Lelaki Tua, Seorang Bocah, dan Usia Sebuah Teks

le-petit-prince
www.ifestival.ro

“Nge-game, lah, masa belajar terus.”

Ujaran itu terlontar pas di depan muka. Saya terdiam sebentar, tiba-tiba seolah saya tokoh pangeran kecil, berusaha bercakap dengan seekor rubah, dalam cerita masyhur Le petit Prince (Pangeran Cilik), karya penulis Perancis, Antoine de Saint-Exupery. Namun saya tidak sedang bercakap dengan seekor rubah. Di depan saya, ada seorang teman baru. Rentang umur kami cukup jauh, dia 18 tahun, saya 23 tahun. Dia mahasiswa semester satu, saya semester tujuh.

Teman baru itu sibuk dengan laptop, satu aplikasi terbuka. Saya duduk di sampingnya. Ia memencet tombol keyboard, menggeser kursor ke bagian menu. Saya tidak tahu itu aplikasi apa.

Beberapa menit yang lalu, saya masuk perpustakaan. Di luar, langit mendung dan hujan sepertinya akan segera turun. Perpustakaan sore itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa bangku terisi. Ada yang sedang membaca, mencatat, ada juga yang kasak-kusuk entah berbincang apa. Di Indonesia, perpustakaan bukan saja ruang baca, tapi juga ruang berbincang yang asyik. Jangan kaget jika kasak-kusuk mengalahkan pesona deret kata dalam buku di rak-rak panjang. Saya ke perpustakaan juga tak ingin membaca apa-apa, hanya menunggu gerimis yang seolah turun ragu-ragu itu reda.

“Ngapain kamu?” tanya saya.

“Nge-game, lah, masa belajar terus,” jawabnya.

Saya mengenal teman baru ini ketika dia mulai aktif terlibat kelompok diskusi yang saya rancang setiap akhir pekan. Otomatis dia junior saya, tapi sungguh, saya takut dan (berusaha) tidak pernah merasa menjadi senior. Menjadi senior berarti menjadi tua, menjadi tua tidak selamanya asyik, tua identik lebih dewasa, lebih dewasa kerap kali satu garis lurus dengan konotasi kolot, feodal, semena-mena, otoriter, sok serius, dan gila hormat. Sungguh menjijikkan.

Masih ingat presiden Orde Baru yang terlalu lama jadi penguasa, yang sok tua sebagai bapak pembangunan, lihat apa yang dia lakukan? Apa yang lebih menakutkan dari tiba-tiba kita dihormati berlebihan dan kita sibuk berpatut-tindak di depan semua orang? Bagaimana jika apa yang saya lakukan adalah dorongan penilaian orang lain? Orang lain berkata saya adalah A, maka saya harus bertindak sebagai A.

***

Seorang bocah menghampiri pilot tua. Pesawat pilot itu kehabisan bahan bakar dan mendarat di tengah hamparan gurun pasir. Pilot tua itu kehabisan akal, ia bingung, adakah bantuan bahan bakar di tengah gurun pasir luas amat panas ini. Berjam-jam dia memeras otak, mencari solusi menyelamatkan diri dari terik dan keterasingan yang mengerikan. Jelas, harapan mendapatkan bahan bakar hanya ilusi. Tidak ada apa-apa di tengah gurun pasir. Seluas jangkauan pandangannya, hanya ada fatamorgana. Rasa haus mulai menyergap tak tertahankan. Ia butuh air untuk bertahan hidup di tengah terik gurun pasir.

Tiba-tiba seorang bocah, entah dari mana asalnya, datang menghampiri. Sialnya, bocah itu tak membawa air minum, apalagi bahan bakar. Bocah itu datang minta tolong. “Tolonglah…, gambarkan aku seekor domba….”

Rasa sebal menggembung teramat besar. Tapi, apa yang bisa dilakukan seorang dewasa di depan bocah?

