Lusi berjingkat begitu telinganya mendengar derum suara motor Harley. Seperti biasa, monster itu pasti sudah tahu kalau papa dan mama Lusi tak di rumah malam ini. Ia pasti bersekongkol dengan setan. Telinganya cepat sekali mendengar kesempatan.
Lusi kebingungan sejenak memikirkan tempat persembunyian. Tentu saja laknat itu tahu setiap sudut rumah ini. Dia itu saudara mamanya!
Di dalam lemari kini Lusi bahkan bisa mendengar denyut jantungnya sendiri, berpacu dengan detak jam dinding kamar. Seolah membawanya ke alam lain yang sunyi menggiriskan. Apalagi saat langkah kaki itu mulai terdengar mendekat….
“Lusi sayang, Paman bawakan majalah kesukaanmu, nih….”
“Lusi sayang, kamu di mana?”
“Ayolah, Lusi, jangan bersembunyi.”
Lusi bisa mendengar lelaki itu membuka pintu kamar mandi dalam kamarnya. Lusi pun tahu saat lelaki itu menyingkap seprai yang menutupi kolom tempat tidur. Lalu lemari sebelah….
Lusi tersentak saat sebuah tangan berbulu menyentuh pundaknya. Lebih-lebih saat ia membuka kedua tangan yang ia katupkan ke wajah.
“Halo, Nona cantik….”
Lusi menggeleng. Ia mundur beberapa langkah, hendak melarikan diri. Tapi terpeleset jatuh. Saat itulah seekor makhluk lagi melambaikan tangan di atas tembok tempatnya sandar.
“Hai.”
Kecoak?!
***
“Nona cantik kenapa sering melamun? Tahukah Nona kalau itu bisa membuat Nona lekas tua?” Ia bilang namanya Crazy. Dinamai begitu karena ia seorang kucing yang tak mau makan ikan.
“Merokok juga tak baik.” Lusi melirik pipa cerutu yang terselip di bibir Crazy.
“Hohoho…, ini bukan rokok racikan bangsa kalian. Ini diramu dari tanaman obat. Bisa memberi efek santai.” Crazy menyemprotkan asap dari mulutnya ke muka Lusi. Harum.
“Ganja?” Lusi melihat kumis Crazy yang bergerak-gerak karena menikmati aroma asap rokoknya.
“Di sini tak ada tanaman opium, Nona.”
“Hei, hei, kalian sudah berkumpul rupanya. Kenapa tak segera memanggil aku?!” Teriakan itu terdengar cukup jauh.
Lusi melihat seekor kecoak berlari ke arahnya. Tubuhnya yang pipih tampak kerepotan seperti layang-layang yang menantang angin. Lusi pernah menanyakan, kenapa makhluk itu selalu berada di atas tembok? Ia menjawab, itulah kenapa dirinya dipanggil Wallie.
“Kalian sedang membicarakan apa? Masih tentang Monster Kura-kura itu lagi?” Napas Wallie terdengar satu-satu. Crazy menyemprotkan asap cerutunya ke wajah pemuda itu.
“Kau tak bilang ingin melawannya kan, Nona? Atau kau ingin tinggal di sini saja? Bermain di negeri yang penuh keajaiban ini sepuas-puasnya. Welcome to the Fantasy Land!” Wallie berteriak keras. Suaranya menggema ke mana-mana.
“Dasar! Tak pernah kursus kepribadian.” Crazy geleng-geleng kepala. Lusi tersenyum. Di negeri ini ia memang telah menjumpai aneka makhluk aneh. Souni si kupu-kupu yang hobi menyanyi. Spidey si laba-laba yang hobi memintal sarang di mana-mana. Ada juga si Mouzie, musang yang hobi mengumpulkan apa saja untuk dikoleksi di rumahnya. Awal mula melihat mereka, Lusi hampir pingsan. Ia bahkan sering muntah-muntah tersebab jijik dan takut yang baur. Karena kesabaran Crazy dan Wallie, Lusi akhirnya tak lagi terburu-buru mencari jalan keluar dari negeri aneh ini.
Fantasy Land, tempat di mana segala kesenangan permainan berada, kata Wallie. Dialah yang mengajak Lusi berkeliling mengunjungi tempat-tempat paling eksotis. Istana Ratu Squirey yang berbahan kristal, Danau Persahabatan yang airnya bisa berubah rasa sesuai keinginan si peminum, Hutan Kabut yang seperti labirin, dan masih banyak lagi tempat-tempat yang sungguh menakjubkan.
