Malasenja

Ilustrasi cerpen malasenja
Sumber gambar deviantart.net

SEBENARNYA, aku hanya menceritakan apa yang selalu menciap-ciap dalam kepalamu. Sesuatu yang selalu berhasil mendatangkan gemuruh dalam dadamu. Gemuruh itu adalah balon udara berisi air garam yang hangat. Balon-balon itu jumlahnya banyak. Banyak sekali. Saking banyaknya, balon-balon itu tidak hanya menyesaki rongga dada, tapi juga kerongkongan dan mata. Kerongkonganmu seperti dililit dasi yang makin lama makin kencang. Akibatnya, balon-balon itu meletus dan airnya muncrat lewat dua buah ceruk di bawah alismu yang menyimpan dua buah kelereng yang kaugunakan untuk merekam setiap kebersamaanmu dengan Ibu. Ekor matamu selalu mengalirkan air itu. Hangat di pipimu. Lembap di bibirmu. Asin di lidahmu.

Dan, di senja kulit jeruk itu, kau kembali bercerita kepadaku (aku harus siap menyaksikan balon-balon meletus di ekor matamu). Saban bercerita, matamu adalah dua buah kelereng yang tak berwarna; hambar dan kosong. Kenangan demi kenangan yang kaubagi kepadaku seolah karet-karet warna yang tipis, yang diam-diam terselip dengan sendirinya ke dalam matamu. Maka, di akhir cerita, dua buah kelereng itu sudah berwarna. Kadang hitam, kadang abu-abu, kadang biru, kadang juga merah serupa daging semangka.

“Ibu selalu bilang kalau senja bukanlah bagian waktu yang paling indah,” ujarmu memulai cerita. “Apalagi pendapat tersebut diembel-embeli: karena di waktu senja orang-orang dapat leluasa menyaksikan sekaligus menikmati detik-detik terbenamnya matahari, karena kala senja langit memamerkan warna jingganya yang paling cerlang, atau bahkan karena keindahan senja dapat membuat watak yang keras menjadi romantis tiba-tiba. Bagi Ibu, hal itu sungguh dibuat-buat. Apalagi senja di zaman sekarang. Senja yang ribut. Senja yang hiruk-pikuk. Senja yang kehilangan ketenteramannya. Bahkan tak jarang langit senja menjadi sangat aneh dan menakutkan. Pada senja tertentu, warna langit menjadi kuning pucat dalam waktu yang cukup lama seperti kulit jeruk yang diserang hama belalang. Hingga, hari yang seharusnya sudah gelap, justru masih benderang seolah ada bohlam raksasa yang lupa dimatikan di langit sana.”

“Mengapa hari ini kau menceritakan tentang senja?” tanyaku.

“Memangnya tidak boleh?” kau balik bertanya.

“Tentu saja bukan berarti dilarang,” aku agak kesal dengan jawabanmu. “Kau saja yang sensitif!”

“Kok nada suaramu meninggi?”

“Lha itu suaramu juga meninggi!”

“Tapi kau yang mulai!”

“Penting kita bicara tentang nada saat ini?”

Mulutmu manyun. Aku hafal sekali tabiatmu itu ketika kau sedang kesal.

“Kau punya masalah dengan senja?” Kau menatapku.

Aku membuang muka. “Sejak kapan pertanyaanmu filosofis begini,” aku nyengir kuda.

“Nah sekarang kau yang balik bertanya.” Suaramu makin cempreng. “Tadi kau protes!”

Ah, kadang-kadang kau menjadi sangat manja, Sayang.

“Mengapa kau diam saja?”

Aku tersenyum kecil dan bergerak mendekatinya.

“Jangan dekat-dekat!” Kau mengibaskan tangan kirimu. Aku pun refleks menunduk menghindarinya.

“Memangnya kenapa?”

“Aku sedang tidak mood,” jawabmu. Kali ini suaramu agak pelan.

Mood?”

“Berantem-berantem begini, mana bisa aku pelukan.”

