Hartoko adalah penggembala sastra. Ia berperan besar dalam seri terjemahan sastra dan mengajak para pengarang memberi persembahan teks-teks sastra. Ia memang tak beribadah menulis novel seperti Romo Mangunwijaya atau Sindhunata. Ia bakal sulit terakui sebagai pesajak meski uraian-uraian mengenai puisi terasa menakjubkan. Ia tetaplah penggembala bagi sastra Indonesia.

Ketabahan menggembala kadang digoda dengan marah dan protes. Ia masih manusia biasa. Marah diwartakan tanpa makian atau kekerasan. Ia memilih diksi-diksi di tulisan ingin mengingatkan dan setor tanda seru.  Dick Hartoko pernah berseru atas kelatahan di naungan rezim Orde Baru: “Seni harus dimasyarakatkan dan masyarakat harus disenikan. Ini bukan basa-basi!” Kita pasti lekas ingat itu seruan produksi berselera rezim Orde Baru. Seruan berdalih kesuksesan pembangunan nasional. Kita pernah bosan gara-gara seruan itu tercantum di spanduk dan kertas sebagai slogan “resmi”. Orang-orang harus menuruti agar terhindar dari tuduhan melawan Pancasila atau memiliki kehendak menggagalkan pembangunan nasional. Perkataan Dick Hartoko itu dimuat di Mutiara edisi 20 Juni-3 Juli 1984.

Dick Hartoko tak hendak mengejek rezim Orde Baru. Ia malah melakukan “penjiplakan” akibat marah melihat kota-kota di Indonesia sedang gemar membangun pusat perbelanjaan mewah. Ruang-ruang untuk seni terlupakan atau terpinggirkan. Ia ingin seni itu menghidupkan segala imajinasi, memuliakan dan memajukan Indonesia ketimbang terbujuk oleh impian paling milik mengenai swasembada pangan atau “adil dan makmur”. Marah dilanjutkan kelakar. Pada saat Mutiara mewawancarai berdekatan dengan peringatan ulang tahun Dick Hartoko. Lelaki berusia 62 tahun itu berucap keinginan: “Selangkah lagi menuju liang kubur.” Ia mengucapkan kalimat itu diakhiri tawa kecil. Ia teringat atau menginginkan mati? Ia telah menunaikan ibadah, tak usah meragu memenuhi panggilan Tuhan.

Seni dan kematian memerlukan strategi. Di Indonesia, Dick Hartoko pantas dimintai pertanggungjawaban atas istilah strategi. Ia turut membesarkan dan membuat istilah itu lestari sampai abad XXI. Pada 1976, terbit buku berjudul Strategi Kebudayaan. Buku garapan CA Van Peursen itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko. Penggunaan istilah strategi merembet ke para penulis dan pemikir Indonesia, bersambung ke akhir 2018 dalam Kongres Kebudayaan Indonesia. Pejabat pemerintah dan kaum intelektual masih memilih istilah strategi dalam hajatan Kongres Kebudayaan 2018. Buku itu memang laris, memberi pengaruh bagi pembaca melek sejarah, filsafat, teologi, sastra, sains, dan teknologi. Dick Hartoko berpahala telah menerjemahkan buku semula berbahasa Belanda.

Pada usia 70 tahun, Dick Hartoko mendapat lelucon dari Umar Kayam berkaitan usia tua dan kemampuan berpikir. Lelaki menua gampang mendapat dugaan buruk. Di majalah Matra edisi Desember 1992, perkara usia dan ketokohan mendapat penjelasan: “Itulah Dick Hartoko. Padahal banyak orang membayangkan dalam usia yang mencapai kepala tujuh itu, tentulah tak jauh dari sosok pastor yang renta, tubuh yang tambun, lamban, pikun, cerewet, ucapan penuh slogan serta semboyan-semboyan. Sebuah bayangan yang membuat seseorang menjadi enggan untuk bertemu dengannya karena pasti akan diteror dengan aneka ragam nasihat.” Dick Hartoko memang bukan penasihat. Ia tetap penggembala dengan kesabaran dan humor.

