Sesosok malaikat mendatangi rumah Mali. Ia menggunakan setelan jas berwarna hitam mengilap dengan celana ketat yang tak kalah mengilap. Ketimbang seperti sosok malaikat yang bertugas, ia lebih mirip seperti biduan dangdut yang malam ini dapat hajat. Ia mendatangi rumah Mali karena Tuhan menyuruhnya. Tuhan murka, karena malam ini Mali tak menggosok giginya. Sebab Mali tak menggosok giginya, segala peristiwa di bumi acak-acakan, lini masa waktu jumpalitan, seperti Bom Bali I tak pernah terjadi, Justin Bieber tak pernah upload video apa pun ke YouTube, Persiwi Wonogiri juara Liga Indonesia dua kali, dan UMR Jogja menyentuh angka lima juta. Mali menjelaskan alasan ia tak gosok gigi malam ini—tak seperti malam-malam sebelumnya. Alasan Mali, justru membuat malaikat geram. Mali justru terancam masuk dan diseret ke neraka jahanam.
*
Mali membuka pintu gubuknya dengan sempoyongan. Badannya yang kurus itu tak mampu menahan dingin angin yang dibawa Kali Gajahwong yang tepat ada di belakang gubuknya. Matanya belum bisa melek dengan sempurna, namun ia terlanjur membuka pintu gubuknya dan bersiap menyambut tamunya. Betapa terkejutnya Mali ketika tamunya itu adalah sosok malaikat dengan rambut klimis seperti punggung kecoa.
“A… ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya tergagap. Kini kantuknya hilang. Ia bisa melihat sosok malaikat itu di antara rumah-rumah kumuh di bantaran Kali Gajahwong, Banguntapan, Bantul. Begitu aneh ia melihat pakaian yang tampak mahal—walau noraknya minta ampun—yang dikenakan malaikat itu berada di perkampungan kumuh yang berdiri di tanah kas desa. Area yang mencaplok bibir sungai ketika kering, dan akan ditelan air bah yang bergulung-gulung ketika hujan mengguyur Sleman karena ugal-ugalannya pembangunan hotel di Yogyakarta belakangan.
Malaikat Berpakaian Biduan itu memakai kacamatanya. Tangan kirinya membawa segepok dokumen demi dokumen yang tampak bertumpuk dan melelahkan. Ia menjilat ujung telunjuknya, lantas membuka lembar demi lembar dokumen yang begitu banyaknya. Mali menelan ludah. Walau ini adalah bukan kali pertama ia didatangi malaikat, namun malaikat yang satu ini terlihat kejam dan tak mau kompromi dengan nasibnya.
Ketika ia membaca catatan hidup Mali di dalam selembar dokumen, Malaikat Berpakaian Biduan itu berkata, “Oh, ini bukan kali pertama kau didatangi malaikat?” Kacamata yang dikenakan malaikat itu mletre sampai hidungnya. Bola mata malaikat itu berkilat-kilat dan berputar seutuhnya ke arah Mali. Nada suaranya begitu intimidatif.
Mali dengan kikuk menjawab, “Be… benar, Pak.” Hati Mali berkata lain, jika yang mendatangiku adalah sosok malaikat yang dandanannya lebih mirip seperti biduan, mungkin baru kali ini. Mali melanjutkan, “Yang biasa mendatangiku bernama Bapak Izrail. Barangkali sebulan sekali. Ia datang dan mengajakku mengobrol banyak hal. Di kursi belakang, dekat sungai. Barangkali Bapak juga mau duduk-duduk dulu di situ?”
Malaikat Berpakaian Biduan itu menggerakan bola matanya, ke kanan, lantas ke kiri agak lama. Di sana ada beberapa pemuda yang sedang duduk dan bercanda. Suara mereka tak keras. Namun, dengan jarak yang sebegitu dekatnya, Malaikat Berpakaian Biduan itu bisa menangkap bahwa para remaja itu sedang membahas lowongan pekerjaan.
