Ketika kelam malam telah tercahayai oleh sinar keilahian dengan benderang dan penuh keindahan, maka malam itu akan tampil sebagai kondisi rohani dan kendaraan Ilahi yang sangat mengagumkan. Itulah perumpamaan bagi nafsu ketika sudah sepenuhnya masuk dalam fase keinsafan dan kepatuhan yang sangat menyenangkan sekaligus menentramkan.
Di saat itu, hati yang merupakan tempat persemayaman bagi nafsu yang sudah insaf dan patuh itu telah bertolak dari dermaga “kefanaan” menuju seberang kebakaan: sebuah kedudukan spiritual di mana seseorang yang telah sampai di sana tidak lagi terhijab oleh Allah Ta’ala untuk menyaksikan makhluk-makhlukNya. Tidak sebagaimana seorang wali yang majdzub. Dia sudah bisa menyaksikan secara rohani sekaligus sanggup membedakan di antara keduanya. Mana Allah Ta’ala dan mana makhluk. Sehingga akhlaknya menjadi sempurna, baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Siapa pun yang telah sampai pada kedudukan terhormat seperti itu, setiap saat akan senantiasa mempersembahkan sujud “kefanaan” mengenai dirinya dan alam semesta kepada hadiratNya. Artinya adalah bahwa dia akan selalu merasa lenyap bagi dirinya sendiri dan merasa eksis semata karena murni ditopang oleh Allah Ta’ala. Dominasi kemanusiaannya yang wadag telah menjadi kalis. Hidupnya mutlak merupakan pengejawantahan dan “eksistensi” Tuhannya belaka. Dia telah merdeka dari berbagai cengkeraman dan destruksi egoismenya sendiri.
Di atas kedudukan rohani yang sangat bermartabat dan tinggi itu, dia akan menyaksikan dengan kekuatan pandangan spiritualnya yang cemerlang bahwa tidak ada kebersamaan apa pun yang menyertai Allah Ta’ala. Artinya adalah bahwa secara hakiki tidak ada apa atau siapa pun yang selain hadiratNya. Sehingga kebersamaan dengan yang lain sama sekali tidak dimungkinkan bagiNya. Tidak ada dualisme. Sehingga menjadi mustahil ada setitik debu keakuan yang bisa disandang oleh yang lain itu.
Sujud seseorang yang bertahta di kedudukan spiritual yang sangat anggun itu tak lain adalah sujud keabadian yang di dalam Qur’an diungkapkan dengan istilah malam yang panjang. Itulah sujud yang paling hakiki dan paling sunyi. Sujud yang merupakan bukti bagi penyerahan diri dengan penuh totalitas, baik secara lahir maupun secara batin.
Dengan puncak rohani tersebut, kini saatnya orang yang seperti itu mesti meletakkan diri di tengah gemuruh sejarah dan kehidupan sembari menawarkan dimensi keagungan dan keindahan Allah Ta’ala dengan cara mengajak siapa pun untuk mendekat kepada hadiratNya melalui bahasa penghormatan, cinta, dan kasih-sayang. Dia mendapatkan tugas secara spiritual untuk mewakili kehadiranNya di tengah problematik dan arus kehidupan umat manusia.
Mengajak umat manusia agar berhasrat dan mendekat kepada Allah Ta’ala itu merupakan suatu ikhtiar yang dapat dipastikan tidak sepenuhnya lapang. Pasti ada sandungan. Tidak disangsikan lagi bahwa di antara mereka pastilah ada orang-orang yang menolak atau bahkan menantang ajakan yang sakral itu. Sebagai contoh konkret di dalam sejarah, tidak ada seorang nabi pun yang tidak diingkari oleh sebagian umat mereka, mulai dari Nabi Adam sampai yang paling pungkasan, Nabi Muhammad Saw. Hal itu terjadi karena di dalam diri manusia ada hijab hati dan cecunguk nafsu yang sering kali menjadi rintangan bagi setiap ajakan untuk mendekat kepada hadiratNya.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari - 20 September 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024