Malam Bau Mawar

gambar untuk malam bau mawar 2

Malam bau mawar. Orang-orang bergerak cepat di halaman setelah melumpuhkan dua penjaga di gerbang. Mereka mengenakan baju dan topeng sehitam sayap keluang yang terbang buru-buru dari dahan-dahan pohon jambu dan hilang di bawah gumpalan-gumpalan awan yang terhampar di langit luas tanpa bulan.

Sementara, dalam kediaman residen Inggris di Mount Felix itu, malam hanya bau mawar dan tak terusik kejadian di luar. Bau mawar itu mengapung lembut dari sebuah kamar dan mengalir ke seluruh ruangan. Bau yang semanis nektar. Bau yang menjalar, serupa ujung-ujung akar yang liar. Bau yang membujuk. Berbisik. Merayu. Mengaduk.

Tak ada bintang-bintang yang biasanya bertaburan. Tak tampak kerlip lampu di lautan. Orang-orang yang terus bergerak itu telah menghitung segalanya. Mereka tahu tentang penanggalan. Mereka tahu cara menghitung musim. Mereka tahu kapan waktunya tak ada sepotong kecil pun cahaya muncul di langit.

Mereka makin dekat. Merapat ke dinding-dinding bangunan bercat putih bersih. Tak makan waktu lama, bangunan besar itu sudah mereka kepung di semua sudut, di semua arah. Mereka tinggal menunggu perintah bertindak dalam bahasa isyarat. Melaksanakan sebuah rencana yang sudah dirancang sedemikian rupa dalam pertemuan-pertemuan rahasia dari satu tempat ke tempat lain pada malam-malam dingin embun. Pertemuan yang tak terbaca siapa pun, tak mengusik rasa curiga, sebagaimana banyak kisah pengkhianatan yang berujung pada keruntuhan sebuah kekuasaan.

Bau mawar kian kental. Kian manis. Di kamar itu, sebelum malam, Sophia telah meminta pelayan meletakkan jambangan besar berisi air di dekat tempat tidurnya. Sudah bermalam-malam ia gelisah, terutama setelah gelombang kemarahan kaum pribumi meningkat akibat kebijakan Residen Parr dan membuat orang-orang Eropa tidak bebas keluar rumah. Ia tak bisa pergi ke hutan kecil. Tak bisa menyusuri jalanan dan mencatat apa-apa yang ia lihat. Tak bisa bertemu teman-temannya dan mengadakan pesta minum teh dan berbagi kabar tentang keluarga di tanah kelahiran lewat surat-surat yang mereka terima. Ia seperti kembali kehilangan segala-galanya. Seperti ketika untuk pertama kali ia meninggalkan pelabuhan. Sophia terkenang sebelum kedatangannya ke tanah asing ini. Hari ketika ia memaksa dirinya berjanji berhenti menangis sepanjang sisa hidupnya. Ia berdiri di sebuah pelabuhan yang padat. Koper-koper besi diturunkan dari kereta kuda. Bunyi mesin kapal. Penumpang yang berdesakan masuk. Lambaian tangan atau topi orang-orang yang melepas kepergian. Dan air mata terakhirnya jatuh di ujung sepatu putihnya. Kapal belum bergerak. Kapal masih menunggu semua muatan masuk. Namun, saat itu jiwanya sudah berlayar jauh dan tubuhnya tak mampu merasakan apa-apa lagi.

            “Kau harus berangkat tanpa rasa takut,” kata saudara sepupu yang paling dekat dengannya membujuk setelah mereka melakukan makan malam terakhir.

            Setelah berada dalam kapal, ia tetap saja takut meski berkali-kali menggumamkan apa yang dikatakan saudara sepupunya itu. Ia sudah membaca dari catatan perjalanan orang-orang yang baru pulang dari petualangannya. Untuk sampai ke tanah dengan hutan-hutan yang lebat, tanah rempah, dan hasil alam yang melimpah ruah, kapal mesti berhadapan dengan badai dan ombak besar. Badai besar yang terlalu sering datang dan membalikkan kapal-kapal penuh barang. Dan juga wabah penyakit malaria! Ia seperti tengah berjalan ke arah kematian dan tak seorang pun yang mencegahnya. Tak seorang pun mengulurkan tangan padanya.