“Kenapa mereka tak takjub dengan kedatanganku?” tanya Malaikat Berpakaian Biduan. Ia mengabaikan ajakan duduk-duduk di dekat sungai. Ia tak menunjuk para pemuda itu dengan tangan, melainkan dengan alisnya yang ia gerak-gerakan agar Mali dapat melihatnya.
Mali tersenyum simpul. Ia mengangguk-anggukan kepalanya lantas menjawab dengan hati-hati, “Mereka bukan bermaksud tak sopan, Pak. Sosok malaikat itu kentara sekali. Bercahaya, berbinar, kulitnya bersih walau berwarna, wajahnya menampilkan keteduhan. Kadang-kadang justru hanya cahaya, tak terlihat air muka. Walau Bapak pertama kali ke sini, mereka sudah tahu bahwa Bapak adalah malaikat. Sedang Pak Izrail, berulang kali mendatangi kawasan ini. Tiap ia datang, warga tak ingin ikut campur. Barangkali hal yang sama dilakukan para warga ketika Bapak datang ke sini.”
“Aku memang baru pertama kali datang ke kawasan ini,” jelasnya. Malaikat Berpakaian Biduan itu mendengus begitu kasar ketika aroma tak sedap yang menguar dari Kali Gajahwong. “Biasanya aku mendatangi tempat-tempat yang bagus di Jogja. Dunia gemerlap Babarsari, misalnya.”
Mali tersenyum simpul. Ia berkata dengan sopan, “Mungkin di Babarsari penuh dengan hiburan malam, di sini tidak. Namun, di sini tidak ada pembunuhan, pembacokan, dan klitih yang sering terjadi di sana.”
“Apa maksudmu?” nada Malaikat Berpakaian Biduan itu meninggi. Namun, melihat Mali hanya tersenyum dan tak menandakan bahwa ia ketakutan, ia kembali dengan maksud kedatangannya ke gubuk Mali. Dengan berpura-pura membenarkan kacamatanya, padahal ia sedang mengatur ulang wibawanya, Malaikat Berpakaian Biduan itu berkata, “Hmm, aku datang ke sini diutus langsung oleh Tuhan…”
Belum usai Malaikat Berpakaian Biduan itu menuntaskan penjelasannya, Mali sudah membalas, “Wah, Tuhan yang mengutus langsung datang ke sini sebenarnya bukan hal baru, Pak. Saban bulan Pak Izrail ke sini karena diutus oleh Tuhan. Ya, benar, Tuhan mengutus Pak Izrail datang kemari karena, kata-Nya, batas nyawaku habis. Bulan lalu, aku didakwa oleh Tuhan mati karena kelaparan. Dua bulan yang lalu, katanya aku mati karena penyakit kulit. Penyakit yang aku dapatkan dari lingkungan kotor di sini.”
Mau tak mau, Malaikat Berpakaian Biduan itu bertanya, “Hmm. Kenapa kau bisa kelaparan?”
Mali tertawa meledak. Ia tak bermaksud melukai hati lawan bicaranya, namun tawanya sudah tak bisa dibendung lagi. Pelan-pelan ia berhenti, kemudian menjawab, “Hehehe… Karena aku miskin, Pak. Aku bekerja sebagai pegawai angkut di sebuah toko. Penyakit kulitku membuat performaku kurang baik. Gajiku yang hanya 1,8 juta, ya maklum UMK Bantul, dipotong lagi. Aku menerima uang bersih 600 ribu. Itu pun untuk bayar gubuk ini 250 ribu.”
“Mana bisa begitu! Kan ada tunjangan kesehatan. Ada juga jaminan keamanan,” kata Malaikat Berpakaian Biduan tak kalah meledak-ledak.