“Aku memang tak pernah kursus kepribadian. Tapi aku bisa diandalkan dalam soal pertemanan,” ujarnya sambil merayap ke bawah. Kursus kepribadian bisa disamakan sekolah jika di dunia manusia.
“Itu karena kau memang seorang pemalas.” Crazy tersenyum tipis. “Kau lebih suka menghabiskan waktu di fantasy house ketimbang mengikuti kursus kepribadian.”
“Halah, buat apa kursus kepribadian kalau nyatanya masih suka menipu, suka berbohong, bahkan korupsi. Apa kau tahu siapa itu mereka yang duduk di kursi para pembesar kerajaan Fantasy? Mereka itu para penyelenggara kursus kepribadian! Tapi mereka selalu saja mengambil keuntungan pribadi dari setiap… eh, tunggu, aku ke sini tidak untuk berdebat. Aku ke sini untuk…,” Wallie mencari-cari sesuatu di pakaiannya, “nah, ini dia.” Dia menemukan secarik kertas dari balik sayapnya. Lalu diserahkannya ke Lusi. “Itu surat panggilan dari Mahkamah Fantasy.”
“Panggilan?” Kening Lusi berkerut saat melihat tulisan pada kertas. Ia tak bisa membacanya.
“Sini, aku bacakan.” Crazy meminta surat itu.
“Besok kau diminta hadir ke Pengadilan Fantasy. Kau harus memutuskan, apakah ingin menjadi warga Negeri Fantasy atau kembali ke negerimu sendiri,” Crazy menjelaskan.
Lusi menggigit bibir begitu teringat rumahnya. Tempat yang dirindu tapi juga dibenci.
“Kau tak perlu takut, Nona. Aku akan menemanimu,” ujar Wallie. “Menurutku kau harus kembali ke negerimu saja, Nona. Kau harus berani melawan Monster Kura-kura itu. Di sini memang penuh dengan kesenangan, tapi kau akan tahu akibatnya jika sudah menjadi warga Negeri Fantasy….”
“Wallie, kau tak boleh mengatakannya!” sela Crazy.
“Aku hanya memperingatkannya. Aku ini seorang teman.” Wallie angkat bahu.
***
Rasa takut dan takjub baur. Lusi kini duduk di tengah-tengah para penghuni Negeri Fantasy. Dewan juri yang terdiri dari para semut, Crazy dan Wallie berada di kotak saksi, Dewan Hakim yang berwujud para burung hantu, bahkan Ratu Squirey sang pemimpin Negeri Fantasy—yang berwujud tupai, pun turut hadir di persidangan itu.
Tok…, tok…. Ketukan palu. Gemuruh di ruang itu segera terdiam. Persidangan dimulai.
“Ceritakan bagaimana kau bisa sampai di Negeri Fantasy,” sang hakim kepala mulai berujar.
“Sebenarnya saya masih belum mengerti maksud dari persidangan ini, Yang Mulia,” ucap Lusi hati-hati.
“Bukankah dalam undangan itu sudah tertulis, kau ingin menjadi warga Negeri Fantasy, ataukah ingin kembali ke negeri asalmu?”
“Saya tak pernah menginginkan terlempar ke negeri ini, Yang Mulia. Saat itu saya hanya ingin lari dari dunia saya.” Lusi terhenti sejenak saat melihat salah seorang hakim yang mencatat perkataannya.
“Ya, itulah yang ingin kami dengarkan. Ayo teruskan.”
Lusi menoleh sejenak ke arah Crazy dan Wallie. Senyum mereka seolah memberi dukungan. “Saat itu saya hanya ingin lari dari dunia saya. Lalu tiba-tiba saja Crazy dan Wallie muncul. Tiba-tiba saja saya sudah berada di Negeri Fantasy.”
“Kenapa kau ingin pergi dari duniamu?” cecar hakim kepala.
Lusi menoleh lagi ke arah Crazy dan Wallie. Mereka mengangguk. Tapi Lusi dirundung ragu. Haruskah ia menceritakan hal-hal yang memuakkan itu? Ia pasti akan jadi bahan tertawaan oleh para makhluk di ruangan ini. Dan seterusnya, ia pasti akan jadi bahan olok-olok oleh semua penghuni negeri ini.
“Ayo, bicaralah. Kami hanya ingin mendengar alasanmu. Kami tak akan mengejek seburuk apa jawabanmu,” ujar hakim kepala, seperti tahu isi kepala Lusi.
“Aku hanya ingin lari dari Monster Kura-kura, Yang Mulia.”
