Sebuah ayat yang menyatakan bahwa tidaklah menyentuh Qur’an kecuali orang-orang yang disucikan (QS. al-Waqi’ah ayat 79) sering kali dipahami sebagai ayat hukum. Yakni, orang yang tidak terbebaskan dari hadas kecil dan besar tidak boleh atau haram menyentuh himpunan kalamullah yang telah dibukukan itu. Tentu saja pemahaman yang demikian itu sah adanya. Sama sekali bukanlah merupakan suatu penyimpangan.
Akan tetapi dalam esai yang pendek ini saya akan lebih mengaksentuasikan pada dimensi sufistik ayat tersebut. Yaitu, dengan memaknai “menyentuh” tidak secara harfiah, tapi murni secara spiritual di mana siapa pun yang mengalaminya berarti telah mendapatkan karunia yang sangat agung sebagai hidangan rohani yang langsung disodorkan oleh Rabbul’alamin. Sebuah hidangan yang kenikmatannya melampaui seluruh kelezatan materi atau segala sesuatu yang rusak dan musnah oleh keberingasan waktu.
Menyentuh dalam konteks paradigma sufistik pada ayat di atas itu tertuju kepada korelasi spiritual antara subjek dan objek, sama sekali bukan pada dimensi artifisial atau permukaan yang hanya terpaut dengan pembacaan dan pemaknaan yang dangkal terhadap himpunan firmanNya itu. Atau dalam konteks Nabi Muhammad Saw. yang merupakan realisasi secara utuh dari Qur’an itu sendiri, menyentuh itu tidak hanya berarti sezaman, pernah berjumpa atau bahkan bertetangga dengan beliau. Sama sekali tidak. Sebab, kalau hanya dipahami demikian, Abu Jahal dan Abu Lahab pun juga mengalami dan merasakan hal itu.
Tapi apa yang didapat oleh kedua begundal itu? Biarpun Khatam an-Nabiyyin Saw. itu merupakan gudang terbesar dari seluruh makhluk yang menyimpan segala kebaikan, keindahan, keselamatan dan keterpujian, keduanya sama sekali tidak mendapatkan apa pun yang berarti dari beliau. Bahkan yang terjadi malah sebaliknya: keduanya justru mendapatkan malapetaka dan kehinaan lantaran dengan tegas dan kasar menabuh genderang pengingkaran dan permusuhan yang sengit terhadap beliau. Betul-betul merupakan musibah yang sempurna dan saksama.
Pernah pada suatu hari Abu Bakar ash-Shiddiq menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. merupakan makhluk yang paling indah dan menawan. Pada saat yang bersamaan Abu Jahal juga menyatakan bahwa panutan dan junjungan orang-orang beriman itu adalah makhluk terburuk dan paling menjijikkan di dunia. Keduanya mengatakan hal itu di hadapan Rasulullah Saw. Dan “anehnya”, beliau bersabda bahwa keduanya itu benar. Yakni, benar sesuai dengan kapasitas masing-masing dalam melihat. Yang satu melihat dengan kacamata cinta dan penuh takzim. Sedang yang satunya lagi memandang dengan dengus kebencian dan rasa muak yang tidak tertanggungkan.
Orang yang kualitasnya seperti Abu Jahal akan senantiasa terhalang untuk mendapatkan nilai-nilai Qur’ani di dalam kehidupan, baik dari pembacaan kitab suci itu sendiri maupun dari pembacaan buku biografi yang berisi tentang perjalanan hidup suci Sang Nabi Saw. Benci telah menjadi hijab yang tidak saja menggelapkan pandangan, tapi malah lebih parah lagi. Yaitu, mendorongnya pada jurang kelam kehancuran yang paling malang.
Hal itu berarti menunjukkan bahwa semakin kotor jiwa seseorang dalam konteks kerohanian, maka akan semakin terhalang dia dari memahami dan merasakan kenikmatan rohani Nabi Pungkasan Saw. Demikian juga sebaliknya. Semakin suci jiwa seseorang dan dekat dengan Allah Ta’ala, maka akan semakin banyak pula dia mendapatkan manfaat dan barokah dari beliau. Karena itu, isti’dad atau mempersiapkan diri secara rohani dengan penuh kesungguhan dan ketulusan adalah jalan spiritual yang harus terus ditekuni sampai kapan pun.
Tidak usah khawatir tidak digubris oleh Sang Nabi Saw. Karena orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk berhati bersih dan merindukan beliau, merekalah yang selalu dirindukan oleh beliau. Beliau tidak pernah mengecewakan siapa pun yang datang dengan penuh pengharapan ke hadapannya. Beliau tidak pernah menyatakan tidak kepada segala pengharapan baik yang tertuju kepadanya. Sama sekali tidak. Kemurahan hati beliau tidak pantas dipertanyakan oleh siapa pun, apalagi oleh kita yang sudah kadung mengimaninya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025