Lima Miliar Babi di Cina

Aku pernah punya seekor ayam jago jawa dengan lubang datar di punggungnya. Ayah yang membuatkannya. Ia mengatakan segala yang bisa dibuat sendiri tidak seharusnya dibeli. Maka ketika Ibu menyuruhnya ke pasar, Ayah malah berangkat ke Kali Baya, mengeruk segumpal lempung dari tebing kali, lantas pulang dan membentuk lempung tersebut menjadi seekor ayam jago berlambung besar lengkap dengan lubang datar di punggung.

“Ini tidak terlalu buruk,” kata Ayah setelah ayam jago itu kering di halaman.

“Ini menakjubkan,” kataku.

Kata Ayah, ayam jago itu bisa menjadi apa saja jika waktunya tiba. Ia bisa menjadi seekor ayam jago sungguhan, seekor kambing, seekor sapi, bahkan sebuah sepeda motor.

“Kau hanya harus rajin-rajin memberinya makan,” kata Ayah.

Dan aku berjanji melakukannya.

Dan aku memang melakukannya. Ayam jago itu mempunyai selera makan yang menakjubkan. Dan karena itu, aku mesti kerja keras untuk memuaskan ayam jago itu. Ia memakan apa pun yang kuberikan kepadanya melalui lubang datar di punggungnya. Uang kertas, uang koin, uang kertas dan uang koin sekaligus. Apa pun, asal uang.

Ibu memberiku seribu rupiah jika aku membantunya mencuci piring dan ayam jago itu memandangku dari tempatnya berdiri di atas rak dengan mata berbinar.

Ayah memberiku lima ratus rupiah jika aku membelikannya rokok di warung dan ayam jago itu menungguku dengan liur menetes dari tempatnya berdiri di atas rak.

Ayah dan Ibu memberiku dua ribu rupiah setiap pagi sebelum aku berangkat sekolah. Dan aku menahan diri menyaksikan kawan-kawanku menghabiskan uang saku mereka untuk cilok pentol atau siomay di kantin sekolah demi memberi makan ayam jagoku yang tak pernah kenyang dan mengharapkanku segera pulang dari tempatnya berdiri di atas rak.

Aku memberi nama ayam jago itu Basir, sebab kukira itu nama yang cocok untuk apa pun yang memiliki selera makan luar biasa. Tetangga kami bernama Basir dan ia mempunyai perut gendut dan tak pernah merasa kenyang.

Aku menyayangi Basir dan kadang-kadang, ketika aku sedang tidak punya apa pun untuk dimasukkan ke lubang datar di punggungnya, ia menatapku dengan sedih. Matanya, yang digambar Ayah menggunakan spidol hitam tampak berair. Dan itu membuatku ikut bersedih. Aku akan segera pergi menemui Ibu atau Ayah, bertanya apakah ada sesuatu yang bisa kukerjakan agar aku memiliki sesuatu untuk memberi makan Basir atau tidak dan seterusnya.

Kadang-kadang mereka memberiku pekerjaan, namun lebih sering tidak.

“Prinsip menabung,” kata Ayah, “adalah menyisihkan, bukan memaksakan seperti ini.”

“Tapi Basir lapar,” kataku.

“Bukan Basir yang lapar,” kata Ayah, “tapi kau yang ingin memberinya makan, selalu ingin memberinya makan. Ia ayam jago jawa, bukan ayam potong yang diciptakan hanya untuk makan lantas dipotong.”

Basir tidak pernah tumbuh menjadi ayam yang gemuk. Bentuk dan ukurannya tidak berubah sekali pun berbulan-bulan sudah berlalu semenjak Ayah pertama kali membentuknya. Namun tidak dengan bobotnya. Aku sering kali mengangkatnya, menggoyang-goyangkannya, dan terasa benar bahwa tubuhnya semakin berat. Dulu, bunyi gemerincing ketika aku menggoyangnya terdengar kencang, namun kian lama kian pelan.

“Itu berarti ia sudah hampir siap berubah bentuk,” kata Ayah.

Dan perkataan Ayah membuat aku sedih.

Tentu saja aku tahu bagaimana pun Basir adalah celengan, tak peduli ia benar-benar berbentuk celeng atau ayam atau macan. Dan takdir celengan, di mana pun, adalah dipecah ketika ia sudah penuh. Masalahnya, aku sudah terlibat terlalu jauh dengan Basir.

Akhir-akhir ini, Ayah semakin sering keluar rumah. Awalnya, ia diberhentikan dari pabrik tisu tempat ia bekerja. Ayah mengatakan itu akibat pandemi. Ayah kemudian beralih menjadi sopir ojek online. Dan sejak itulah ia jarang di rumah. Ibu kemudian menyusul bekerja membantu salah satu tanteku membungkus barang-barang yang dipesan orang melalui aplikasi di ponsel. Dan ia juga jarang di rumah.

Setiap kali mereka pergi, aku sendirian di rumah. Pada awalnya, itu tidak masalah. Namun lama-kelamaan, karena merasa kesepian, aku jadi sering bercakap-cakap dengan Basir.

Dan aku merasa ia mengerti kesepianku. Lantas hubungan kami berubah menjadi kawan baik. Kepadanya, aku berjanji tidak akan menyakitinya.

“Apa pun yang terjadi,” kataku sambil mengelus-elus jenggernya yang dicat merah. “Aku akan terus memberimu makan dan tidak akan memecahkanmu.”

