AHMAD DORES tiba-tiba muncul di tengah kota setelah satu tahun kematian. Kebangkitannya ditemani aroma garam yang terbang di antara pundak-pundak nelayan, di antara daun-daun kelapa yang menjulur ke tanah, di antara pucuk-pucuk pohon cemara dan bunyi gemuruh langit, dan badai jinak berdesir di antara pokok-pokok nipah, ilalang, dan semak lentana. Di antara semak itulah, lelaki itu bangkit terbatuk-batuk dan terkejut saat menemukan dirinya kembali ke permukaan bumi. Sementara nelayan-nelayan yang tampak sibuk mengurusi sengkarut jaring pukat yang berserak di bibir pantai, tampak tak memedulikan suara gemuruh itu berasal dari kuburan Ahmad Dores, dan memilih melanjutkan pekerjaannya tanpa lagi menoleh ke arah semak itu.
Hal pertama yang terlintas di benaknya adalah para preman itu yang telah menguburkannya seperti seekor kucing mengubur tai. Setelah meregangkan otot tubuhnya, ia berdiri tegak memandangi bahu-bahu nelayan yang mengilat diterpa cahaya siang. Namun, entah mengapa kilatan punggung nelayan itu telah menjelma menjadi gelora api di relung dadanya.
Setelah berdiri beberapa jenak dan setelah memastikan bahwa ia benar-benar bangkit dengan merasakan pendaran cahaya matahari di wajahnya melalui celah daun nyiur yang melambai, Ahmad Dores mulai berjalan menembusi semak lentana, menerjang belukar yang tumbuh acak di kebun kosong. Ia memantapkan langkahnya saat mulai memasuki sebuah lorong yang akan memandunya menuju sebuah kota. Orang-orang menjerit histeris serentak mendengungi jalanan kota saat melihat Ahmad Doress berjalan di etalase toko yang berbaris sejajar. Para pedagang berhamburan keluar ingin menyaksikan keajaiban yang fantastis itu.
Ia melewati sebuah toko yang menjual alat-alat pertanian, dan berhenti untuk memandangi kilatan-kilatan benda tajam yang tergantung di sebuah dinding papan. Pedagang itu menganga melihat Ahmad Dores yang tiba-tiba muncul di hadapannya dengan penampilan lusuh tak terkatakan. Ahmad Dores memungut sebuah golok dan sebuah sarung berwarna cokelat, sementara si pedagang masih tercenung memandanginya dan membiarkannya berlalu begitu saja.
Orang-orang di kota kini memandang lelaki itu dengan penuh kekhawatiran sekaligus takjub dengan kebangkitannya itu sebab tidak ada yang menyangka keajaiban ini terjadi. Ahmad Dores telah mati, ya memang telah mati, tapi sekarang hidup lagi. Ketika ia tiba di sudut toko, orang-orang yang mengenalnya berlari ke arah mana saja. Seorang pedagang membiarkan begundal-begundal kota menjarah tokonya, dan seorang pedagang sayur membiarkan roda-roda sepeda motor menggilas barangnya. Mereka yang ingin pergi ke pasar ikan terpaksa berhenti dan berkerumun di tiap sudut kota. Lalu mereka berbisik-bisik dengan bisikan kecemasan. Ada yang menduga kemungkinan kebangkitannya murni untuk membalaskan dendam kepada penduduk kota, bukan, lebih tepatnya kepada para preman yang membunuhnya setahun lalu. Ada juga yang berkata Ahmad Doress adalah hantu yang bergentayangan sebab para preman itu tidak menguburnya dengan layak. Ahmad Dores merepet dalam hati, bahwa orang-orang kota telah berbuat jahat; membiarkannya terbunuh.
Peristiwa tragis itu sempat menghebohkan warga kota, nyaris semua orang tahu tentang pembunuhan itu. Koran lokal dengan pongah menampilkan tubuh Ahmad Doress yang tercabik-cabik, wajahnya yang membengkak, istrinya yang menangis sesunggukan meratapi kematian suaminya dengan cara menggenaskan. Barangkali kebangkitannya ini juga akan menjadi berita terheboh sepanjang sejarah kota tersebut.
Kemunculannya di tengah kerumunan kota diam-diam telah mendorong beberapa orang, meski sedang ditimpa rasa horor, ingin bertanya kepada Ahmad Dores tentang kemungkinan itu, atau mengapa malaikat penyiksa tidak meremukkan tubuhnya. Namun, sebagian mereka yang tentunya ikut menyaksikan pembunuhan brutal itu sudah telanjur dirongrong rasa takut amat dalam kala memandang raut muka Ahmad Doress yang bersemu merah. Di antara sebagian itu muncul seorang lelaki bertubuh gembrot dengan gagah berani mendekati Ahmad Dores yang sedang berdiri mematung memandangi wajah kota.