Aku tertawa sebelum sebelah tanganku serta-merta menutup mulutku begitu melihat air mukamu yang merah bunga asoka. Aku benar-benar merasa bersalah. Sebenarnya kau tidak salah ketika dengan—percaya dirinya—kau menduga kalau aku hendak memelukmu walaupun aku tidak bermaksud begitu, karena aku selalu menarikmu ke dalam dekapan saban mendapati percakapan kita sudah menyalakan api yang bila diteruskan bisa membakar apa saja yang ada di dalam tubuh kita.

“Baiklah, kita kembali ke fokus,” aku mencairkan suasana.

Kau diam. Aku makin merasa bersalah.

“Mengapa tiba-tiba hari ini kau bercerita tentang senja, Sayang?” Kuulangi pertanyaanku dengan mengakhirinya dengan panggilan mesra dalam tempo yang lebih lambat—romantis.

Kau masih diam.

Baru saja aku akan menanyakan keterdiamanmu, kau menjawab pertanyaanku:

“Bukan aku,” katamu, “tapi Ibu.”

“Ibu? Kenapa dengannya?” cecarku.

“Ibu yang selalu menyembunyikan alasan sebenarnya perihal senja yang ia benci itu.”

“Maksudku, mengapa tidak seperti biasa? Mengapa kau tak menceritakan apa-apa yang telah kaulalui bersamanya? Seperti yang lalu-lalu, ketika kau bercerita tentang kegemaran Ibu memasak gulai dengan kuah melimpah karena ia akan membagikannya ke para tetangga; tentang ketelatenannya memelihara kambing-kambing yang beberapa waktu lalu dijual karena adik bungsumu butuh biaya untuk mengikuti tes masuk kepolisian; tentang kegemarannya menjenguk para tetangga yang sakit; atau tentang kepiawaiannya menjahit hingga kau dan kedua adikmu bisa membeli es lilin, es kipas, es tongtong, atau es kacang merah yang gerobaknya selalu parkir di depan sekolah. Oh, tunggu dulu! Bagaimana aku baru menyadari kalau kalian, maksudku kau dan dua adikmu, sangat suka minum es!”

Kau menatapku yang baru saja mengakhiri kalimat panjang lebarku dengan tawa yang kusadari terdengar sangat garing.

“Mungkin karena sekarang hari sedang senja. Dan kau tahu bukan kalau pada senja-senja tertentu aku ingin bercerita dengan leluasa?” Wajahmu kusut tiba-tiba.

“Bahasamu terlalu meliuk dan berlipat.”

“Kau selalu protes!” kau geram.

“Kau hanya ingin memintaku mendengarkan ceritamu?” aku balik protes. “Begitu?”

“Kau keberatan dijadikan pendengar? Lagi pula aku tidak pernah melarangmu menanggapi ceritaku. Aku hanya kesal kalau tanggapanmu melebar ke sana-ke mari seolah ceritaku adalah kebohongan.” Sepertinya kau mulai emosi.

“O tidak, kau salah paham.” Aku paling takut melihat kau marah.

“Baiklah,” katamu sembari mengatur napas. “Kalau memang aku salah paham, berarti kau bersedia untuk menjadi teman bercerita yang baik, kan?” Nada bicaramu mulai meninggi.

Aku tersenyum kecil.

“Mengapa tersenyum?” Ada nada kepenasaran dan ketersinggungan dalam pertanyaanmu. Ah dasar wanita! Manja dan sensitif. Jangan-jangan kau sedang dapat!

“Aku kan belahan jiwamu, Sayang?” Aku tak bernafsu menyalakan keributan di senja ini. “Tentulah aku akan mendengarkan, eh salah, menyimak ceritamu dengan baik, Sayang,” lanjutku. Kali ini aku mengusahakan senyum lebarku tampak alami di matanya.

Kau tersenyum seperti seorang anak kecil yang baru saja memenangkan perseteruan.

Aku menang!

“Lalu, bagaimana pendapatmu tentang senja?” tanyamu kemudian. Kali ini suaramu penuh gairah. Ah, betapa mudah mood-mu berubah.

Aku mengangkat bahu.

“Maksudku, kau bersepakat dengan pendapat Ibu?”

Aku diam. Walaupun, dalam hati, kuakui bahwa apa-apa yang disampaikannya ada benarnya.

