Serba-Serbi Mahasiswa Rantau di Negeri Gajah Putih

Serba-Serbi Mahasiswa Rantau di Negeri Gajah Putih
Secuil mahasiswa full-time dan exchange asal Indonesia salah satu universitas negeri ternama Thailand. Dok. pribadi

Mendengar negara Thailand, yang tebersit dalam kepala kalian pastilah sup pedas yang biasanya berisi hidangan laut seperti udang, cumi, maupun ikan yang dikenal sebagai tom yum, para ladyboy dengan kecantikan luar biasa, dan film genre horor yang bisa membuat bulu roma meremang.

Mungkin banyak yang belum tahu, kalau Thailand juga terkenal dengan sistem dan fasilitas pendidikan yang mumpuni, tak kalah dari negara-negara maju di Eropa maupun Amerika. Beasiswa yang ditawarkan pun beragam, mulai dari full scholarship yang menunjang segala aspek kebutuhan mahasiswa selama menempuh pendidikan (uang saku, uang tempat tinggal, uang kuliah, uang penelitian, uang buku, asuransi kesehatan, hingga uang tiket pulang-pergi ke negara asal yang diberikan sebanyak dua kali, yaitu saat keberangkatan dan kepulangan setelah lulus), partial scholarship (hanya menunjang biaya kuliah, uang saku, dan atau uang penelitian), research scholarship (hanya membiayai penelitian yang akan dilakukan), dan on going scholarship. Sumbernya bisa didapat dari Kerajaan Thailand, instansi pemerintah, maupun universitas yang dituju. Hal tersebut menjadi pertimbangan saya untuk melanjutkan studi master di Thailand. Tak hanya berbagai fasilitas topcer dan banyaknya tawaran beasiswa yang menggiurkan saja, jaraknya yang hanya tiga jam perjalanan menggunakan pesawat dari Jakarta menuju Bangkok, zona waktu yang sama-sama berada di GMT+7, dan bahan makanan yang serupa membuat orang tua saya rela melepas anak tertuanya untuk merantau di negeri orang.

Selama hampir dua tahun saya tinggal di jantung Kerajaan Thailand, yaitu Kota Bangkok, banyak ditemukan hal-hal yang menarik perhatian saya. Contohnya, Thailand—khususnya kota Bangkok—tidak memiliki kos-kosan. Hanya ada tiga jenis tempat tinggal yang umum ditinggali mahasiswa, yaitu asrama, apartemen, dan kondominium. Saya sendiri tinggal di sebuah apartemen.

Asrama merupakan satu dari tiga tempat tinggal favorit para mahasiswa, harganya sangat terjangkau dan lokasinya yang terletak di dalam maupun dekat dengan kampus. Normalnya, harga yang dipatok mulai dari 1.000 hingga 6.000 baht[1]/bulan, tergantung berapa banyak orang yang mendiami sebuah kamar (kebanyakan asrama dengan harga sewa di bawah 3.000 baht bisa diisi hingga empat orang) dan fasilitas yang disediakan. Asrama hanya bisa disewa oleh mahasiswa aktif atau yang masih menempuh pendidikan di sebuah universitas.

Apartemen menjadi tempat tinggal favorit kedua. Harganya mulai dari 3.000 hingga 15.000 baht/bulan untuk sebuah ruangan, tergantung jumlah kamar yang tersedia di dalam ruangan tersebut (paling banyak tiga kamar). Untuk apartemen dengan satu kamar, hanya diizinkan paling banyak dua orang penyewa. Beberapa apartemen menerima penyewa lebih dari dua orang, diperuntukkan bagi mahasiswa maupun karyawan yang sudah berkeluarga. Sama seperti asrama, fasilitas yang disediakan oleh apartemen pun menentukan harga yang harus kita bayar. Khusus untuk apartemen memiliki minimal durasi tinggal, ada yang tiga bulan, enam bulan, bahkan setahun.

Kondominium adalah tempat tinggal termahal dan termewah yang dapat disewa oleh mahasiswa, namun tak sedikit mahasiswa yang memilih tinggal di sana. Harga yang diberikan mulai dari 25.000 baht/bulan.