Lelaki tua (pilot) itu berpikir. Ia mengeluarkan sebuah gambar yang pernah dia buat dahulu. Sebuah sketsa ular sanca tertutup, mirip sebuah topi besar tertelungkup, polos, dan tidak ada yang tahu pasti itu gambar apa. Bocah itu mengelak, “Bukan, bukan! Aku tidak mau seekor gajah dalam perut ular sanca.”

Pilot itu tercengang. Orang dewasa selalu mengira itu gambar ular sanca yang menelan seekor gajah, hingga yang terlihat hanya perut ular yang mengembang, membesar tertelungkup. Sebab, secara kasatmata, itu adalah gambar sebuah topi. Tetapi dalam penglihatan seorang bocah yang dijuluki pilot tua sebagai pangeran cilik, gambarnya adalah seekor gajah dalam perut ular sanca.

Begitulah salah satu bagian pembuka cerita Pangeran Kecil, karya Exupery, pengarang kelahiran Perancis 29 Juni 1900, yang juga seorang pilot pada masa Perang Dunia Kedua.

***

Begitu menakjubkan dan tak terduga imajinasi seorang bocah. Kemampuan menebak gambar memang hanya metafor, sebuah tilikan yang menyentak. Di antara deret angka di kalender penunjuk umur yang bertambah, ada sesuatu yang hilang: imajinasi. Betapa jauhnya kehidupan orang dewasa dari kegiatan imajinatif. Sejauh mata orang dewasa memandang ke depan, dibayangkannya sesuatu yang amat jelas, pasti, atau sesuatu yang sengaja dibuat pasti.

“Orang dewasa terlalu sibuk dengan angka-angka,” begitu kata pangeran kecil, dan tepat di situlah Le Petit Prince menjadi bacaan ringan sekaligus satire. Di depan sebuah gambar yang tidak begitu jelas, orang dewasa tidak tertarik berbicara soal ular sanca, atau gajah yang ditelan ular sanca. Orang dewasa jengah dengan segala yang tidak pasti dan tak kasatmata. Tidak ada ruang bagi imajinasi liar dalam hidup yang dipandu kitab suci The 7 Habits of Highly Effective People.

Le Petit Prince ditulis menjelang akhir kehidupan dan karier Exupery sebagai pilot—dalam masa pengasingan setelah pecahnya Perang Dunia Kedua sampai menyerahnya Perancis pada musim panas 1940. Antara 1940–1943 itu, Exupery menulis Le Petit Prince dan beberapa karya lain. Beberapa pengalaman semasa perang dituliskan dalam karya Pilote de Guerre, yang pada 1942 menjadi buku yang sangat laris di Amerika Serikat tetapi dilarang beredar di negara asalnya, Perancis.

Peristiwa pelarangan karyanya dan kehidupan perkawinannya yang kacau membuat Saint-Exupery depresi. Ia kembali ke Perancis untuk membujuk komandan tentara sekutu di Mediterania agar memberikan izin penerbangan padanya. 13 Juli 1944 Exupery berhasil menerbangkan pesawat lagi, kali ini menuju daerah Borgo di Corsica. Ini adalah penerbangan terakhirnya, setelah lama tidak diperbolehkan menerbangkan pesawat sebab dinilai terlampau ceroboh. Dari penerbangan inilah dia menghilang dan tak pernah kembali—diduga pesawatnya ditembak tentara Jerman dan jatuh ke tengah lautan.

 Le Petit Prince adalah sebuah cerita yang membawa intuisi keceriaan masa kecil yang telah hilang digulung kabut waktu, umur, tua, kedewasaan. Ditulis seorang laki-laki dewasa pada masa ia dipaksa nonaktif dari hobi menerbangkan pesawat, juga saat krisis ekonomi di negara asalnya (Perancis), ditambah kegagalan kehidupan rumah tangga serta pelarangan karyanya. Singkatnya, Le Petit Prince lahir dari benak seorang dewasa dalam berbagai macam tekanan psikis. Exupery mengakui bahwa Le Petit Prince adalah sepotong autobiografi—upaya menangkis depresi masa kini, menyembuhkan atau menguranginya lewat menulis, agar bisa terus mengenang dunia kanak-kanak.