Basir tersenyum dan tampak puas dengan apa yang aku katakan.

Namun tidak dengan Ayah.

Suatu malam, sepulang kerja, ia memintaku duduk di ruang tamu. Kami duduk berhadap-hadapan seolah-olah kami adalah dua orang yang sama-sama dewasa.

Ayah menghela napas panjang.

“Ada lima miliar ekor babi di Cina yang membutuhkan banyak sekali kedelai,” katanya. “Bayangkan, lima miliar ekor babi. Itu jumlah yang banyak sekali.”

Aku membayangkannya. Aku menutup mata dan berusaha membayangkannya. Dan aku tak mampu melakukannya, maksudku membayangkan babi sebanyak persis lima miliar ekor. Hanya ada lautan babi berwarna merah muda di pelupuk mataku. Dan aku tak tahu jumlah pastinya.

“Ada begitu banyak babi,” kataku sambil membuka mata. “Bagaimana Ayah bisa tahu jumlahnya lima miliar?”

“Pak Menteri yang mengatakannya,” kata Ayah. “Muhammad Lutfi. Dan karena ia mempunyai nama Muhammad, itu artinya ia orang yang layak dipercaya dan tidak mungkin berbohong. Jadi, apa yang dikatakannya adalah kebenaran.”

Aku mengangguk.

“Dan mereka semua, maksudku babi-babi itu, makan kedelai,” kata Ayah lagi. “Bisa kau bayangkan berapa banyak kedelai yang mereka butuhkan?”

Aku menggeleng.

“Ribuan ton,” kata Ayah. “Mungkin jutaan.”

Aku mengangguk.

“Dan karena itu,” kata Ayah lagi, “karena jutaan ton kedelai dimakan lima miliar babi di Cina, maka kita harus memecahkan Basir.”

Aku terperangah. Aku menatap Basir di atas bufet. Ia memandangku dengan mata berkaca-kaca.

“Tapi,” kataku terbata, “apa hubungannya lima miliar ekor babi dengan Basir?”

Ayah menjelaskan semua dengan kalimat-kalimat panjang yang ruwet. Ia berusaha menemukan kata-kata yang tepat supaya aku mengerti dan tidak keberatan memecahkan Basir. Namun, pada intinya, ia menyatakan bahwa harga tahu dan tempe meningkat karena kelangkaan kedelai. Dan itu disebabkan kedelai-kedelai yang seharusnya diolah menjadi tahu atau tempe oleh pengrajin lokal dimakan oleh lima miliar ekor babi di Cina.

Apa yang seharusnya kami makan telah lebih dulu digasak oleh lima miliar ekor babi di Cina.

“Maafkan kami,” kata Ayah, “namun bagaimanapun, kita harus makan. Kau tahu, keadaan sedang sulit. Pandemi, kesulitan kerja, harga barang-barang naik, dan kita tidak mendapat bantuan apa pun dari pemerintah.”

Aku menundukkan wajah. Aku merasa mataku panas. Aku tahu aku menangis.

Malam itu, aku tidur bersama Basir. Aku memeluknya dan berusaha memejamkan mata. Namun itu sulit sekali. Menjelang dini hari aku baru bisa tertidur.

Aku merasa Basir tidak tidur sama sekali. Tubuhnya hangat dan bergetar. Ia ketakutan.

“Katamu,” kata Basir, “apa pun yang terjadi, kau tak akan memecahkanku.”

Aku tak tahu harus menjawab apa.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dengan sebatang palu, Ayah memecahkan Basir. Aku berdiri memandang tindakan kejam itu dan berusaha tegar dengan tidak menangis.

Aku memang tidak menangis. Aku melihat mata Basir berkaca-kaca. Namun ia memang selalu berkaca-kaca. Dan aku pasti juga akan berkaca-kaca jika seseorang akan memecahkan tubuhku.

Ayah mengatakan kepadaku akan segera membuatkanku celengan yang lain dari tanah liat.

“Kau mau yang bentuk apa?” katanya. “Gajah yang sangat besar? Atau dinosaurus?”

“Kedelai,” kataku, “sebuah celengan berbentuk kedelai yang dibuat sendiri dan tidak harus dibeli dari pasar.”

“Baiklah,” kata Ayah sambil mengumpulkan uang yang bertebaran dari perut Basir. “Sebuah celengan berbentuk kedelai yang dibuat sendiri. Dan kali ini, akan kupastikan tidak akan ada lima miliar ekor babi yang memakannya.”

Aku mengangguk. Lalu mataku kembali terasa panas.

Dadang Ari Murtono
Latest posts by Dadang Ari Murtono (see all)

Comments

  1. Danang Tergalek Reply

    Selalu KEREN

  2. Taliasari Florentina Reply

    Kreatif sekali ide tulisannya. Luar biasa

  3. Indana ilmi Reply

    Simpel tapi keren bangett. Penuh makna

  4. Shofira Reply

    ceritanya sederhana tapi dikemas seindah itu, sampai ke hati pembaca, semangat selalu mas penulis!

  5. kartika sari Reply

    jadi ingat celengan waktu kecil yang selalu ku tatap saat abang-abang bakso datang….:)

  6. Alya Reply

    ceritanya kereenn banget, aku mau izin jadiin objek buat tugas yaa kak

    • Admin Reply

      silakan, kak.

  7. Dyah Kurniawati Reply

    Ada banyak bawang merah di sini. Semangat berkarya, Kak .

  8. RY Reply

    Menarik sekali

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!