Judul di atas menunjuk kepada sesuatu yang sudah lazim dialami oleh manusia. Tidaklah seseorang mengalami siang kecuali sebentar lagi dia akan memasuki malam. Demikian pula sebaliknya. Ketika siang datang dengan semringah dari arah timur, malam lari menjauh ke arah barat. Pun sebaliknya. Barat merupakan arah yang selalu setia menampung pelarian dua makhluk yang tak pernah akur itu.
Dalam kitab suci Qur’an, idiom “malam” itu disebut berkali-kali. Hal itu menunjukkan bahwa pastilah ada pemaknaan yang sangat penting di balik berbagai penyebutan itu. Dalam kitab Tafsir Ibn ‘Arabi diungkapkan bahwa malam itu merupakan simbol yang menunjuk pada kekelaman nafsu ammarah yang bercokol dalam diri manusia.
Tentu saja sudah pasti bahwa “kelam malam” di dalam diri manusia itu bukan untuk semakin dikukuhkan atau malah ditahbiskan agar menjelma sebagai kerajaan, tapi murni merupakan batu ujian yang mesti diatasi dan dibereskan. Bukan dengan cara memberangus dan membunuhnya, tapi dengan cara menaklukkannya dan menjadikannya sebagai tunggangan yang mesti dijadikan kendaraan untuk bergegas menuju kebun-kebun kebaikan dan kemuliaan.
“Dia memasukkan malam ke dalam siang,” (QS. Al-Hajj: 61) dengan maksud bahwa kelam malam nafsu ammarah itu sengaja diletakkan oleh Allah Ta’ala di tengah terang-benderangnya balairung hati sebagai ujian bagi manusia: sesakkah mereka dengan nafsu yang brengsek itu sehingga mati-matian mereka berusaha untuk mencahayainya dengan kekuatan rohani agar menjelma potensi terpuji yang senantiasa siap menabung berbagai macam kebaikan dari hari ke hari?
Atau malah sebaliknya? Yakni, dengan perlahan tapi pasti cahaya hati itu dikikis sedikit demi sedikit, dilemahkan dan terus didesak oleh kelam malam nafsu sehingga akhirnya semakin temaram untuk kemudian sepenuhnya kalis. Setelah itu, episode demi episode kekelaman terus mendera, menghajar sang pemilik hati dengan luka-luka dosa dan duka lara. Na’udzu billahi min dzalik.
Akan tetapi jika dengan penuh kesungguhan dan ketulusan dalam berikhtiar untuk memenangkan cahaya spiritual terhadap kelam malam nafsu ammarah itu, maka dengan perkenan dan pertolongan hadiratNya seseorang akhirnya akan merasakan betapa nafsu yang telah terdidik dan tunduk itu betul-betul aktif dan progresif di dalam memungut kebaikan demi kebaikan yang secara hakiki rasanya memang teramat lezat dan menyenangkan.
Kelanjutan ayat di atas itu juga menyatakan bahwa Allah Ta’ala memasukkan siang ke dalam malam. Artinya adalah bahwa untuk menjadi baik dan terpuji di hadapan hadiratNya itu sama sekali tidaklah gratis. Harus ada perjuangan spiritual. Bahkan mungkin mesti berdarah-darah, baik dalam konteks pemahamannya secara harfiah maupun secara kiasan. Para nabi dan para wali merupakan contoh-contoh ideal dan terbaik di dalam kegigihan dan keikhlasan untuk menggapai dan mendapatkan ridaNya.
Mereka senantiasa bekerja di ladang-ladang Tuhan, baik siang maupun malam, dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring. Mereka adalah matahari dan rembulan-rembulan rohani yang senantiasa menjadi suluh dan cahaya kehidupan. Kepada merekalah kita seharusnya selalu kulakan bara rohani dan berbagai teladan yang terpuji untuk kita persembahkan kepada hadiratNya yang tak lain merupakan tambang dari segala kebaikan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024