“Kalau aku, sudah sejak lama menganggapnya tak lebih sebagai usaha Ibu untuk menyarukan deritanya.” Kau menjawab sendiri pertanyaanmu. “Ah, Ibu memang pandai merangkai kata-kata hingga alasannya pun tidak tampak dikarang-karang. Seperti dulu Ibu kerap bilang: Aku tak habis pikir bagaimana mungkin senja dapat dikatakan sebagai potongan waktu yang romantis hingga banyak pasangan (baik yang masih pacaran maupun yang sudah berumah tangga) sengaja memilih waktu itu untuk mengungkapkan perasaan cinta atau merayakan hari jadi pernikahan. Entah siapa yang memulai propaganda ini, yang jelas, senja bagiku adalah suara genta yang gemanya mengingatkan orang-orang untuk pulang. Dan selalu ada seulas senyum di akhir kata-kata Ibu.” Matamu menerawang, jauh.

“Lalu, potongan waktu yang mana menurutmu paling indah?” tanyaku iseng.

“Waktu Subuh!” jawabmu meyakinkan. “Subuh lebih indah daripada senja.”

“O ya?”

“Ya. Dan itu bukan pendapatku. Tapi pendapat Ibu.”

“Mengapa harus Subuh?”

“Karena, kata Ibu, ketika terjaga dari tidur artinya ia masih diberikan kesempatan untuk hidup hari itu. Baginya, menikmati terbitnya matahari tidak kalah indah (atau bahkan sebenarnya jauh lebih indah) daripada menyaksikan tenggelamnya bintang mahabesar itu. Bahkan Ibu dapat lebih khusyuk menikmati keindahan subuh; langit yang biru bersih, udara yang masih segar, tetes embun yang dingin, dan tentu saja sunyi yang menenangkan. Ya, menenangkan. Ketenangan. Ketenangan yang sudah lama hilang dari senja. Senja yang hibuk oleh raungan mesin dan teriakan klakson kendaraan, keriuhan tawar-menawar di pasar dan pusat perbelanjaan, dan semarak lampu-lampu jalan aneka warna. Begitu.” Kau nyengir, seperti mengejek jawabanmu sendiri.

Walaupun begitu, aku tetap takjub. Tentu saja bukan atas jawabanmu yang membandingkan senja dan subuh, melainkan pada kecintaanmu pada ibumu yang kini juga menjadi ibuku. Oh, betapa bahagianya wanita itu memiliki putrimu sepertimu, batinku.

“Aku tahu,” lanjutmu. “Itu juga tak lain sebagai usahanya untuk mengalihkan alasan paling perih tentang senja yang keparat itu!”

“Lalu, apa alasan utama Ibu tidak menyukai senja?” Sungguh, kau telah berhasil membangkitkan rasa-ingin-tahuku.

Kau menggeleng. “Ibu tidak pernah bilang,” jawabmu tanpa menoleh. “Tapi dari cerita para tetangga di kampung, aku jadi tahu. Memang ini hanya simpulanku. Tapi aku yakin itu benar.”

“O ya?”

“Ya.”

“Apa? Kenapa? Kenapa Ibu tidak menyukai senja?” desakku tak sabaran.

“Mungkin ka—ka—karena di waktu yang buruk itu, Ayah diculik oleh segerombolan orang yang mengaku utusan negara dan Ayah tak pernah kembali.”

Aku sudah sering mendengar itu. “Seperti film hitam-putih yang dulu kerap diputar pada ujung September, bukan?”

“Ini bukan film!”

“Tapi film itu semacam rekonstruksi dari peristiwa yang sebenarnya.”

“Dan kisah Ayah tak pernah didokumentasikan sebagaimana kesedihan Ibu yang berlarat-larat dan….” Suaramu mulai parau.

“Dan apa?”

“Dan….” Pipimu mulai merah. “Dan sebaiknya memang begitu, meskipun negara harusnya bertanggung jawab.” Kau tampak mencoba menegar-negarkan suaramu dan menurutku tidak terlalu berhasil. Kau memang sangat tidak ingin tampak lemah ketika menceritakan peristiwa kelam yang menimpa ayahmu lima puluhan tahun silam itu.

Aku yakin.

“Dan mungkin pula itu sebabnya Ibu meninggal di waktu senja. Ia meninggal karena selalu gagal mengusir bayang-bayang Ayah….” Suaramu tercekat.