            Lalu kapal itu bergerak dan benar-benar memisahkannya dari keluarga besar yang lama-lama tampak kecil dan dengan cepat berpindah ke dalam ruang ingatan. Puluhan hari kemudian barulah ia akan sampai ke tanah yang tak dikenalnya; baunya, warnanya. Namun, ia segera ingat pada satu pot mawar mungil yang dibawanya. Mawar itu pemberian saudara sepupunya itu sebagai tanda kedekatan mereka—sebuah penghubung agar mereka tetap saling mengingat. “Mawar termasuk bunga yang kuat,” kata sepupunya, “seperti hatimu.” Sebuah perpisahan yang, baginya, paling menyedihkan.

Ia tak suka bunga. Ia tak pernah memelihara mawar sebelumnya. Ia menyukai hutan dan berburu binatang-binatang kecil. Namun, ia telah menerima pot mawar itu dari tangan sepupunya. Di kapal, ia menyiram tanaman mawarnya setiap pagi dan sore. Ia tersenyum ketika daun baru mawar bermunculan—meski tak begitu segar. Untuk pertama kali ia jatuh cinta dan berteman dengan bunga. Ia tak menyembunyikan hatinya. Ia kadang memilih berbicara lama-lama dengan mawar itu alih-alih mengikuti pertemuan dan minum teh sore bersama orang-orang Eropa lainnya di kapal.

Lalu, “Ya, aku masih punya mawar-mawar itu,” pekiknya selepas sore seolah baru tersadar dari lupa ingatan yang panjang. Mawar-mawar yang sudah berkembang biak di kebunnya. Senyum terbentuk di tepi bibirnya dan pelayan-pelayannya dengan cepat melakukan apa yang ia inginkan untuk menjaga hatinya tetap mekar. Semekar aroma mawar yang sekarang semakin pekat di kamar tempat ia biasa menghabiskan waktu membaca dan menulis. Hatinya sedang mencoba hidup dan melawan rasa takut dan cemas. Apa lagi yang harus kucemaskan? Batinnya mendadak gelisah lagi. Pikirannya melayang pada suaminya, Residen Parr, yang terbaring sakit di kamar utama bersama istri pertama. Sophia menghela napas berat. Dengan cepat ia merasa lelah. Ia bangkit dari tempat tidur dan merunduk dan mengambil segenggam mawar dalam jambangan. Dihirupnya wangi yang menyeruak dari celah jemarinya. Dada Sophia berdebar setelah hari-harinya yang mati. Hari-hari yang terasa panjang dan sepi dan mencekam. Banyak orang mati dalam perang, tapi ada banyak pula orang mati dalam kesepian dan rasa cemas, katanya dalam hati. Namun, ia tak akan membiarkan sepi membuatnya mati dengan cepat. Wajahnya yang pucat mulai sedikit memerah, seakan darah telah mencair. Ia lekas memasukkan satu kakinya ke dalam jambangan, lalu kaki yang satunya lagi. Rambut warna emasnya ia gerai hingga menutupi punggungnya yang seakan terbuat dari bahan kayu paling halus. Ia memejamkan matanya rapat-rapat seolah tak ingin kehangatan mawar menjadi buyar.

Orang-orang di luar, orang-orang yang tengah menyamar dalam gelap malam, sudah saling mengirim isyarat untuk segera menuju pintu utama. Puluhan orang segera bergerak. Mereka waspada kalau-kalau ada penjaga di dalam rumah yang masih terjaga. Daun telinga mereka kembangkan lebar-lebar. Tak ada suara yang terdengar. Hanya senyap panjang. Tak bertitik, tak berujung.

“Sekarang!” sebuah suara memecah keheningan.