Mali tersenyum getir. Ia justru merasa kasihan dengan malaikat ini. Hidup di manakah dirinya? Dalam sangkar istana? Mali menjawab, “Pada kenyataannya, aku hidup di sisi lain kota ini, Pak. Sisi lain yang mungkin tak diketahui kebanyakan orang yang melihat Yogyakarta dari sudut pandang yang romantis dan istimewa. Pada kenyataannya, jaminan pekerja di sini masih buruk seburuk-buruknya. Sedang pemerintah justru terus mengupayakan pariwisata, kan? Aku merasa bahwa aku anak tiri. Hidup di pinggiran kali, tiap bulan diburu mati.”
Malaikat Berpakaian Biduan itu terhenyak. Ia lantas memikirkan Izrail. Inikah yang ia liat saban bertugas? Pantas saja makin hari, Izrail tampak lunglai. Izrail selalu tak bersemangat dalam rapat PMKY atau Perkumpulan Malaikat Keistimewaan Yogyakarta. Ketika ada malaikat yang mengusulkan, ayo embuskan ide untuk pawai dan karnaval ke pikiran pemerintah daerah, Izrail yang paling ngotot menentang. Ia mengatakan pawai dengan segala kemeriahannya itu tak perlu. Yang paling penting saat ini adalah embuskan pikiran sehat, hati nurani, dan kesadaran untuk para pemimpin di Jogja bahwa rakyat mereka banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, tersiksa di grassroot-nya, tak bisa menikmati kemajuan kotanya sendiri. Ia lantas ditertawakan oleh malaikat yang lain sebelum akhirnya Izrail selalu walkout dalam rapat dan belakangan tak pernah datang lagi.
“A… apa yang dilakukan Izrail kepadamu sampai dirimu lolos dari ajal tiap bulan?”
Mali kembali mengangguk-angguk kepalanya, ia menggaruk beberapa bagian di lengannya. Kulit Mali tak bisa dikatakan sehat. Kulit-kulit masih bertekuk lutut pada kudis dan kurap. “Aku bernegosiasi dengan Pak Izrail—begitu pula dengan warga lain di sini. Itu,” Mali menunjuk salah satu pemuda berpakaian compang-camping yang dari tadi sedang membahas info loker di pabrik Piyungan, “namanya Sandi. Ia malah tiap minggu didatangi Pak Izrail. Kami sama. Kami selalu bernegosiasi. Kami berharap Pak Izrail meloloskan kami dari kematian dan berjanji bahwa esok hari kami bakalan dapat uang dan makan. Kami tak akan kelaparan. Aku memang sudah dapat kerja, namun masih dihantui kelaparan. Jika waktu kami mati datang lagi, kami akan kembali bernegosiasi.”
Malaikat Berpakaian Biduan terduduk di dingklik kecil di depan gubuk Mali.
“Saya sudah menyarankan Bapak untuk duduk di belakang dan menghadap sungai,” kata Mali. “Walau bau, deburan air sungai yang terantuk batu kadang menenangkan.”
Malaikat Berpakaian Biduan itu menggeleng karena di depan gubuk saja bau kali sudah tercium begitu menjijikan, apalagi jika ia ke belakang, ke pusatnya sumber bau itu. Namun ia kembali berdiri. Pakaiannya itu makin bergemerlapan ketika ia bergerak dengan cepat. Ia langsung sadar perintah Tuhan. Ia harus menghukum Mali—parah-parahnya dengan kematian—karena malam ini ia tak menggosok gigi.
“Sebab kamu tak menggosok gigi, banyak sekali hal yang ubah. Lini masa waktu bergoyang. Mereka berpilin,” kata Malaikat Berpakaian Biduan itu kembali membaca dokumen-dokumen yang ia bawa.
“Mi… misalnya, Pak?”
“Misalnya… Hmm… Nah ini, UMR Jogja sekarang jadi lima juta.”
Mali tersenyum, “Lho, itu malah bagus, kan, Pak? UMK Bantul naik berapa, Pak? Tiga juta? Wah, aku harus lekas sehat.”