“Kaukah itu Dores?” tanya lelaki itu dengan bibir gemetar.
Ahmad Dores bergeming, ia berpaling ke arah lelaki gembrot itu dan memandangnya dengan penuh kebencian. Kini, apa pun yang bersarang di matanya menjadi pemandangan menjijikkan termasuk manusia di hadapannya. Lelaki itu menghilang setelah mendesah berat. Seorang polisi yang sedang menikmati suasana sore kota dengan sepeda motor nyaris menabrak sebuah mobil sedan yang terparkir di sisi jalan karena, secara tidak sengaja, matanya menoleh Ahmad Dores. Polisi itu terkejut bukan main, mencubit dirinya beberapa kali dan membelalak. Pastinya, seluruh polisi kota harus bekerja ekstra mengawasi si lelaki yang berpenampilan lusuh itu dan kehadirannya tentu saja akan meresahkan penduduk kota. Dengan baju masih bernoda lumpur pasir, tubuhnya yang masih beraroma garam dan rambutnya yang kusut masai dan kaku terpapar sinar matahari sore ternyata telah menyedot nyali penduduk kota.
Secara ajaib, warna kekuningan yang tadinya bergoyang-goyang di tubuhnya berubah menjadi kelabu mengapung di atas bangunan-bangunan kota, menyeruak ke lorong-lorong sempit menyibakkan aura mencekam dan serta-merta memaksa banyak pedagang menutup kedai mereka lebih awal.
Ahmad Dores sampai di perempatan kota. Ia berdiri sejenak melemparkan pandangan ke orang-orang di etalase toko yang tampak sibuk membungkus barang dagangan mereka seperti melihat sekelompok pamong praja mengayun-ayun pentungan tengah mendekati mereka. Beberapa buru-buru merapatkan daun-daun pintu kedai. Berselang setengah jam, orang-orang sudah bertumpuk di tiap persimpangan kota dan berdesak-desak. Ibu-ibu melindungi bayi mereka dari orang-orang yang menyosor, orang tua tampak bersusah payah mencari celah untuk pulang. Bunyi klakson kendaraan melengking bersahutan membuat kota itu riuh memudarkan suara-suara orang berteriak. Semua mereka ingin segera cepat sampai di rumah, mengunci pintu, menutup jendela, membaca doa-doa selamat sambil berusaha melupakan sosok Ahmad Dores.
Ini hari kedua kebangkitannya. Ahmad Dores berjalan mengelilingi kota, menyusuri lorong-lorong kecil kumuh dan tempat bersarang kaum penyedia jasa badaniah. Ia berdiri di tiap sudut lorong itu demi mensiasati jejak kematiannya yang mengarah ke bibir pantai. Tapi, ia tidak menemukan apa-apa selain beberapa sampah plastik yang terbang dibawa angin dan beberapa perempuan yang buru-buru masuk ke rumah mereka. Keluar dari lorong itu, ia berbelok kanan, masuk ke gang kecil menuju pasar ikan. Di situ ia mulai mencari-cari lapak ikan yang pernah ia gunakan setahun lalu. Semua tampak berubah, kini orang-orang baru memadati lapak-lapak ikan itu, tapi ia tak mengenal satu pun dari mereka. Semuanya benar-benar asing di matanya.
Ahmad Dores semakin tenggelam dalam amarahnya sendiri. Namun ketika ia menghampiri sebuah kios tua, tiba-tiba telinganya mendengung hebat sejurus suara-suara jahat pecah.
“Dores! Kejar si Haram Jadah itu,” perintah salah satu pemilik suara itu.
Ahmad Dores terlonjak dan memandang lurus ke depan. Sialnya, ia tidak menemukan apa-apa selain beberapa penjual ikan tengah berteriak memanggil pembeli dan berhenti mendadak kala mereka menoleh ke arahnya, dan buru-buru memasukkan ikan mereka ke dalam fiber.
“Bunuh dia, jangan sampai lolos. Kali ini Dores harus mati!” Suara itu mendengung hebat sampai-sampai ia harus mengkatupkan kedua cuping telinganya.