Celotehan Umar Kayam itu terdokumentasi dalam tulisan Dick Hartoko dimuat di buku berjudul Mencari Bulir-Bulir Gandum (1999). Ia tak ingin perkataan terlupa. Catatan jadi pengingat. Dick Hartoko menulis: “Kalau anda berumur 20 tahun, dunia ini kelihatan seperti benua Afrika yang penuh kemungkinan dan tantangan. Kalau mencapai usia 50 tahun, dunia ini seperti Amerika. Semuanya teratur dan berjalan lancar. Tetapi, kalau sampai pada usia 70 tahun, dunia ini seperti Siberia. Sepi dan dingin, tak seorang pun menemuimu.” Penggembala sastra itu ingat saat berusia 70 tahun mendapat ucapan dari Umar Kayam: “Salam Siberia!”

Sangkaan usia sampai ke sepi dan dingin belum terjadi pada Dick Hartoko. Pada peringatan umur 77 tahun, ia masih dikunjungi pembaca di tulisan-tulisan pendek bergelimang renungan. Ia menganut petuah di zaman Romawi bahwa usia tua justru menjadi sumber kebahagiaan dan kebijaksanaan. Lelaki tua itu mengabarkan kebiasaan menggairahkan ketimbang duduk termangu dan sia-sia. “Saya tidak mau mati tanpa berbuat sesuatu. Pagi hari sesudah membaca surat kabar, saya menuju perpustakaan, membaca majalah-majalah terbaru, lalu menuju kamar mulai mengetik sebuah karangan…,” pengakuan Dick Hartoko. Hari-hari itu ibadah huruf dipersembahkan ke umat manusia. Tulisan membatalkan dugaan-dugaan tentang ketuaan adalah sia-sia dan keruntuhan.

Penghormatan tulus pernah diberikan Emha Ainun Nadjib. Ia menjuluki Dick Hartoko adalah Al Habib (sang pencinta). Segala ibadah seni dan intelektual ditunaikan secara ikhlas berpijak di kelimpahan cinta. Di mata Emha Ainun Nadjib, kemauan beribadah itu memastikan Dick Hartoko memiliki “prinsip tauhid”, mengorientasikan seluruh hidup kepada iradat Tuhan. Kita membenarkan julukan itu dengan membaca buku-buku garapan Dick Hartoko: Saksi Budaya (1975), Tanah Airku: Dari Bulan ke Bulan (1983), Manusia dan Seni (1984), Tonggak Perjalanan Budaya (1986), dan Kamus Populer Filsafat (1986). Buku terjemahan pun puluhan. Umat sastra mungkin paling mengingat buku berjudul Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia (1979). Dick Hartoko menerjemahkan dan “menulis kembali”. Buku terampuh pun diterjemahkan Dick Hartoko. Buku itu berjudul Kalangwan, persembahan agung dari Zoetmulder.

Di Jogjakarta, Dick Hartoko itu manusia mendapat ruang beribadah dalam keluasan. Pergaulan dengan kalangan seniman dan intelektual memastikan ikhtiar mengindahkan hidup tak pernah padam. Ia memang tampak cenderung memberi “asuhan” ke sastra, bermaksud pemunculan dan pengawetan tulisan-tulisan bakal menandai manusia berbahasa dan berimajinasi sepanjang masa. Pada 1981, penggembala itu mewartakan: “Seni memang tidak identik dengan keindahan. Dalam menghadapi sebuah objek seni tidak hanya kategori keindahan yang turut bergetar dalam hati, tetapi kategori-kategori lainnya juga. Perasaan estetis hanya sebagian saja dari perasaan seni. Yang indah, yang luhur, yang kudus, yang angker, tetapi juga yang grostek dan bizar, yang lucu dan menyedihkan yang mengejutkan dan menggembirakan, yang dhasyat dan yang merdu – itu semua turut berbicara dalam seni.”

Umat sastra di Indonesia beruntung pernah memiliki penggembala sastra dengan ibadah tak lelah sampai menua. Dick Hartoko selalu terkenang bagi orang-orang tekun menempuhi titian sastra dengan menengok ke belakang. Ia berada di sana dengan tatapan mata lembut dan mesem. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!