Sudah sedari kecil saya mendambakan jalan-jalan ke luar negeri, terutama Jepang. Hasrat itu kembali muncul ketika saya duduk di bangku SMA. Ketika saya bergabung di suatu komunitas jejepangan; pencinta anime, pelukis komik, cosplayer, dan peminat bahasa dan budaya Jepang. Saya belajar banyak tentang Jepang di sana melalui berbagai medium seperti animasi, komik, film, dan lainnya.
Apa daya, setelah ujian nasional saya tidak lagi terlibat dalam komunitas tersebut, apalagi memikirkannya. Saya fokus mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Mengurus berkas-berkas dan dokumen-dokumen yang ribetnya minta ampun, hingga setelah kelulusan ujian masuk di perguruan tinggi.
Selama tiga tahun setelahnya, saya benar-benar lupa akan Jepang. Saya tidak lagi menonton anime, tidak lagi menjadi cosplayer, tidak lagi membeli, membaca, dan mengoleksi manga. Saya sudah benar-benar move on. Hingga saya bertemu seseorang.
Dia adalah senior saya di fakultas pertanian. Saat itu, saya sedang asyik menyantap bakwan di kantin, dia datang dan menegur saya. Saya memang sudah kenal sama beliau, selain senior di fakultas dia juga senior saya di suatu organisasi. Beliau memberi tahu saya ada program pembelajaran bahasa dan budaya satu tahun di Jepang dan menyuruh saya agar segera mendaftar.
Alhasil sampailah saya saat ini di Jepang. Tentu saja dengan perjuangan yang tak kalah jerihnya dengan teman-teman saya yang sedang mengurus skripsi. Banyak sekali tesnya, yang kalau saya tuliskan semua tak akan cepat selesai kalian membaca semua tulisan ini.
Pertama kali tiba di Jepang, yang saya rasakan adalah dingin. Bagaimana tidak, dengan gagahnya saya keluar bandara dengan hoodie biasa, tipis lagi. Masuk lagi ke bandara untuk bongkar koper dan langsung cari jaket tebal hehehe.
Tugas pertama saya di sini adalah mencari alamat, alamat universitasnya. Untung saja sampai ke tujuan dengan selamat, jadi saya tidak harus melantunkan lirik “Alamat Palsu” di tengah-tengah kota hehehe. Pihak universitas kembali memberikan saya alamat kedua, tempat tinggal saya. Saya agak gugup juga, jangan-jangan memang harus nyanyi lagu itu, mengingat sejauh ini saya melakukannya sendirian. Ternyata saya diantarin. Syukur.
Setelah saya mendapati kosan, yang lebih mirip apartemen, dalam batin saya sedikit haru. Kamar sewa saya di Indonesia tidak sebagus ini. Mereka—orang-orang Jepang—bilang ini standar mahasiswa di sini. Perabotan lengkap, kulkas, AC (bisa panas dan dingin), shower, bak mandi, dan banyak lagi perabot elektrik. Saya hanya bisa mengelus dada mengingat tragisnya hidup saya sebelumnya, kamar kos ala kadarnya. Tapi lebih tragis di sini bayar uang sewanya, kurang lebih satu juta rupiah, ini cukup murah karena ada bantuan subsidi dari kampus. Kalau tidak, saya akan mengeluarkan biaya hingga dua setengah juta. #@%$*!
Tagihan listrik saya sangat luar biasa, dua ratus lima puluh ribu rupiah. Di Jepang ada banyak tagihan yang tertuju untuk perorangan mahasiswa, luar biasa juga ini pikir saya. Selain tagihan standar uang sewa kamar dan listrik, ada tagihan air.
Tagihan air ini juga unik, dibagi menjadi dua bagian; tagihan air keluar, yaitu air yang kita gunakan atau air yang keluar dari sumber air seperti keran. Dan tagihan saluran air, yaitu tagihan air yang telah menjadi limbah rumah tangga atau air yang telah mengalir di pipa pembuangan air. Karena setiap air keran di Jepang bisa diminum, air limbah/kotor yang mengalir di pipa akan kembali diolah menjadi air bersih. Total untuk tagihan ini adalah lima ratus ribu rupiah. Gila, kan?
Kemudian ada tagihan asuransi kesehatan sebesar dua ratus ribu rupiah per bulannya. Memang agak kesal untuk mengeluarkan uang untuk tagihan ini. Tapi, lebih kesal lagi kalau keluar uang untuk biaya rumah sakit. Bayangkan, demam biasa kalau berobat di rumah sakit/klinik di Jepang bisa menghabiskan lebih dari lima ratus ribu rupiah. Jika kita tergabung di asuransi kesehatan cukup bayar 30%, selebihnya akan ditanggung pemerintah, haduhh.
Dan terakhir adalah tagihan gas. Tagihan yang paling sedikit jumlahnya, karena jarang digunakan. Walaupun begitu, jika saya di Indonesia ada berapa bungkus nasi padang yang bisa saya dapat dari seratus lima puluh ribu? Banyak, kan!
Jadi, untuk total wajib pengeluaran saya selama satu bulan di Jepang adalah dua juta seratus ribu rupiah. Percayalah, semua tagihan itu belum termasuk biaya makan dan jajan di luar. Apalagi bagi kalian yang suka jajan di minimarket, tamat sudah. Karena pengeluaran yang tak masuk akal tersebut, saya lebih baik masak di rumah ketimbang makan di luar.
Masih mau tinggal di Jepang?
- Berapa Biaya yang Harus Dikeluarkan Mahasiswa di Jepang? - 31 January 2018