***

Saya membaca Pangeran Cilik kira-kira saat kelas tiga SMP. Seorang teman memperkenalkan buku itu. Seperti anak SMP pada umumnya, saya tertarik membaca Pangeran Cilik sebab dipenuhi sketsa bagus. Belum tebersit segala praanggapan tentang makna sebuah cerita.

Saya membaca cerita sebagai kisah menarik, tanpa tebersit sedikit pun menjadi seorang pencari hikmah. Hanya menenun keasyikan (ber)sendiri untuk mengisi waktu luang. Selain itu, sebagai buku cerita, Pangeran Cilik amat tipis, minim paragraf panjang, lebih sering dialog pendek. Dan tentu itu cukup menyenangkan dibaca di akhir pekan, setelah berhari-hari mual pada buku diktat yang tebal, dengan kertas buram, dan gambar minim.

 Pangeran Cilik saya nikmati sebagai cerita lucu, sedikit konyol. Buku itu menemani saya berhari-hari di sela-sela berbagai macam umpatan “aneh” sebab saya selalu menghindari jadwal olahraga sepak bola. Berhari-hari saya suka membayangkan pangeran kecil itu adalah diri saya sendiri. Sekali lagi, saya belum berpikir buku tipis ini amat reflektif.

Saya menyukai kutipan yang ditulis berkali-kali dalam buku itu, misal “orang dewasa terlalu sibuk dengan angka-angka” dan “orang dewasa amat ganjil”. Saya suka tanpa maksud apa-apa, selain saya rajin menggerutu dan berkata kecil pada guru matematika, “Orang dewasa terlalu sibuk dengan angka-angka,” ketika nilai matematika saya amat jelek dan guru itu mempermalukan saya di depan kelas.

Entah kenapa saya amat bodoh dalam soal ilmu hitung, dan lewat Pangeran Cilik saya merasa mendapatkan teman yang sama. Saya membayangkan di antara 35 siswa dalam kelas hanya ada dua orang yang tidak peduli dengan pelajaran matematika, yaitu saya dan pangeran cilik itu. Walaupun tidak ada adegan permainan sepak bola dalam cerita Pangeran Cilik, ngawur dan narsis saja saya menggerutu, “Tenang saja, pangeran cilik juga tidak suka sepak bola.”

***

Saya membaca kembali Pangeran Cilik ketika awal masa kuliah, dan belakangan ini, saat saya mulai menginjak masa akhir studi. Entah sudah berapa kali saya mengulangi membaca Pangeran Cilik. Satu hal yang paling jelas, umur saya bertambah, mau tidak mau harus menjadi dewasa juga. Seperti layaknya orang dewasa, saya pun mulai sibuk dengan angka-angka. Saya mulai tahu kegagahan tidak harus didapat dengan bermain sepak bola, karena rupanya berfasih-fasih merapal teori-teori ilmu pengetahuan bisa lebih membuat seseorang sangat gagah. Teori-teori seolah kumpulan janji yang bakal menjadi kenyataan di masa depan—sehingga semakin tahu banyak teori semakin bisa meramal masa depan.

 Orang-orang di sekitar saya melekati berbagai macam label teoretis untuk merujuk pada diri sendiri maupun orang lain. “Dia seorang Marxis”, “Mas A seorang Liberal”, “Mas B memang Spiritualis”. Di tengah diskusi sengit soal fisika kuantum, saya tidak bisa membayangkan reaksi orang-orang di sekitar saya jika tiba-tiba saya mengacungkan jari dan bertanya pada pembicara: “Menurut Anda, ini gambar ular sanca atau sebuah topi raksasa?”