“Ibu memang selalu merindukan Ayah,” gumamku.

“Bukan itu maksudku!” serumu sengit.

Aku memicingkan sebelah mata. Aku harap kami bisa segera berhenti berdebat.

“Ibu selalu tidak bisa menerima penculikan itu. Ayah—Ayah—Ayah memang bukan orang yang saleh, tapi dia juga tidak seperti yang mereka tuduhkan. Ayah tidak musyrik, syirik, apalagi kafir! Ayah bukan P. K. ….” Selalu, selalu kau gagal menyebut singkatan itu hingga lengkap. Bahkan suaramu mulai memarau. Balon-balon air itu hampir meletus—atau sudah meletus.

“O, maafkan aku,” ujarku dengan perasaan tak enak. “Aku tidak bermaksud mengingatkanmu pada Ayah.”

“Tidak, aku tidak sedang mengingat Ayah, apalagi peristiwa berdarah empat puluh tujuh tahun lalu yang selalu dikaitkan dengan dirinya!” Kau mulai berteriak. “Aku hanya mengingat Ibu dan musabab kematiannya yang mengenaskan itu!” Kau menyeka ekor matamu. O, balon-balon air itu kini benar-benar sudah meletus.

“A—a—apakah….” Tiba-tiba aku merasa gugup.

“Apakah apa?” Kau mendongak seolah menantangku.

“A—a—apakah kehadiranku tidak cukup membuatmu melupakan semua itu ….” Aku menggantungkan nada bicara (padahal kalimatku sudah berhenti sampai di situ). Aku tahu, romantisisme bukanlah tawaran yang baik untuk menahan laju air kesedihanmu. Namun, sungguh, aku juga tak tahan terus merasa dinomorduakan olehmu.

“Ini berbeda.” Kau menatapku. “Aku mencintaimu. Bahkan menerima pinanganmu dua tahun lalu, tepat satu tahun setelah Ibu meninggal, bukanlah untuk menghapuskan kesedihan, apalagi mengalihkan rasa kehilangan.”

Aku meneguk liur. O, setidak-berarti itukah diriku? Setenang itukah kau mengungkapkan ketakberartian diriku?

“Ibu takkan tergantikan. Tak seorang pun yang mampu mengusir dia dan kebersamaan kami dari hidupku. Aku mencintai orang-orang yang menyayangiku dengan sepenuhnya. Ibu adalah salah satu dari orang-orang itu. Kau juga salah satu dari orang-orang itu. Laki-laki mana yang sudi meladeni kemanjaan dan kemelakolikan berpanjangan dari seorang perempuan yang bermusuhan dengan masa lalu sepertiku, selain kamu?”

Aku meraih bahumu. Memelukmu. Suara azan sangat merdu di telinga. Disusul suara gemuruh dari balik langit dan awan yang sama merahnya. Senja baru saja menjatuhkan jarum-jarum gerimis. Benar-benar jarum. Jarum-jarum yang baru saja meletuskan balon-balon air di dadaku.

Sebenarnya, aku hanya menceritakan apa yang selalu menciap-ciap dalam kepalamu. Sesuatu yang selalu berhasil mendatangkan gemuruh dalam dadamu. Gemuruh itu adalah balon udara berisi air garam yang hangat. Balon-balon itu jumlahnya banyak. Banyak sekali. Saking banyaknya, balon-balon itu tidak hanya menyesaki rongga dada, tapi juga kerongkongan dan mata. Kerongkonganmu seperti dililit dasi yang makin lama makin kencang. Akibatnya, balon-balon itu meletus dan airnya muncrat lewat dua buah ceruk di bawah alismu yang menyimpan dua buah kelereng yang kaugunakan untuk merekam setiap kebersamaanmu dengan Ibu. Ekor matamu selalu mengalirkan air itu. Hangat di pipimu. Lembap di bibirmu. Asin di lidahmu.

Dan, di senja kulit jeruk itu, sungguh aku bersyukur bahwa selama ini kau tak pernah tahu bahwa aku sebenarnya sangat menyukai senja. (*)


Abu Dhabi, Maret 2015

 

Benny Arnas
Follow Me
Latest posts by Benny Arnas (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!