Lagi-lagi ia tidak menemukan si pemilik suara itu. Akan tetapi, ia bisa memastikan bahwa suara itulah yang ia dengar sebelum para begundal itu membunuhnya. Semua jenis suara yang ia dengar menjadi bukti kuat untuk mencari tahu siapa pembunuh sebenarnya. Sejak berdiam lama di relung tanah, ia nyaris melupakan semuanya yang ada di atasnya. Beruntung ia masih punya naluri yang bekerja dengan baik dan dengan itu ia akan berusaha keras untuk menuntaskan dendamnya. Ketika suara itu kembali mendengung, ia mulai menggiringnya ke arah peristiwa penyiksaannya di sudut kota sebelum ia diseret ke bibir pantai dan dikubur di sana seperti seonggok bangkai binatang liar.
Napasnya terputus-putus, tubuhnya dibuat tak berdaya. Orang-orang melihat gempuran tangan-tangan preman itu menghunjam tubuhnya tanpa menaruh kasihan sedikit pun.
“Kurang ajar, dasar perampok!” umpat salah seorang preman itu. Ahmad Dores tergulai lemas, ia tidak menyangka jika hidupnya akan berakhir setragis ini.
“Aku tidak merampok,” katanya dengan napas terengah-engah.
Orang-orang tidak berhasrat menghentikan kebiadaban para preman itu atau sekadar menjelaskan bahwa Ahmad Doress adalah seorang pedagang ikan dan pelaut. Tak mungkin lah, ia dituduh perampok kota. Ternyata sebelum itu, Ahmad Dores kerap diancam oleh para preman itu yang datang mengobrak-abrik barang dagangannya tanpa alasan jelas. Bekerja sebagai pedagang ikan dan sesekali pergi melaut, dan sering kali membawa pulang ikan-ikan segar untuk dijualnya di pasar. Tentunya banyak pelanggan rela menunggu ikan darinya sebab kebanyakan ikan di pasar sudah diakali. Dan lambat laun usahanya melesat hebat, membuat para pedagang di pasar itu dibuat tak nyaman.
“Ah, maling haram jadah. Kau yang merampok toko Ma Piah semalam. Kau ngaku saja, kalau tidak, kami babakbelurkan tubuhmu.”
Ahmad Dores terjerembap ke lumpur jalanan. Orang-orang yang berkerumun menganga dengan mulut seperti kadal hutan sehabis bertengkar dengan seekor ular daun. Beberapa polisi menggeleng-geleng. Mereka memandang Ahmad Dores seperti memandang seorang musuh bebuyutan. Polisi yang dipercaya oleh umat sebagai pelindung rakyat berubah menjadi kacung preman dan tanpa dosa membiarkan tangan-tangan jahat preman itu melumat tubuh Ahmad Dores tanpa ampun.
Lalu tubuhnya yang tak berdaya itu diseret oleh empat preman ke pantai. Melihat Ahmad Dores masih berkutik, mereka kembali mendaratkan gempuran tangan ke dadanya hingga tidak ada lagi baris napas yang tersisa. Menjelang senja, mereka menguburkan tubuhnya ke dalam lubang yang digali terburu-buru. Sejak saat itulah Ahmad Dores meringkuk di relung tanah ditemani rayap-rayap, belatung, dan suara-suara aneh sepanjang tahun. Begitulah ingatannya tentang kematian itu. Kematian yang melibatkan banyak penduduk kota karena mereka telah membiarkan hal mengerikan terjadi padanya. Membiarkan kejahatan di depan mata sama juga ikut andil dalam kejahatan tersebut, pikirnya.
Ia menghunus golok dan mengasahnya dengan sebuah batu yang ia temukan dari sebuah meja. Bunyi gemerincing melengking halus saat mata goloknya beradu dengan batu asah, membuat orang-orang semakin cemas.
“Akan kuhabisi kalian!” serunya setelah memastikan goloknya sudah tajam.
Ia memandang penduduk kota yang masih belum beranjak dari pasar ikan dengan tatapan yang berdarah-darah. Ada yang menunduk ketika beradu pandang, ada yang membuang muka, ada yang pura-pura sesak pipis dan berlari masuk ke toko mereka.
Namun, di balik amarahnya yang meluap-luap itu tersimpan rasa kecewa sebab sudah dua hari ia tidak menemukan sang preman itu. Sepanjang hari-hari itu, ia memaksa nalurinya untuk mencerca ciri-ciri mereka, menyelaraskan degungan suara mereka, tapi belum juga ia temukan. Tak lama kemudian, ia dikejutkan dengan kedatangan seorang polisi bertubuh tegap berdiri secara tiba-tiba di hadapannya untuk memastikan kalau lelaki yang dilihatnya benar Ahmad Dores.
“Kenapa kau belum mati?” tanya polisi itu sambil memperbaiki letak pistol di pinggangnya.
“Karena aku belum pantas mati!”