Saya mulai berpikir dunia ini amat rumit. Kerumitannya justru muncul dan bertambah ruwet saat orang-orang melihat sebuah pembangunan hotel dan mulai beradu mulut soal manipulasi anggaran, kesejahteraan, dan keadilan sosial-ekonomi, sementara orang yang lain tak mau kalah berteriak soal pasar bebas, kuasa pemilik modal, dan tantangan globalisasi. Orang-orang dan dunia sudah terlalu amat serius, seolah semua terbaca penuh kepastian dengan satu kali pandangan mata.

 Dunia orang dewasa, dunia sekitar saya, juga dunia saya, amat penuh kepastian kasatmata yang terlampau serius. Teori-teori penuh janji tidak memberikan tempat untuk sesuatu yang di luar keseriusan: permainan, imajinasi. Dalam segala kerumitan itu, betapa tidak berharganya sebuah cerita anak-anak macam Pangeran Cilik, atau dongeng-dongeng Hans Cristian Anderson

Jam dinding kamar saya tahu bahwa 23 tahun adalah angka lucu sekaligus penuh kecemasan, diikuti angka 07.30 jam kuliah pagi, 4,00 IPK tertinggi, 3 jam waktu terbuang untuk membahas teori-teori bersama seorang teman, 5 jam terbuang sia-sia untuk bergurau di kantin kampus. 15 Menit pertemuan singkat dengan seorang kawan baru, mahasiswa semester satu, seorang yang terlihat masih bocah, yang berkata pada saya: “Nge-game, lah, masa belajar terus”, dan saya tidak bisa menjawab apa-apa, hanya diam.

Saya tidak ingin menjadi seorang pilot tua dalam cerita Exupery. Tapi, sial, di hadapan teman yang hanya seorang bocah 18 tahun, seketika itu pula saya menjelma seorang lelaki tua, walau bukan seorang pilot. Saya lelaki tua.

Tidak ada yang berubah dari Pangeran Cilik, ia tetap teks. Sebuah cerita yang ditulis-persembahkan kepada orang dewasa diikuti permintaan maaf penulisnya kepada anak-anak. Mengapa orang dewasa? Saint-Exupery memiliki beberapa alasan: orang dewasa adalah teman terbaik di dunia, orang dewasa dapat memahami segalanya termasuk buku untuk anak-anak, dan orang dewasa perlu dihibur. Yang paling purna tentu saja: semua orang dewasa pernah menjadi anak-anak, sekalipun hanya sedikit yang ingat.

 Teks Pangeran Cilik tidak berubah, melampaui umur sebagai deret angka penanda usia. Tetapi setiap pembacanya tidak bisa bebas dari deret angka. Umur pembaca bertambah dan justru saat itu buku dari masa kecil ketika dibaca ulang menciptakan kesan-kesan baru, akibat kita memperlakukan teks secara berbeda. Ada makna baru yang dulu tidak didapat seorang bocah SMP yang membaca Pangeran Cilik.

Keasyikan membaca kisah luluh sebab seorang dewasa itu telah menjadi raja tua, pengais kebijaksanaan. Pemburu makna dengan bedil di tangan mulai tidak suka sesuatu yang sia-sia, yang tak dapat dikalkulasikan. Bedil dia todongkan untuk meringkus apa saja. Pada saat itulah dia tidak sadar, ada sesuatu yang hilang: daya imajinasi, keasyikan permainan, hal-hal remeh dalam dialog.

“Tahu banyak tidak membuat orang mengerti,” demikian sabda Herakleitos. Lihatlah, penulis esai ini telah mahir memilih petuah, mengubah cerita menjadi khutbah. Sebuah tanda dia mulai dewasa, mulai sibuk dengan angka-angka, menjadi pengkhutbah dengan bedil di tangan—dia mulai tua dan menjijikkan.

Danang T.P

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!