“Hussh!” Malaikat Berpakaian Biduan menyuruh Mali diam. Dengan terperanjat, Mali diam seribu bahasa. “Selain itu, Prabowo… tahu Prabowo, kan?” tanya Malaikat Berpakaian Biduan itu kepada Mali yang mengangguk-anggukan kepalanya, “nah, Prabowo yang harusnya kalah dua kali sama Jokowi, justru ia yang jadi presiden. Ada juga Elon Musk. Ia membeli Facebook dan mengubah namanya menjadi Z. Lebih parahnya lagi, banyak hal yang ubah dan Tuhan kewalahan. Kau sudah mengganggu ketetapan. Dengan tak menggosok gigi, kau melanggar perintah Tuhan. Kenapa kau tak sikat gigi? Masih sakit?”
Mali menelan ludah. Ia lantas berkata, “Aku mempunyai alasan mengapa hari ini aku tak menggosok gigi—padahal aku paling rajin menggosok gigi karena tahu mulutku adalah gerbang masuknya kuman dan bakteri. Cukup kulitku saja, tubuhku jangan. Namun, aku punya alasan kuat. Dan sampai saat ini, jika Bapak paksa diriku untuk menggosok gigi, aku tak mau.”
Malaikat Berpakaian Biduan itu geram. “Jelaskan!” katanya dengan nada bergetar, namun Mali tak gentar. Pokoknya, malam ini ia tak mau menggosok giginya, apa pun pertaruhannya!
*
Mali lagi-lagi disuruh pulang oleh bosnya. Akibat ia menggaruk-garuk tubuhnya, bosnya takut Mali akan menulari para pembeli di tokonya dan omset menjadi turun. “Harusnya ya kamu diberi pesangon buat berobat, Li,” kata salah satu kawan Mali di toko. Kata-kata itu terus berkeliaran di pikirannya ketika ia jalan kaki dari Jalan Laksda Adisucipto menuju gubuknya. Mali berpikir, bagaimana misalnya jika ia sakit lebih keras dari pada penyakit kulit? Apakah gajinya terus dipotong? Apakah bosnya sama acuhnya seperti ini? Padahal, kemarin Izrail mendatangi Mali. Jika kondisinya begini terus, terpaksa aku harus tegas mengambl nyawamu, Li. Kemiskinan yang menderitamu, begitu struktural dan sulit diurai. Begitu katanya.
Mali bisa lolos karena ia terus bernegosiasi. “Aku tak pernah menyalahkan pemerintah, Pak. Walau di sini ada raja yang sudah tajir sejak lahir dan bisa saja ia memberikan uangnya kepada miskin dan hina sepertiku, namun aku tak pernah menghina dirinya.”
“Menghina macam apa, Li?” tanya Izrail.
Mali melihat ke kanan dan ke kiri, kali ini suaranya lirih. “Seperti apa yang banyak dikatakan orang, Pak. Misalnya Sang Raja itu tidak memikirkan rakyat. Ia mendapatkan kuasa ya berkat ayahandanya. Berkah biologis semata. Pun daerah ini mendapatkan keistimewaan ya karena perjuangan rakyatnya. Aku tak pernah protes. Aku hanya fokus mendapatkan uang. Namun, di kota ini, upah yang aku dapatkan habis untuk saat ini juga. Upah yang aku dapat, tak bisa dijadikan tabungan untuk masa depan. Jangankan rumah, membeli kuota internet dan tiket JKT48 saja tak bisa, Pak.”
Izrail diam sejenak. Ia menatap kali Gajahwong yang saat itu alirannya tak deras. Jogja tak dilanda hujan sudah tiga bulan. Kemarin ia hendak mencabut nyawa beberapa petani di Imogiri dan Bambanglipuro. Namun lagi-lagi, hatinya bergetar. Kenyataannya kemiskinan ini bak dirancang begitu struktural. Ada sisi kota yang kaya raya, sisanya menghitung hari penjemputan ajal. Apa aku harus melihat kematian yang sejatinya merupakan pertanggungjawaban pemerintah? pikir Izrail.
