Maha Tuan

Tuan dari segala tuan yang merupakan realitas pertama dalam pengertian yang sesungguhnya tak lain adalah Allah Ta’ala. Dan karena merupakan satu-satunya realitas yang absolut, maka dapat dipastikan bahwa hanya Dia sajalah yang merupakan penyandang nama yang mutlak. Nama-nama yang lain hanyalah merupakan himpunan atribut yang nisbi dan setengah-setengah yang memantul dari bayang-bayang kehendak dan kuasa hadiratNya. Tak lebih dari itu. Karena objek dari nama-nama itu juga adalah wujud-wujud pinjaman. DariNya bermula segala sesuatu dan kepadaNya pasti kembali.

Satu nama menjadi pangkal dari seluruh nama yang sudah ada dan akan ada. Dia juga merupakan puncak dari segala tujuan. Jika dalam episode demi episode kehidupan ini kita memiliki sejumlah tujuan yang senantiasa menggema di pikiran dan hati kita, terbayang segala yang ingin kita capai, terpahat kuat setiap yang ingin kita raih, maka sesungguhnya semua itu secara hakiki akan mengerucut pada tujuan tunggal yang merupakan sumber dari segala kenikmatan. Dialah Tuhan semesta alam yang senantiasa sabar menemani proses-proses makhlukNya.

Akan tetapi tidak mudah untuk mengerucutkan berbagai macam keinginan dan tujuan itu. Penglihatan manusia sering kali terlalu pragmatis sehingga tidak bisa menembus segala sesuatu yang fana dan amburadul oleh pergantian masa dan keberingasan waktu. Seolah Allah Ta’ala meringkuk dicekam sunyi, tak tersentuh oleh berbagai gemuruh kehendak dan keinginan manusia yang senantiasa menjulur di altar hari-hari. Tentu saja, kecuali bagi orang-orang yang sudah sadar tentang apa itu arti kefanaan dan apa itu sejatinya keabadian. Bagi mereka ini, keagungan dan keindahan hadiratNya adalah segalanya. Yang lain tersingkir, seakan tak pernah ada dan tak perlu ada.

Dalam keadaan tertambat dan terngungun terhadap Allah Ta’ala, mereka mendapatkan hadiratNya itu tidak hanya sebagai puncak dari segala tujuan, akan tetapi juga merupakan tambang teramat luas yang menampung berbagai macam kenikmatan yang tak terhingga. Kekuatan indrawi rohani mereka sedemikian tajam sehingga tidak pernah tebersit di dalam diri mereka adanya secuil hasrat kepada aneka ragam kenikmatan artifisial yang lain.

“Sesungguhnya tujuan puncak itu adalah Tuhanmu,” firman Allah Ta’ala dalam Qur’an surat an-Najm ayat 42. Artinya adalah bahwa berbagai hasrat dan kebutuhan yang hakiki itu tersimpan rapi di dalam merasakan kedekatan atau bahkan “peleburan” ke dalam hadiratNya. Sebuah kenikmatan yang tak terpermanai di mana seluruh bahasa ungkap manusia pasti terlampau ringkih dan kedodoran untuk bisa secara saksama memvisualisasikannya.

Artinya adalah bahwa “setelah” Allah itu tidak ada apa pun yang lain. Bahkan kata “setelah” itu sebenarnya tidak bisa disandarkan kepada hadiratNya. Sebab, bagaimana hal itu bisa dimungkinkan, bukankah tidak ada apa pun yang tidak dicakup dan tidak diliputi oleh Tuhan semesta alam? Bukankah mustahil ada puncak lain yang sanggup untuk menandingi dan, apalagi, melampauiNya? “Tidak ada tujuan di belakang Allah,” tulis Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani dengan gema rohani yang begitu indah dan kuat di dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Jailani.

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa mendapatkan Allah Ta’ala itu adalah keberuntungan yang tidak ada duanya di mana siapa pun yang telah mencecapnya berarti dia telah rampung menerobos proses-proses yang lain. Sudah purna dia bagi segala sesuatu yang lain. Yang terus tersisa dan tidak akan pernah purna adalah menikmati Allah Ta’ala di dalam hadiratNya sendiri. Karena Dia tak lain merupakan hamparan kenikmatan yang tidak dibatasi oleh finis apa pun. “Ketika engkau sampai kepada Allah,” tulis Syaikh Fariduddin Attar dalam kitab Mantiq ath-Thayr dengan segenap kepastian rohani, “berarti engkau baru memulai perjalanan. Dan perjalanan di dalam hadiratNya itu tidak ada batasnya.” Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!