Dalam gelap, dua orang berkelebat. Memanjat dinding. Menuju atap. Mereka masuk ke rumah setelah menyingkirkan empat helai genteng dan turun lewat lubang atap seukuran badan. Pintu utama dibuka tanpa suara, tanpa derit yang dapat membangunkan para penjaga yang tertidur di dalam. Jalan itu sudah di hadapan mata. Sekejap orang-orang berpakaian hitam menerobos ke dalam. Mereka menuju ke setiap pintu ruangan. Melumpuhkan penjaga dengan mudah yang tak sempat melakukan perlawanan. Rumah sudah mereka kuasai. Rumah yang semerbak mawar. Mawar yang manis dan menggoda. Mawar yang membuat darah tersirap. Namun, mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai macam mantra-mantra yang mengacaukan pikiran. Mereka segera menutup indra mereka dan bau mawar menjadi tawar.

Sophia mengeluarkan kakinya dari jambangan berisi mawar. Kelopak-kelopak mawar berpencaran dan beberapa melekat di kulit betisnya. Ia buru-buru mengeringkan kaki dengan tangannya. Kulitnya licin dan berkilat. Ia menyusuri ujung-ujung jari kakinya sebelum kembali merebahkan tubuh di tempat tidur. Berapa banyak orang mati dalam kesepian dan rasa cemas? Ia mengulang pertanyaan itu pada dirinya. Di tanah asing ini, ia seperti terbuang. Tanah yang telah menulis kebencian dalam darah yang mengalir di tubuh orang-orang yang tengah mengancam keberadaan mereka. Kebencian yang disembunyikan dalam berpasang-pasang mata gelap. Apakah mawar juga menyimpan sesuatu dalam warnanya yang merah?

Kelebatan orang-orang berpakaian hitam bagai pertarungan mata pedang dalam sebuah peperangan. Mereka masih bergerak. Mereka terus mendekat ke sasaran, ke sebuah kamar utama—kamar paling besar di antara yang lain. Mereka mendobrak pintunya dan menemukan seorang lelaki yang tengah terbaring sakit di tempat tidur bersama Frances Parr, istri pertamanya. Pengawal yang tersisa segera berdatangan setelah terdengar teriakan keras dari luar tentang kedatangan orang-orang Melayu. Namun, perlawanan mereka dengan mudah dipatahkan. Semua kekuatan di kediaman itu sudah nyaris dilumpuhkan sebelum mereka tersadar. Semua pengawal yang tersisa dalam waktu cepat berjatuhan dengan leher atau dada basah. Residen Parr diseret dari tempat tidur dalam keadaan tidak berdaya. Tubuhnya menggigil karena demam tinggi. Dan itu tak membuat orang-orang bertopeng membatalkan rencana mereka. Mereka sedang dalam tugas penting dan tidak bisa ditawar. Gejolak protes terhadap Keresidenan Inggris sedang meningkat akhir-akhir ini dan inilah puncaknya: perintah pembunuhan atas Tuan Parr.

Sophia tersentak. Ia mendengar keributan di luar. Buru-buru ia berlari keluar kamar. Rambut keemasannya masih tergerai di punggungnya. Tak sempat ia sanggul. Samar bau mawar sudah bercampur bau anyir. Ia makin bergegas. Ia tiba di kamar utama. Dan di depan matanya, malam itu, orang-orang berpakaian dan bertopeng hitam mengepung Residen Parr. Sophia hanya berdiri dan membeku, hingga ia melihat tiba-tiba sebuah pedang diayunkan ke arah lelaki itu dan sebuah tangan menghalanginya—tangan Frances Parr yang putih dan amat lembut. Jari-jari perempuan itu terpotong dan dengan cepat darah mengalir dan berceceran. Namun, dalam sekejap pedang yang lain telah menyambar leher Parr dan seketika kepala lelaki itu jatuh di lantai. Sophia tidak berteriak. Tetap tidak bergerak. Ia hanya berdiri dengan satu kelopak mawar masih menempel di betisnya dan dada yang kembali mati. Bahkan ia tetap tak bergerak ketika orang-orang meninggalkan kamar utama yang memerah.

Apakah mawar pernah marah dalam warnanya yang merah? Ia seperti mendengar bisikan dari tubuhnya sendiri. (*)

GP, 15/16

Yetti A.KA
Latest posts by Yetti A.KA (see all)

Comments

  1. Sintia NA Reply

    Selalu suka cerpen ka yetti A.KA 😀 :*

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!