“Hampir semua yang hendak aku cabut nyawanya, kemudian berdiskusi seperti ini, semua tak ada yang menyalahkan pemerintah, Li. Benar katamu, uang untuk makan kadang bergesekan dengan keperluan lain. Jadilah kau tak bisa menabung, pindah ke daerah yang lebih beradab, dan terhindar dari penyakit agar kau bisa fokus bekerja,” kata Izrail begitu meneduhkan. “Semua bak takut kepada pemegang kuasa. Dalam satu atau dua sudut pandang, kenapa Sang Raja lebih ditakuti ketimbang Tuhan, Li? Apa, Li, namanya? Ah, iya, nrimo ing pandum.”
“Karena Tuhan Maha Pemurah, Pak. Sedang Raja, lihat saja mayat-mayat bergelimpangan di jalan karena klitih, bunuh diri, pembunuhan, mereka justru berdansa dengan Dana Keistimewaan.” Setelah itu Mali lagi-lagi terbebas dari kematian.
Ketika terhuyung-huyung dalam perjalanan ke gubuk, di jalan ada sebuah lembaga kolektif yang sedang membagi-bagikan makanan di jalan. Mata Mali tak sengaja bersitatap dengan salah satu anggota kelompok kolektif itu. Ia diberi satu nasi bungkus. Katanya, makanan-makanan itu dibagikan untuk anak kos, pekerja, dan orang-orang yang kelaparan di Jogja. Mali justru merasa miris. Ada banyak orang yang bernasib sama seperti dirinya di kota ini. Mali bergumam, mengapa pemerintah meromantisasi angkringan ketika kelaparan kini adalah wajah paling nyata dari Jogja itu sendiri?
Jika mau, Mali bisa makan di dalam mobil bak terbuka itu. Mali tak mau. Ia lebih memilih duduk di belakang mobil bersama kaum kelaparan yang lain. Para anak kos juga semringah. Mali kira mereka semringah karena mendapatkan nasi bungkus. Namun, ketika ia buka nasi bungkus itu, ternyata kebahagiaan tersemat dalam bentuk lauk yang akan ia makan. Nasi itu bersanding dengan satu potong daging sapi. Pemandangan yang lebih indah bagi Mali ketimbang Tugu Pal Putih.
Ukuran daging itu memang kecil, namun itu adalah berkah yang amat besar yang dirasakan Mali. Jauh dari musim haji, jauh pula dari saat-saat Qurban, bisa menikmati daging sapi adalah berkah tersendiri. Mali menyantap dan menangis. Beberapa orang yang melihatnya awalnya merasa iba. Namun, setelahnya, mereka bersama-sama tertawa. Masih ada tawa di kota yang penuh derita.
*
Malaikat Berpakaian Biduan geram. Ia merasa dikerjai oleh Mali. “Buang-buang waktu aku menanti penjelasanmu, kau justru membahas sesuatu yang lain! Kau malah membahas kebodohan Izrail dan membahas daging-daging murahan itu!”
Mali mengernyitkan dahi. Sembari menggaruk-garuk gatal di kulit, ia berkata, “Masalahnya, memang itu alasan aku tak menggosok gigi malam ini, Pak.”
Malaikat Berpakaian Biduan itu menjatuhkan berkas-berkasnya di kursi kecil yang tadi ia duduki. Kemudian ia berkata dengan keras dan menggoda beberapa pasang mata di daerah itu untuk melihat ke arah Malaikat Berpakaian Biduan. “Ayo, jelaskan! Jelaskan, kau, miskin!”
Mali membuka mulutnya. Gigi-gigi putih dan bersih karena rajin gosok gigi itu metampakkan diri tepat di hadapan Malaikat Berpakaian Biduan. Namun, Malaikat Berpakaian Biduan itu terkejut. Ia melompat ke belakang dan terjatuh. “Bangsat! Apa-apaan itu! Menjijikan! Walau bersih, ada sesuatu di gigi-gigimu!”
