Para Pandawa melakukan upacara persembahyangan untuk jiwa-jiwa orang-orang yang gugur di medan perang. Mereka mendirikan tenda di tepi Sungai Gangga selama sebulan.
Suatu hari, Begawan Narada menampakkan diri di hadapan Yudhistira. Katanya: “Anakku, karena restu Krishna, keberanian Arjuna dan kekuatan dharmamu, kalian menang dan kini engkau menjadi penguasa bumi. Bahagiakah engkau?”
Jawab Yudhistira: “Begawan, memang benar kerajaan sudah menjadi milikku. Tapi sanak saudaraku sudah tidak ada lagi. Aku kehilangan anak-anakku yang kukasihi. Kemenangan ini lebih terasa sebagai kekalahan besar. Begawan, kami menjadikan saudara kami sebagai musuh dan tega membunuhnya. Karna tegak berdiri seperti batu membela kehormatannya. Keberaniannya membuat seluruh dunia kagum. Tindakan keji membunuh saudara sendiri adalah buah kelekatan kami pada harta kekayaan duniawi. Di sisi lain, dia menepati janjinya pada ibu kami dengan tidak membunuh kami. Oh, aku adalah seorang pendosa besar. Hanya manusia rendah yang tega membunuh saudara sendiri. Aku merasa sangat berdosa. Kaki Karna mirip kaki ibu. Di ruang pertemuan itu, ketika Drupadi dipermalukan dan amarahku meluap, tatkala aku melihat ke arah kakinya, yang mirip dengan kaki Ibu Kunti, amarahku mereda. Setiap aku mengingat itu, hatiku seperti disayat sembilu.” Setelah berkata demikian, Yudhistira mengambil napas panjang. Kepada Yudhistira, Narada menceritakan semua tentang Karna dan kutukan yang pernah diucapkan padanya.
Ketika melihat Arjuna jauh lebih tangkas dalam menggunakan panah, Karna mendekat dan memohon Durna untuk mengajarinya menggunakan Bramastra. Durna menolak dengan mengatakan kalau Brahmastra hanya diberikan kepada brahmana yang berhati bersih dan kesatria yang telah membersihkan diri dengan banyak tapa brata. Karena itu, Karna pergi ke pegunungan Mahendra dan berbohong kepada Parasurama. Katanya, dia adalah seorang brahmana dan mohon diterima menjadi murid. Dari Parasurama, dia belajar panah dan menggunakan berbagai macam astra (senjata yang dilepaskan dengan menggunakan mantra).
Suatu hari, ketika Karna berlatih panah di hutan dekat asrama Parasurama, seekor sapi milik seorang brahmana lewat. Tanpa disengaja panah Karna mengenai sapi itu. Binatang itu mati seketika. Brahmana pemilik sapi itu sangat marah. Ia lontarkan kutukan pada Karna: “Di medan perang, roda keretamu akan terjebak dalam lumpur dan kau akan menemui ajal seperti sapi yang tidak bersalah ini.”
Parasurama sangat menyayangi Karna. Dia ajarkan semua ilmu panah yang dia miliki. Dia juga mengajari Karna cara menggunakan Brahmastra. Suatu hari, guru itu tahu bahwa Karna bukan seorang brahmana. Ceritanya seperti ini: Seekor serangga menggigit paha Karna. Sore itu, Parasurama jatuh tertidur di pangkuan Karna. Suatu hari Parasurama tertidur di pangkuan Karna. Karna menahan rasa sakit itu tanpa mengeluh sedikit pun. Meskipun sangat sakit, dia sama sekali tidak bergeming. Dia takut mengganggu tidur gurunya. Tetesan darah dari luka gigitan itu membangunkan Parasurama. Ketika tahu apa yang terjadi, Parasurama amat marah.
Katanya: “Engkau adalah seorang kesatria. Hanya seorang kesatria yang bisa menahan rasa sakit seperti itu tanpa bergerak sedikit pun. Katakan sejujurnya. Kau bukan seorang brahmana. Engkau telah menipu gurumu. Dungu! Ketika saatmu tiba, pengetahuanmu tentang astra tidak akan membantumu dan semua yang telah kau pelajari dariku tidak akan bisa kau gunakan.”
Parasurama memang dikenal tidak menyukai para kesatria. Dengan marah, Parasurama mengutuk Karna.
Karna adalah orang yang murah hati. Suatu hari, Batara Indra, yang adalah ayah Arjuna, menyamar menjadi seorang brahmana. Ia meminta anting-anting dan baju perang pusaka yang menyertainya sejak lahir. Tanpa pikir panjang, Karna berikan apa yang diminta brahmana itu. Sejak saat itu, kesaktian Karna berkurang.
“Janji Karna kepada ibunya, Kunti, bahwa dia tidak akan membunuh lebih dari satu saudaranya, kutukan Parasurama, amarah brahmana yang sapinya terpanah Karna, kata-kata Salya yang menurunkan semangat tempur Karna, dan tipu muslihat Wasudewa, semua itu menyatu menjadi penyebab kematian Karna.” Demikianlah penjelasan Narada. Meskipun demikian, Yudhistira tetap tidak bisa menghilangkan gundah hatinya.
Kata Kunti kepada Yudhistira: “Anakku, jangan merasa bersalah atas kematian Karna. Ayahnya, Batara Surya, sendiri meminta Karna untuk meninggalkan Duryudana yang jahat dan bergabung denganmu. Aku juga sudah berusaha keras membujuknya. Tapi, dia tidak mau mendengarkan kami. Dia sendirilah yang memilih kehancurannya sendiri.”
Kata Yudhistira: “Ibu telah membohongi kami semua, dengan menyimpan rahasia itu dari kami. Engkaulah yang menyebabkan dosa besar ini. Semoga, mulai saat ini, kaum wanita tidak bisa lagi memegang rahasia.”
Demikianlah cerita sang pengarang Mahabharata tentang kisah Yudhistira mengutuk semua wanita, karena amarah telah membunuh saudara sendiri. Pandangan umum mengatakan bahwa wanita tidak bisa menyimpan rahasia. Dengan indah kisah ini mengilustrasikan pandangan yang umum itu. Di dunia hidup sehari-hari, mungkin kemampuan menyimpan rahasia merupakan suatu kelebihan. Tapi dari sudut pandang moral, kemampuan ini jelas bukan kebajikan. Kaum wanita tidak perlu bersedih karena ketidakmampuan menyimpan rahasia ini—jika warisan Dewi Kunti masih berlaku sampai saat ini. Sifat wanita yang penuh kasih mungkin menyebabkan mereka cenderung terbuka.
Namun demikian, banyak wanita yang bisa menyimpan rahasia dengan sangat baik. Banyak pula laki-laki yang tidak bisa menyimpan rahasia. Salah besar jika mengaitkan kemampuan yang diperoleh melalui belajar dan pengolahan sifat ini dengan jenis kelamin tertentu.
- Mahabharata #97 Kedukaan Yudhistira - 11 May 2016