“Perampok sangat pantas mati.”
“Kalau memang seperti itu. Kau juga sangat pantas mati. Orang yang membiarkan kejahatan terjadi di depan matanya lebih pantas mati ketimbang seorang perampok,” kata Ahmad Dores mengeluarkan golok. “Camkan wahai polisi laknat, aku bukan perampok!”
Polisi itu membalikkan badan dan berlari lewat sebuah lorong sempit. Ahmad Dores mengejarnya dengan menumpang pusaran angin yang mendesis sepanjang lorong gelap itu. Ia terlonjak hebat saat mendapati Ahmad Dores seperti jatuh dari langit dan tiba-tiba berdiri hadapannya.
“Sekarang kau harus memilih. Hidup atau mati!” katanya dengan nada mengancam.
Polisi itu meraih pistol di pinggangnya, tapi belum sempat jarinya menyentuh gagang, jempol kirinya sudah tergeletak di atas tanah.
“Kau pasti tahu siapa bedebah itu. Jika kau ingin hidup. Dan percayalah, pistol itu tidak akan melukaiku. Jadi jangan berpikir untuk melakukan hal bodoh!”
Sang Polisi menggeleng lemas. Naluri Ahmad Dores tahu kalau si polisi ini sedang menyembunyikan sesuatu. Maka tidak ada cara lain selain menebas lehernya. Di bawah bayang senja, polisi itu memohon pengampunannya. Ahmad Dores bergeming. Ia mengayun golok ke wajah polisi itu dan tubuhnya ambruk. Ia berusaha bangkit lagi untuk meminta belas kasihan Ahmad Doress.
“Langgam pelakunya,” kata polisi itu penuh beban.
Ketika ia mendongak, Ahmad Dores telah lenyap. Semua tampak seperti biasa, kecuali jempolnya yang masih tergeletak di tanah dan keringat yang masih melembapkan seragamnya. Setelah memungut potongan daging tangannya, polisi itu bangkit dan berjalan terseok-seok menembusi lorong gelap menuju sepeda motornya.
Keesokan hari. Kota itu mendadak gempar dengan penemuan empat mayat bertubuh gempal di pembuangan sampah. Lalat-lalat botol mengerumuni tubuh mereka yang telanjang. Dada mereka menampakkan lubang luka yang menganga dengan darah tak henti-henti mengalir. Melihat kematian yang amat tragis itu, orang-orang bertambah cemas. Jangan-jangan Ahmad Dores sedang mengincar sisa kawan preman itu atau orang-orang yang berkomplot dengan mereka. Para polisi kota mulai sibuk mencari keberadaan Ahmad Dores dalam keadaan panik, menelisik tiap lorong mencari jejak pelariannya. Tapi, mereka tidak menemukan apa pun selain garis berwarna darah memanjang dari toko Ma Piah hingga tempat pembuangan sampah; di mana tubuh-tubuh kaku itu ditemukan.
Ahmad Dores berdiri di atas sebuah toko memandangi mayat-mayat itu dengan roman wajah puas. Ia mengayun-ayun goloknya yang berlepot darah lalu meloncat turun dan bergegas mengikuti pusaran angin yang tampak ingin membawanya jauh dari tubuh-tubuh terkutuk itu. Polisi mengejarnya kalap tapi Ahmad Doress sudah lenyap tak berbekas menuju sebuah tempat yang tak mungkin mereka jangkau.
Sehari berselang koran lokal datang dengan berita yang menghebohkan sekaligus membawa kabar yang menakutkan. Sebagian orang yang pernah melihat kejadian pembunuhan Ahmad Dores hidup dalam rongrongan teror. Bahkan ada yang ditemukan tergantung, ada yang meloncat ke sungai secara tiba-tiba, ada yang berlari terbirit-birit seperti dikejar hantu di tengah malam buta. Kini, kehidupan penduduk kota dinaungi bayangan Ahmad Doress yang sesekali melintas di depan mereka, sementara Ahmad Doress telah kembali ke liangnya, meninggalkan jejak ketakutan di jiwa-jiwa penduduk kota.[]
- Lelaki yang Bangkit Dari Kematian - 31 January 2020
Anonymous
Sekilas pembukaan dan cara bercerita sangat mirip dengan Cantik itu Lukanya Eka Kurniawan. 😂
Anya
Bener, ada rasa Cantik Itu Luka plus bayang-bayang Lelaki Harimau sedikit.
Anonymous
Saya merasakan hal yang sama.
Dewi Ayu yang bangkit dari kematiannya.
Hendy Pratama
Gaya berceritanya bagus.
Faizar
Menarik untuk dibaca….