Di ujung ayat 130 Surat Thaha, Allah Ta’ala menegaskan, “Dan pada sebagian bentangan malam hendaklah engkau bertasbih.” Artinya adalah bahwa di tengah potensi halimun nafsu yang kelam bagaikan malam hendaknya siapa pun yang beriman melakukan “kulakan” sifat steril dari keterjangkitan oleh apa pun yang selain hadiratNya dengan cara bertasbih kepadaNya.
Allah Ta’ala Mahasuci. Dan gudang tak terkira kemahasucian itu pintu-pintunya senantiasa terbuka lebar-lebar bagi kita untuk sesering mungkin bertandang ke sana. Tujuannya jelas. Tak lain adalah agar tertulari kesucian itu. Sehingga secara ontologis kita semakin menegaskan korelativitas kita dengan Allah Ta’ala. Dan dengan demikian, tentu saja kita akan semakin dekat pula dengan hadiratNya.
Allah Ta’ala Mahabenar. Tidak mungkin sesedikit apa pun tersentuh oleh kekurangan, kesalahan, atau kekeliruan. Sedangkan bertasbih kepada hadiratNya merupakan ikhtiar spiritual dengan cara mengakui adanya dua hal yang berlawanan sekaligus. Pertama, tentang adanya diri yang berlepotan dengan berbagai macam dosa dan kelengahan, mungkin juga pengingkaran dan kekufuran di satu sisi. Kedua, keimanan dan pengakuan bahwa hadiratNya itu tak lain merupakan kemahasempurnaan yang tidak bertepi di sisi yang lain.
Apakah mungkin manusia yang nisbi itu menyentuh konvergensi dengan Tuhan yang absolut? Di dalam perspektif kaum sufi, utamanya Syaikh Muhyiddin ibn ‘Arabi, diungkapkan bahwa sangat mungkin terjadi adanya titik temu secara hakiki antara manusia yang sangat terbatas dengan Tuhan yang tak tersentuh oleh batas. Alasannya jelas bahwa manusia itu sesungguhnya tak lain merupakan bayang-bayang hadiratNya sendiri.
Untuk mendapuk akselerasi agar sampai pada episode berlangsungnya konvergensi yang didambakan itu, maka siapa pun dari kalangan orang beriman mesti terlebih dahulu melakukan tazkiyah atau penyucian terhadap dirinya sendiri dengan cara selalu mandi taubat, shalat taubat, beristighfar, dan semangat ke depan untuk menjadi semakin suci, di samping tentu saja patuh terhadap segala perintah dan menjauhi larangan agama.
Semakin kuat terciptanya titik temu itu, maka akan semakin sublim pula pengaruh kemahasucian hadiratNya itu terhadap seseorang yang secara hakiki senantiasa bertasbih. Sehingga suatu saat nanti, dengan perkenan dan pertolongan Allah Ta’ala, sifat-sifat penuh kekurangan yang melekat padanya akan digantikan oleh sifat-sifat kesempurnaan yang menghablur secara langsung dari arah Tuhannya.
Ketika nafsu yang kelam dengan segala pengaruh yang disemburkannya itu telah diatasi dengan cara bertasbih secara substansial, maka berbagai macam rayuan dan godaan dari segala rupa duniawi yang fana dan artifisial tidak akan pernah mempengaruhi dan mengotori jiwa, pikiran dan hatinya lagi. Hidupnya akan senantiasa dihiasi dengan berbagai keindahan akhlak hadiratNya.
Di saat itu, cahaya siang ruh akan selalu memancar pada balairung hatinya. Hati itu akan menjadi semakin bersih dan luas, penuh dengan keindahan dan kedamaian, kebak dengan rasa syukur dan puja-puji pada Tuhan. Itulah maqam ridha yang merupakan puncak kesempurnaan dari tajalli sifat-sifat hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
Anonymous
Esai ini seharusnya ditaruh di rubrik Rehal sebagaimana tulisan Cak Kuswaidi yang lain. Dan, sebagaimana tulisan-tulisan Cak Kuswaidi yang lain, berhasil mengajak pembaca untuk larut dalam cinta ilahiah. Tabik.