Mali menjawab, “Ya, benar, Pak. Sebab itu aku tak mau menggosok gigiku malam ini. Bahkan besok malam dan seterusnya.”
“Itu kotor! Jorok!”
“Daging-gading sisa koyakan gigiku itu banyak yang nyelip di antara gigiku. Aku tak mau menggosok gigi karena daging yang nyelip itu bisa hilang tersapu sikat. Esok, aku mau mengorek-orek daging yang nyelip satu per satu itu. Dengan nasi aking yang sudah aku siapkan, rasanya seperti makan daging terus menerus. Mungkin bagi Bapak makan daging bukan hal yang luar biasa. Bagiku, kaum miskin kota, makan daging adalah sebuah anugrah. Bahkan daging yang nyelip di gigiku sekali pun. Ada sekitar lima daging yang nyelip di gigiku, artinya aku bisa makan daging lima hari. Artinya lagi, aku tak akan menggosok gigi selama lima hari. Terserah mau Prabowo menang kontestasi, atau Raja jadi gubernur sampai mati, yang jelas besok aku akan makan daging lagi. Ya, walau daging itu hanya secuil dan sudah bergesekan dengan karang gigi dan kuman yang lain.”
“Kau ikut aku sekarang menghadap Tuhan! Neraka jaminanmu!” bentak Malaikat Berpakaian Biduan.
“Tak apa, Pak. Aku lebih baik masuk neraka ketimbang kehilangan daging-daging yang nyelip di gigi-gigiku ini. Toh kematian, bagi kaum miskin sepertiku, hanya perihal menunggu waktu.” Kali Gajahwong bersiul-siul mendengar apa yang dikatakan oleh Mali.
Malaikat Berpakaian Biduan itu berdiri dari jatuhnya, beberapa orang masih mengamati legging yang dipakai Malaikat Berpakaian Biduan mendadak kotor. Sambil membersihkan pantat, Malaikat Berpakaian Biduan berkata dengan menggeram, “Orang miskin rela masuk neraka demi hal konyol macam itu.”
Mali melaju satu langkah, “Daging yang nyelip ini bukan hal konyol, Pak.” Ia melihat ke kanan, lalu ke kiri. Benar saja, di seberang sungai sana harusnya adalah kampus UIN Sunan Kalijaga, namun saat ini berubah menjadi Universitas Gadjah Mada. Sudah banyak yang berubah di sini karena Mali tak menggosok gigi. Lantas ia berkata, “Oh, iya, ngomong-ngomong tentang orang miskin, akibat aku tak menggosok gigi, katamu banyak yang berubah, lantas kenapa aku tetap miskin? Dan, mereka…,” Mali menunjuk pemuda-pemuda yang sedang membahas info loker itu, mereka kini menatap Mali, “juga masih belum dapat pekerjaan atau setidaknya kehidupan mereka membaik?”
Malaikat Berpakaian Biduan itu berkata, “Hal yang paling sulit adalah mengubah nasib manusia miskin.”
- Mali Tidak Gosok Gigi Malam Ini - 16 February 2024
Bamby
Cerpen ini menakjubkan, keren…
fitri
bagus bangeetttt…….mewakilkan pikiran n perasaan saya ….
S.
Gusti, ini lebih dari keren.
Raras dini
Bagus cerpennya
dehall
Bagus banget cerpennya! Ini kayak satu hal kecil yang sama sekali gak aku sadari selama ini, dan pada akhirnya, aku jadi sadar habis baca ini. Sesuatu yang gak berharga bagi aku, ternyata bisa jadi hal yang saaaangat luar biasa buat orang seperti Mali. Semoga kedepannya pemerintah dan masyarakat sekitar bisa lebih peduli sama orang seperti Mali. Soalnya sedih banget kisah Mali inii, kayak dimana perhatian masyarakat sekitar? Dan aku juga jadi bertanya2 apakah aku peduli sana tetanggaku apa ngga 🥺😭
Dewi kale
entah kenapa aku menagis setelah membaca ini,mgkin krna mali adalah aku