“Monster? Aku kira itu hanya ada dalam dongeng. Apa benar di duniamu ada makhluk semacam monster?”
Lusi semakin menunduk. Ia pun mulai bercerita dengan perasaan setengah tak rela. Tentang kedua orang tuanya yang begitu sibuk. Tentang Andrew adiknya yang lebih memilih menenggelamkan diri di dunia geng motor, dan lalu tentang dirinya yang selalu memiliki cara untuk lari dari kesepian. Narkoba, gonta-ganti pacar, dua kali pernah menggugurkan janin, hingga akhirnya Monster Kura-kura datang dan semakin menghancurkan dirinya. Kura-kura adalah istilah Lusi untuk adik tiri mamanya. Lelaki yang berkali mengisap sari manisnya Lusi dengan imbalan pil-pil surga.
Lusi heran saat lihat beberapa juri menangis mendengar ceritanya. Ratu Squirey pun terlihat berkali menyusut kedua mata dengan sapu tangan. Ratu yang penuh dengan sifat keibuan. Lusi pernah bersua dan menceritakan kisah sedihnya di hadapan ratu bijak itu. Beliau menyarankan Lusi tinggal di negeri ini saja. Tapi Wallie tak menyetujuinya dan malah menganjurkan untuk melakukan perlawanan terhadap Monster Kura-kura. Wallie juga menganjurkan agar Lusi mencari sahabat-sahabat terbaik di dunia Lusi. Maksudnya sahabat yang bisa diajak berbagi cerita duka.
“Kami memang pernah dengar ada cerita-cerita konyol semacam itu di dunia lain. Ternyata sekarang kami mendengarnya langsung dari yang pernah mengalaminya. Nah, sekarang saatnya kau memutuskan, apakah kau memilih menjadi warga Negeri Fantasy?”
Wallie menggeleng keras. Tapi Ratu Squirey mengangguk-angguk. Lusi menimbang-nimbang.
“Ya, Yang Mulia. Saya ingin menjadi penghuni Negeri Fantasy.” Akhirnya keluarlah jawaban itu.
“Oo…, tidak!” Wallie berteriak memegangi kepalanya.
Tok… tok… tok, terdengar ketukan palu hakim ketua. “Kini kau resmi menjadi warga Negeri Fantasy.”
Tiba-tiba kabut menyelimuti tubuh Lusi. Ia bisa mendengar ruang sidang yang mulai ribut. Lusi juga mendengar Wallie dan Crazy yang memekikkan kata “tidak” berulang-ulang. Lusi mulai merasakan keanehan terjadi pada dirinya. Ada yang mengkerut, ada yang tumbuh, ada yang menjulur….
Lusi terkejut saat melihat banyak bulu kelabu di sekujur tubuhnya. Saat petugas umum pengadilan memberinya sebuah cermin kecil….
“Apa ini?!” Lusi menjerit. Ia melihat wajah seekor tikus di sana.
***
Cahaya yang menerobos celah mata membuat Lusi mengatupkannya lagi. Kesadarannya mulai kembali. Pagikah ini? Hidungnya mencium bau busuk.
“Bangunlah, Nak. Hari sudah terang, ayo, bangun.” Lusi merasa ada yang coba mengangkatnya.
Susah payah Lusi membuka kedua matanya. Sampah-sampah, ia terkejut saat mendapati dirinya di atas tumpukan sampah. Bocah-bocah kecil berpakaian kumuh banyak sekali mengerumuninya.
“Kau mau pulang ke rumah Ibu, Nak?” Seorang perempuan paruh baya menawarkan tangannya, tersenyum manis ke arah Lusi.
Tubuh Lusi bergetar. Pandangannya sedih memperhatikan sekujur tubuhnya. “Aku hanya seekor tikus, Bu. Jangan pedulikan aku.” Lusi menggeleng lemah.
Kalinyamatan—Jepara 0812-2014
- Lusi di Dunia Fantasi - 11 September 2015
- Jalan Pulang ke Rumah Laut - 7 August 2015
- Alasan Penting Mengapa Anita Suka Memakai Baju Lusuh - 21 June 2015
Moch Batinur
Alur ceritanya ngalir banget. Saya sempat masuk ke ILusinya Lusi. Nice story Mas Adi
Salam buat si lusi semoga lekas bangun dari ILusi fantasinya
Adinda
Wah emang pantes lah ceritanya lolos seleksi. Emang bagus kok.
Ra
cerpennya baguss, ngalir banget… good job buat mas Adzi Zamzam