Lelucon biasanya dilontarkan dengan tujuan menghibur. Atau, kadang, untuk menyindir secara halus.
Ada banyak faktor yang bisa menentukan sebuah lelucon berhasil atau tidak. Salah satunya, latar belakang kesamaan pengetahuan yang dimiliki pemberi dan penerima lelucon. Saya bahas poin ini saja, karena lelucon yang dimaksud adalah lelucon di media sosial. Berikut tiga contoh kasus lelucon tidak lucu yang saya temukan belum lama ini.
Beberapa waktu lalu, saya membaca postingan seseorang bahwa “bab I” yang ada di buku pelajaran adalah “jebakan” agar anak-anak menyebut babi. Bab I = babi. Saat membacanya, saya yakin dia bercanda. Mungkin, tujuannya adalah sebagai sindiran terhadap masalah ufin dan ifin yang ramai disebarluaskan. Tapi, ternyata reaksi dari pembaca status itu beraneka rupa, dan tidak sedikit yang menganggap hal itu serius.
Ketika diperhatikan, ternyata postingan itu ditujukan kepada grup tertentu. Bisa saja, di grup itu memang sudah sering ada lelucon demikian. Kita tidak tahu konteksnya. Tapi karena memang lagi hangat, status itu menjadi pancingan jitu bagi berbagai reaksi. Penyebabnya sederhana, latar belakang pengetahuan yang tidak sama. Bagi teman-temannya yang sudah terbiasa dengan gaya bercanda dan tahu pola pikir pemberi lelucon, mereka akan tertawa. Sayangnya, beberapa orang yang mungkin sedang “panas” dengan hal-hal seperti ini menjadi tersulut. Sebagian beristighfar, merasa begitu marah karena merasa selama ini tertipu dengan penyusunan bab dalam buku. Sebagian geleng-geleng karena menganggap pemikiran logika dipaksakan begitu sungguh picik. Padahal, coba tanya yang posting, saya yakin maksud dia cuma bercanda.
Saat kecelakaan pesawat Hercules di Medan, ada grup meme yang memposting tulisan turut berdukacita. Ucapan itu disertai foto beberapa korban yang terpanggang. Mengerikan memang. Muncul berbagai reaksi. Ada yang bersimpati, ada pula yang menegur admin agar tidak menyertakan foto korban. Di antara beratus komentar, saya tertarik dengan salah satunya. Dia berkomentar mengenai jagung bakar. Iya, maksudnya tentang gambar para korban. Seperti yang sudah bisa diduga, pasukan bully mulai berdatangan.
Kasus ini jelas, bagi kita, bahwa bercanda dia sama sekali nggak lucu. Tapi, bisa saja bagi dia hal itu hanya lelucon dan orang yang memarah-marahinya adalah orang-orang dengan daya tangkap humor yang rendah. Hhh…, entah bagaimana latar belakang pengetahuan si anak muda itu.
Akibatnya, kemarahan orang-orang yang muncul setelahnya tidak sampai di sana. Komentar pedas jadi berlaku pukul rata. Semua yang ada di grup itu dicaci, dianggap tidak sopan. Padahal, maksud admin awalnya memang ikut berdukacita. Karena bercandaan nggak lucu satu anak muda, rusak citra seluruh grup.
Lelucon terbaru, saat gempa tadi pagi, 25 Juli 2015. Seperti biasa, banyak orang memposting status terkait hal terkini biar kekinian. Di Yogya memang terasa sekali guncangannya. Selain itu, waktu terjadinya juga tidak berjauhan dengan gempa 2006 yang memakan banyak korban. Saat jalan-jalan di media sosial, saya melihat salah satu postingan di grup yang memberitakan bahwa ada jembatan yang rubuh. “Gempa. Jembatan xxx rubuh.” Saya sendiri awalnya mengira dua kalimat mini itu berkaitan, bahwa ada jembatan rubuh karena gempa. Setelah membaca komentar-komentar di bawahnya, baru saya mengerti maksudnya adalah bercanda. Jelas saja jembatan posisinya rubuh, kalau berdiri kan malah aneh. Lelucon ini sebenarnya menarik, dan bisa jadi lucu, kalau saja yang membaca sudah tidak panik. Tapi, bayang-bayang mayat korban yang tergeletak saat gempa 2006 dulu membuat sebagian orang yang berkomentar menganggap lelucon ini sama sekali tidak lucu.
Ketika kita melontarkan lelucon secara langsung saja dibutuhkan beberapa pertimbangan. Misalnya, apakah lawan bicara terbiasa mendengar lelucon seperti ini, apakah dia mengetahui bahan-bahan lelucon yang akan disampaikan, apakah dia mudah tersinggung, hingga mood penerima lelucon saat itu. Hal yang mampu meminimalisir kesalahpahaman penerimaan lelucon secara langsung adalah ekspresi dan nada bicara. Pada media tulis, semua itu tidak ada. Memang ada tanda baca yang bisa menggantikan. Tapi, bukankah penerimaan tanda baca seseorang dengan yang lain sendiri sudah berbeda? Tanda tanya yang banyak, misalnya, saya anggap sebagai bentuk ekspresi nyolot—ngotot. Ternyata, bagi sebagian orang lain, itu adalah bentuk ekspresi penasaran banget.
Bayangkan mantan yang putus karena LDR-an rupanya habis stalking akun kita. Setelah yakin kita yang keliatan makin kece di foto masih single, dengan rasa penasaran tinggi, dia komentar di salah satu foto. “Kamu masih jomblo???” Kalo lagi sensi, bisa aja kita jawab, “Masalah???” *lalu blokir *gagal balikan
Karena penafsiran tanda baca sendiri masih sangat berbeda begitu, ada baiknya kita lebih bijak memilih lelucon di media sosial. Lebih bijak memposting, lebih bijak menanggapi postingan. Kita aja dulu, nggak perlu tuding kanan kiri.
Kalau bukan kita sendiri yang berusaha memperbaiki diri, siapa lagi?
Sumber gambar: fat-head-albert.deviantart.com
- Penting Tak Penting Perihal Teenlit - 26 October 2016
- Membaca Karya Fiksi Memang (Kadang) Tidak Berguna - 28 September 2016
- Imajinasi dalam Rungkup Teknik Berkisah dan Pesan yang Ingin Disampaikan - 12 June 2016
nisrina lubis
Bah knapa si mak2 berisik posting hari ini?
uamirdejavu
sama rata sama rasa..hmm ini jokes lho
Izhary
“Hujan deras. Jembatan di kotaku roboh semua.”