Bukan sebuah rahasia jika jarak yang harus ditempuh dari lokasi tinggal menuju universitas menjadi satu dari sekian banyak faktor yang menentukan tinggi-rendahnya harga yang ditawarkan di samping fasilitas. Untuk menyewa sebuah kamar asrama apartemen, maupun kondominium, kita wajib membayar uang jaminan/deposit yang nantinya akan dikembalikan ketika memutuskan untuk pindah atau keluar jika tidak terjadi kerusakan dan/atau tidak melanggar kontrak selama tinggal.

Sebagian besar tempat tinggal mulai dari asrama hingga kondominium sudah dalam kondisi full furnished dengan peralatan dasar seperti AC atau kipas, lemari, ranjang dan matras, meja, dan kursi. Untuk kamar mandi sendiri terletak di dalam kamar, namun sebagian besar asrama menerapkan kamar mandi bersama. Biaya air dan listrik dihitung masing-masing. Jangan kaget ketika melihat tagihan listrik bulanan yang harganya bisa setara dengan rumah berkapasitas 1.300 W. Ini terbilang mahal. Saya biasanya membayar sekitar 5.000–6.000 baht/bulan, sudah termasuk biaya sewa kamar, listrik, dan air. Jika dijabarkan, biaya sewa kamar 4.000 baht, biaya penggunaan air 50–80 baht, dan biaya listrik 600–1.500 baht.

Untuk biaya hidup di Kota Bangkok, bisa saya katakan terjangkau. Jika disetarakan, hampir sama dengan biaya hidup di Jakarta. Dalam sebulan, saya menghabiskan 4.000–5.000 baht untuk makan, jajan, dan lainnya. Harga seporsi makanan mulai dari 20 baht. Soal rasa, jelas berbeda. Saya merasa makanan Thailand kurang garam dan terlalu asam, apalagi rasa saus yang disediakan di restoran cepat saji. Butuh waktu enam bulan bagi saya untuk terbiasa dengan rasa saus yang tidak-pedas-cenderung-masam. Teman seperjuangan saya yang picky terhadap makanan membutuhkan waktu setahun lebih untuk membiasakan lidahnya dengan rasa Thailand. Bagi mahasiswa yang beragama Islam, jangan takut tidak bisa menikmati makanan yang ada karena biasanya tiap universitas menyediakan kedai makanan halal di kafetaria.

Bahan makanan yang digunakan, seperti sayuran, sama seperti yang biasa kita makan di Indonesia dan bisa ditemukan baik di supermarket maupun pasar tradisional. Tapi, jangan harap menemukan tempe di sudut pasar mana pun, karena Thailand tidak memproduksinya. Jika ingin makan tempe, biasanya saya membeli dari kenalan sesama WNI yang memang memproduksi tempe, itu pun harganya sangat mahal, sekitar 50–100 baht per papan. Jelas jauh sekali jika dibandingkan dengan harga tempe di Indonesia.

Biaya transportasi yang dikeluarkan tergolong murah. Untuk bus dalam kota mulai dari 6.5–19 baht tergantung jenis bus (AC dan non-AC) dan jarak yang ditempuh. Bus non-AC tertentu bahkan tidak perlu membayar bayar alias GRATIS. Skytrain atau biasa disebut dengan BTS mulai dari 15 baht, tergantung stasiun yang dituju, pun dengan subway atau MRT. Thailand juga sudah memiliki transportasi berbasis online seperti Grab dan Uber. Selain masalah tempat tinggal dan biaya hidup, hal menarik lain yang saya temukan adalah fasilitas yang disediakan untuk pelajar. Banyak museum dan tempat wisata budaya memberikan diskon khusus kepada siswa dan mahasiswa dengan menunjukkan kartu tanda siswa/mahasiswa. Tak hanya itu, budaya antre mengakar kuat dalam pribadi masyarakat Thailand. Mau naik bus, antre. Mau bayar di kasir, antre. Bahkan sampai naik ojek pun harus antre. Ketika terjebak macet, belum pernah sekalipun saya mendengar suara klakson dibunyikan kecuali untuk saat-saat tertentu, membuat siapa pun merasa nyaman.

Tertarik untuk merantau di negeri gajah putih?

[1] 1 baht = 431.911 rupiah.

Rizki Maretia Novi Barus
Latest posts by Rizki Maretia Novi Barus (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!